Oleh: Ace Somantri, Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar
BANDUNGMU.COM — Demokrasi adalah sistem tata negara yang dipilih oleh bangsa Indonesia, suka atau tidak, sebagai pilihan terbaik saat ini dalam menata dan mengelola negara yang sangat heterogen.
Berbagai suku, ras, dan etnis tersebar di seluruh penjuru negeri, dari Sabang sampai Merauke. Dasar dan falsafah Indonesia adalah mempersatukan perbedaan tersebut.
Pancasila menjadi dasar hukum perundang-undangan yang mengatur seluruh sistem tata negara, dan sempat menjadi tren dalam dinamika politik Indonesia dengan sebutan “Demokrasi Pancasila” pada era Orde Baru.
Meskipun demikian, demokrasi Pancasila pada dasarnya adalah sistem politik nasional khas Indonesia, di mana nilai-nilainya harus benar-benar menjadi sandaran falsafah yang bersumber pada sila-sila yang terkandung di dalamnya.
Demokrasi memang bukan satu-satunya sistem tata negara, bahkan sistem terbaik masih jauh dari sempurna.
Namun, karena bangsa ini telah sepakat dan tokoh-tokoh bangsa telah mencapai konsensus, sistem demokrasi yang saat ini dijalankan menjadi instrumen yang harus dijaga, dihormati, dan dihargai dalam semua keputusannya.
Praktik pemilihan umum saat ini menjadi salah satu instrumen dari sistem demokrasi yang dianut, dengan harapan tidak disalahpahami sebagai alat untuk kepentingan sesaat.
Meskipun para tokoh bangsa mungkin memahami hal ini, tidak semua orang menyadari bahwa setiap pemilu selalu melibatkan pertarungan kekuatan yang didorong oleh kekuasaan.
Akhirnya, semua pihak yang terlibat dalam dinamika pemilu terjebak dalam orientasi yang dapat merusak kesadaran akan kebangsaan dan kenegaraan yang sebenarnya. Konstitusi dilegitimasi bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kemakmuran dan kemanfaatan seluruh rakyat.
Dinamika pemilu dari satu periode ke periode berikutnya terus mengalami perubahan meskipun jauh dari harapan yang diinginkan.
Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa kekuatan dan kekuasaan selalu menjadi motivasi dan semangat bagi para politisi, birokrat, teknokrat, dan kadang-kadang akademisi yang tergoda oleh realitas politik.
Mereka seakan-akan harus digambarkan sebagai pihak sebagai orang yang dihormati, disegani, dan akhirnya dilayani seperti raja, ratu, atau pangeran dalam sebuah istana.
Fenomena ini mungkin tampak wajar dan realistis sebagai impian bagi beberapa orang. Bahkan menjadi impian yang harus diwujudkan karena di baliknya banyak keuntungan dan koneksi yang menguntungkan.
Namun, dalam demokrasi sejati, setiap warga negara seharusnya memiliki hak yang sama untuk melayani dan dilayani secara adil serta mendapatkan kompensasi yang merata sesuai dengan haknya.
Para pembuat kebijakan dan pemikir yang menemukan teori sistem demokrasi menekankan tujuan mulia seperti keadaban dan keadilan. Namun, disayangkan bahwa dalam praktiknya, banyak tindakan yang mengabaikan nilai-nilai demokrasi demi kepentingan sesaat.
Dampaknya bisa berujung pada kerusakan sistem imunitas demokrasi. Apabila hal itu tidak dijaga dengan baik, dapat merusak seluruh struktur negara dan masyarakat yang mengadopsi sistem demokrasi itu sendiri.
Realitas politik lahir dari dinamika demokrasi yang dijalankan. Baik dan buruknya merupakan produk dari mesin demokrasi yang dianut. Bergantung pada keterlibatan semua pihak yang memiliki wewenang dan kepentingan, terutama penyelenggara negara dan rakyat.
Jika kita mengkaji lebih dalam tentang Demokrasi Pancasila, nilai-nilai sila pertama hingga kelima menjadi dasar filosofi yang sangat teologis. Tentu dengan pendekatan spiritualitas yang nyata dan jauh dari kesan kosong.
Pembajakan demokrasi tidak akan terjadi jika ruh dari nilai sila pertama memperkuat integritas moral. Moral yang baik selalu terikat dengan nilai-nilai agama dan relegiusitas.
Pasalnya, konsep ketauhidan memiliki makna religius yang dalam dan terikat dengan ikrar ketauhidan seperti yang diajarkan dalam Islam. Terutama sekali dalam kalimat syahadat yang mengimplikasikan pada spiritualitas yang mendalam.
Turbulensi demokrasi
Pemilu yang diadakan secara berkala, setiap lima tahun sekali, kadang-kadang mengalami turbulensi demokrasi yang berujung pada penurunan paksa oleh rakyat atau dalam sidang parlemen.
Hal tersebut dianggap sebagai bagian dari sistem demokrasi yang sehat. Namun, di balik peristiwa tersebut ada yang menilai bahwa hal itu merupakan rekayasa demokrasi yang tidak sehat.
