BANDUNG.COM – Pandemi Covid-19 awal tahun lalu yang sekarang belum berakhir, telah berdampak luas di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Sektor ekonomi disinyalir bidang yang paling berdampak. Banyak perusahaan merumahkan ribuan karyawannya. Kemudian banyak juga usaha-usaha rintisan yang gulur tikar.
Namun demikian, di tengah kondisi yang tidak normal seperti saat ini, ada perusahaan rintisan yang justru bertahan. Bahkan perusahaan tersebut tumbuh berlipat.
Dilansir Bandungmu dari Ayobandung, perusahaan start-up asal Kota Bandung, Torch, tetap tumbuh positif. Bahkan, pertumbuhan bisnisnya mencapai dua kali lipat apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
”Sepanjang krisis karena pandemi kami masih tumbuh, pengiriman jalan terus. Dari 2019, pertumbuhannya 100%, sampai dua kali lipat,” ungkap Chief Executive Officer (CEO) Torch Ben Wirawan saat ditemui di kantor dan showroom Torch, Jalan Laswi Kota Bandung, belum lama ini.
Torch merupakan produsen peralatan traveling yang memproduksi berbagai produk seperti tas, baju, dan sandal. Torch mengandalkan online marketing untuk memasarkan produknya kepada para generasi milenial.
Apabila dilihat sekilas, Torch tampak tidak berbeda dengan perusahaan bidang sejenis penjual aneka produk travelling dan outdoor gear, yang juga turut terdampak pandemi Covid-19. Namun, di balik setiap produknya, terdapat model bisnis ‘tahan banting’ yang teruji dapat beradaptasi di tengah krisis.
”Model bisnis kami itu hanya fokus pada kompetensi utama perusahaan, yaitu research and development (RnD), digital marketing, dan supply chain management,” ungkapnya.
Meski memproduksi berbagai produk pakaian, tas, sepatu hingga sajadah, Torch hingga saat ini hanya memiliki enam buah mesin jahit. Proses produksi dan gudang diserahkan pada pihak ketiga sehingga perusahaan memiliki struktur yang ramping.
Dia mengatakan salah satu ciri perusahaan di era digital saat ini adalah menyerahkan unit pekerjaan lain kepada pihak ketiga yang berkompeten di bidangnya. Dengan begitu, perusahaan inti bisa lebih fokus ke pemasaran dan pengembangan produk, tidak dibebani dengan berbagai macam persoalan yang bukan core bussiness (bisnis inti).
”Kami menyerahkannya pada pihak-pihak yang punya kompetensi di situ, sehingga kita bisa bergerak lebih cepat. Organisasi yang ramping membuat kami jauh lebih fleksibel saat pandemi datang,” ungkapnya.
Karena tak perlu dibuat ‘ribet’ oleh tetek-bengek teknis produksi, Torch memiliki energi lebih untuk fokus di salah satu kompetensi utamanya yakni pengembangan produk dan inovasi. Hal ini pulalah yang menjadikan Ben dan kawan-kawan dapat dengan tangkas melakukan pivot bisnis saat pandemi mulai mewabah, yakni dengan memproduksi alat pelindung diri (APD).
”Kami adalah salah satu perusahaan pertama yang bisa suplai kebutuhan APD dalam negeri saat kita krisis APD. Awalnya karena mendengar keluhan dari teman saya yang merupakan dokter di salah satu rumah sakit di Bandung. Mereka kekurangan APD, minta dibuatkan karena enggak ada suplai dari pemerintah,” ungkapnya.
Kala itu, Ben dan rekan-rekannya di Torch sama sekali tidak mengetahui hal apapun terkait APD. Namun, mereka menampung segala keluhan yang disampaikan, termasuk soal bahan APD di pasaran yang dinilai kaku dan tidak nyaman, sehingga membatasi gerak para petugas kesehatan.
”Akhirnya RnD kerja khusus untuk mengembangkan APD. Kebetulan di awal-awal tahun (2020) itu mulai terlihat ada penurunan (penjualan produk), saya cukup khawatir. Kami putuskan untuk pivot saja dulu fokus ke APD,” ungkapnya.
Mereka kemudian mecari material untuk APD sesuai permintaan dokter, yang mampu menahan air masuk namun tetap bisa mengeluarkan udara panas agar tubuh tetap sejuk. Material dengan teknologi membran mikropori tersebut akhirnya didapat lewat proses panjang dan ‘sikut-sikutan’ di China.
”Setelah dikembangkan, teman saya bilang APD tersebut adalah yang paling enak yang pernah dia pakai selama bekerja jadi dokter. APD kami itu bisa digunakan ulang sebanyak 30 kali, bukan yang sekali pakai. Jadi ini sekaligus bisa memangkas pengeluaran untuk APD sampai sepersepuluh nya,” ungkapnya.
Torch kemudian memasarkan produk tersebut lewat video berdurasi satu menit yang diunggah ke media sosial Instagram. Dari sanalah perusahannya mulai kebanjiran order APD.
”Video tersebut viral secara organik. Setelah itu kita melayani banyak sekali lembaga pemerintah, lembaga profesi dan berbagai rumah sakit untuk APD. Saat PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), saya sampai minta izin operasional kantor karena yang dikerjakan memang hal urgent,” ungkapnya.
Ben mengatakan, produk APD menjadi penyumbang hampir separuh dari pertumbuhan bisnis Torch di 2020. Selain memiliki titik berat di inovasi produk, hal yang juga menjadikan Torch terus bertahan selama pandemi adalah konsep digitalisasi bisnis yang telah diadopsi oleh seluruh lini.
”Kita sangat bersandar pada inovasi. Baca data, analisa, lalu kembangkan oleh tim kreatif dan marketing untuk menghasilkan produk yang disukai masyarakat. Baru setelah itu membuat kampanye-kampanye yang bisa terukur,” ungkapnya.
”Digital markering itu tak hanya sekedar membuka akun di e-commerce. Itu bagian dari digitalisasi. Padahal dari sisi financing dan semuanya, juga harus di-digitalisasi. Jadi saat pandemi datang, kami baru sadar kalau model bisnis Torch sudah siap,” jelasnya.