PMB Uhamka
Opini

Pendidikan Membebaskan Berpikir dan Mempercepat Adaptasi

×

Pendidikan Membebaskan Berpikir dan Mempercepat Adaptasi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ace Somantri*

Pembahasan tentang pendidikan seakan tak pernah usai. Sebagaimana pesan wahyu pertama yang diturunkan, “Bacalah… bacalah… bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu.”

Pengulangan kata tersebut menjadi penegasan bahwa proses belajar tidak boleh berhenti. Rasulullah pun kembali menekankan, pendidikan berlangsung sejak manusia lahir hingga masuk ke liang lahad.

Pesan ini menunjukkan betapa pentingnya pendidikan bagi makhluk berakal bernama manusia. Dengan akalnya, manusia mampu membangun peradaban di dunia. Namun, arah peradaban itu—menuju kebaikan atau keburukan—sangat bergantung pada bagaimana manusia menggunakan akalnya.

Pendidikan memegang peran penting dalam membedakan karya manusia yang beradab dan yang tidak. Melalui pendidikan, setiap hasil berpikir dan berperilaku manusia dapat dinilai, dijelaskan, serta dibedakan kualitasnya.

Dengan pendidikan, manusia mampu melahirkan gagasan dan karya besar yang tidak hanya mengubah dirinya, tetapi juga lingkungannya.

Dalam ranah akademis, pencapaian tersebut diwujudkan melalui kompetensi yang menjadi fokus utama di setiap jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar hingga strata tertinggi.

Setiap kompetensi yang dikuasai harus memiliki indikator yang jelas, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan. Lebih dari itu, kompetensi tersebut seharusnya melahirkan keterampilan yang mampu menciptakan perubahan positif, menjadikan lingkungan belajar menarik, relevan, dan bermakna bagi pembelajar.

Jika proses ini berjalan baik, pendidikan akan melahirkan pribadi yang unggul secara intelektual sekaligus anggun dalam moral, sehingga ia dapat menjadi teladan bagi masyarakat luas.

Penting untuk disadari bahwa kompetensi merupakan aspek mutlak dalam memperkuat wawasan di berbagai rumpun keilmuan yang dikembangkan para ilmuwan di Indonesia.

Selama ini, kompetensi sering kali diidentikkan hanya dengan ranah pendidikan dan keguruan. Padahal, dalam lingkup apa pun, kompetensi dapat menjadi ruang pembelajaran yang berlaku untuk semua bidang dan disiplin ilmu.

Pendidikan memiliki peran penting bagi manusia untuk mengembangkan diri menjadi pribadi yang berpikir matang dan berperilaku dewasa.

Hal ini akan memengaruhi kualitas setiap tindakannya, baik sebagai individu maupun saat memegang jabatan publik di lingkungan sosial, politik, ekonomi, atau komunitas lainnya.

Baca Juga:  Standardisasi Keterampilan dan Keahlian: Kunci Sukses di Dunia Profesional

Kemampuan yang berpadu antara nalar intelektual dan karakter yang unggul akan membawa dampak positif bagi keluarga, sahabat, dan masyarakat luas.

Pola pikir yang matang tidak akan mudah terpengaruh oleh kepentingan pragmatis sesaat yang menyesatkan, menghambat kemajuan, atau merusak masa depan.

Sebaliknya, kedewasaan berpikir akan mendorong sikap yang bebas dan merdeka, tanpa tekanan atau paksaan dari pihak mana pun.

Oleh karena itu, para praktisi pendidikan dan pembuat kebijakan perlu berperan sesuai kapasitasnya masing-masing secara sinergis.

Langkah ini menjadi bagian dari upaya membangun arsitektur pendidikan yang membebaskan pikiran dan perilaku, sekaligus meminimalkan intervensi kepentingan sesaat, sehingga tercipta sistem pendidikan yang adil dan beradab.

Pendidikan dan pembelajaran ibarat momentum untuk mengisi ruang dan waktu dengan kualitas. Volume nilai yang dihasilkan sangat bergantung pada kapasitas yang diciptakan dalam proses tersebut.

Semakin berkualitas isi yang dibangun, semakin bernilai pula ruang pendidikan itu, hingga mampu memenuhi harapan dan tujuan yang diinginkan.

Pendidikan adalah harga mati yang menjadi solusi tepat untuk mengubah diri dan lingkungan. Jika perubahan tidak terjadi, bukan berarti pendidikannya yang salah, melainkan proses pelaksanaan pendidikan dan pembelajaran yang belum sesuai dengan kebutuhan.

Para praktisi pendidikan perlu memahami bahwa tujuan pendidikan tidak hanya membentuk akhlak mulia dan kecerdasan intelektual. Pendidikan juga berperan penting dalam membentuk mental dan karakter pejuang yang mampu menjadi pemecah masalah (problem solver) dalam kehidupan di masa depan.

Untuk itu, dibutuhkan pola dan model pendidikan yang mampu menumbuhkan keberanian mengambil risiko. Pendidikan harus mendorong peserta didik agar berani bertanggung jawab atas setiap tindakan yang diambil, serta melakukannya dengan kemandirian yang kuat.

Stimulasi karakter pejuang dalam dunia pendidikan masih tergolong minim, karena umumnya fokus penguatan masih bertumpu pada aspek kognitif dan intelektual semata.

Baca Juga:  UAD Jadi Kampus Muhammadiyah Dengan Jumlah Guru Besar Terbanyak di Yogyakarta

Padahal, anak-anak di usia sekolah memiliki potensi yang beragam dan bersifat multipotensi. Secara psikologis, setiap individu memiliki potensi dominan yang sesuai dengan minat dan bakatnya.

Oleh karena itu, pendekatan pembelajaran sebaiknya menekankan pada pengetahuan dan keterampilan yang membantu peserta didik beradaptasi cepat dengan lingkungan sekitar tanpa memerlukan waktu lama.

Fenomena saat ini menunjukkan bahwa semakin tinggi strata pendidikan, tidak selalu sejalan dengan peningkatan sikap mental dan akhlak yang baik.

Justru, yang terlihat dalam permukaan menunjukan perilaku penyimpangan dan pelanggaran moral, norma dan hukum serta pranata lainnya mereka yang berpendidikan tinggi.

Kadang-kadang realitasnya masyarakat bawah kaum proletar lebih takut melanggar norma dan hukum, dan mereka strata pendidikannya rendah dan sangat bawah.

Kecepatan adaptasi menjadi salah satu kemampuan psikologis setiap individu anak yang harus menjadi prioritas utama. Apalagi ruang interaksi di era digital telah menggerus komunikasi verbal yang mengikis sikap peka dan peduli antar-sesama dan merusak kecepatan adaptasi dengan lingkungan masyarakat. Bahkan hampir dipastikan sudah masuk pada zona bahaya.

Tidak dapat dimungkiri, saat ini generasi Z lebih cenderung individualis dan egois, hal itu salah satu akibat dari interaksi komunikasi verbal sudah sangat berkurang.

Maka penting disadari semua pihak stakeholders pendidikan, baik penyelenggara pendidikan maupun orang tua untuk saling memberi saran yang konstruktif.

Kemampuan beradaptasi cepat di lingkungan menjadi salah satu kompetensi penting yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran di semua tingkatan pendidikan, terutama di sekolah dasar dan menengah. Pada fase ini, anak-anak masih memiliki peluang besar untuk mengembangkan potensi dasar mereka secara optimal.

Lalu, mengapa pendidikan harus memberikan kebebasan berpikir? Sebagian orang mungkin khawatir, kebebasan tersebut akan berujung pada penyimpangan atau “kebablasan”.

Namun, pandangan ini perlu diluruskan. Kebebasan berpikir justru mengarahkan seseorang untuk menghasilkan gagasan yang maju, konstruktif, serta lebih arif dan bijak.

Baca Juga:  Tanpa Tunggu Bantuan Pemerintah, Muhammadiyah Gerak Cepat Bangun Sekolah Pascagempa

Memang, dalam realitas “dunia yang gelap” di mana ketidakadilan dan kezaliman sering terjadi, individu yang berpikir bebas cenderung memiliki karakter super kritis. Mereka peka terhadap ketimpangan, dan berani mempertanyakan perilaku atau kebijakan yang tidak adil.

Sikap kritis inilah yang sering kali dianggap menyimpang oleh pihak yang merasa terganggu, padahal sesungguhnya ia merupakan bagian penting dari proses membangun lingkungan yang lebih adil, peduli, dan beradab.

Sebaliknya, jika kebebasan berpikir dibatasi secara berlebihan, daya nalar akan mandek dan melemah. Akibatnya, stagnasi pun muncul, menghambat kemampuan menyelesaikan masalah secara bijak.

Dalam kondisi seperti itu, orang cenderung memilih jalan pintas yang pragmatis, bahkan menghalalkan segala cara tanpa mempertimbangkan norma dan moral. Jika terus berulang, perilaku ini akan membentuk tradisi yang mengorbankan moralitas dan mengikis idealisme.

Lalu, mengapa pendidikan harus mempercepat kemampuan adaptasi? Karena setiap manusia, di manapun ia berada, pasti membutuhkan orang lain dan makhluk lain untuk bertahan hidup. Tidak ada manusia yang bisa hidup sepenuhnya sendiri; hanya Sang Pencipta yang tidak bergantung pada ciptaan-Nya.

Oleh sebab itu, pendidikan wajib menanamkan formula dasar bagi peserta didik agar mampu beradaptasi cepat dalam segala situasi—baik saat berada di hutan belantara, di tengah lautan, maupun di lingkungan sosial yang kompleks.

Kecepatan beradaptasi akan memudahkan terjadinya pertukaran kebutuhan secara timbal balik, menciptakan interaksi sosial yang saling menguntungkan.

Kemampuan ini menjadi bekal fundamental bagi siapa pun yang ingin menjalani hidup dengan lebih bermakna. Semoga sistem pendidikan kita mampu menumbuhkan cara berpikir yang bebas sekaligus keterampilan beradaptasi cepat sehingga setiap generasi siap menghadapi perubahan apa pun, kapan pun ia datang. Wallahu a‘lam.

*Wakil Ketua PWM Jawa Barat

PMB Uhamka