Terindikasi bahwa realitas politik yang mendorong gerakan revolusi dan reformasi tidak lepas dari intervensi global yang bersembunyi di balik motif politik tertentu dengan menggunakan nama rakyat Indonesia. Apakah hal itu benar-benar terjadi dalam kenyataan?
Demokrasi dan realitas politik pada dasarnya merupakan produk dari hukum dan politik yang dikendalikan oleh penyelenggara negara dalam kerangka trias politika yang diambil dari Montesquieu.
Secara nyata, keduanya tidak dapat dipisahkan menjadi entitas yang terpisah. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, rentan terjadi pembajakan karena faktor-faktor mendasar. Terutama sekali karena kesadaran dan pemahaman sering kali dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakatnya.
Tidak dapat disangkal bahwa ada kesenjangan yang besar antara berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Utamanya dalam jarak antara penyelenggara negara sebagai pelayan dengan rakyat yang seharusnya dilayani.
Lebih memprihatinkan lagi, terkadang peranannya terbalik, di mana yang seharusnya melayani justru menjadi yang dilayani, dan sebaliknya.
Dalam praktiknya, situasinya mirip dengan “dari pejabat-birokrat, oleh pejabat-birokrat, dan untuk pejabat-birokrat”. Apakah ini sebuah kritik ataukah sebuah kenyataan, mari kita teliti dengan saksama dan hati-hati.
Jika memang inilah yang terjadi, anak bangsa harus mengambil langkah untuk memperbaikinya sehingga bangsa dan negara ini dapat mencapai kesejahteraan dan keadilan yang lebih pasti.
Demokrasi yang terbajak
Masuk dalam era global-digital, fase baru yang muncul akibat disrupsi teknologi. Pertanyaannya, apakah bangsa ini mampu keluar dari jeratan realitas politik yang terbentuk dari sistem demokrasi yang terbajak?
Suka atau tidak, saat pemilu menjadi momentum untuk sedikit memperbaiki negeri. Dengan tekad dan kesungguhan para tokoh bangsa, politisi, dan juga akademisi, proses demokrasi dalam pemilu diperkuat lebih baik dari sebelumnya.
Sejak reformasi, pemilu mengalami perubahan mendasar dan keterbukaan sistem politik menjadi indikator bahwa ada reformasi dalam dunia politik.
Namun, disadari atau tidak, kesiapan rakyat belum sepenuhnya memahami secara mendalam dan rinci sehingga menimbulkan kelemahan yang terbuka.
Akhirnya, kelemahan tersebut sering kali ditutupi oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan pragmatis sesaat yang kemudian dikenal dengan istilah para oligarki.
Meskipun sebenarnya, kemungkinan besar hal tersebut telah diketahui jauh sebelumnya karena munculnya kelemahan merupakan strategi yang dirancang secara sengaja.
Tanpa ikut terbawa arus atau terlalu ramai, yang penting adalah mementingkan diri sendiri saat hasil akhir. Tanpa peduli dengan apa pun yang terjadi, apakah mereka merasa senang atau kecewa.
Setelah pemilu 2024, saat ini telah keluar hasil gugatan sengketa hasil pemilu di Mahkamah Konstitusi. Dalam realitas politik, ada yang merasa puas dan ada pula yang tidak. Itu hal yang wajar.
Namun, hal yang sangat diharapkan adalah agar hal ini tidak berujung pada perpecahan di antara anak bangsa. Rasa kecewa merupakan realitas politik yang harus dihadapi dengan sikap yang santai dan kritis.
Pada akhirnya, diharapkan akan muncul tingkat kesadaran yang tinggi di kalangan rakyat Indonesia. Namun, hal ini bukan berarti kita hanya duduk diam.
Masih ada ruang dan waktu untuk terus mengingatkan, mengkritik, memberi saran, dan memberikan kontribusi untuk perbaikan bangsa. Dengan kerja keras dan cerdas, hasil yang tidak diduga-duga dapat tercapai, meskipun bukan berarti segalanya terjadi tanpa proses.
Dalam konteks kebangsaan, dinamika pemilu 2024 telah membawa nuansa demokrasi yang lebih lancar dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Salah satunya adalah peningkatan jumlah partisipasi publik dalam menggunakan hak suaranya saat pemilihan umum berlangsung. Meskipun demikian, tidak bisa diabaikan bahwa masih terjadi beberapa peristiwa yang merusak nilai-nilai demokrasi yang sehat.
Tensi publik terkait pemilu dianggap telah mereda sejak hasil quick count dan real count menunjukkan selisih suara yang relatif besar antara masing-masing pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Secara psikologis, publik percaya bahwa pemilihan presiden dan wakilnya akan diselesaikan dalam satu putaran. Terutama ketika mereka melihat data hasil suara secara langsung dari berbagai media cetak dan elektronik yang terus diperbarui dalam rentang waktu tertentu.
Semua ini sudah cukup meyakinkan publik tentang siapa yang memenangkan kontestasi pemilihan presiden dan wakilnya.
Namun, perhatian publik terhadap calon anggota parlemen tingkat pusat, serta daerah satu dan dua, tidak begitu besar, kecuali bagi para kontestan dan pendukung masing-masing partai.
Padahal, penting untuk mengetahui siapa yang akan menjadi perwakilan rakyat yang akan mengawal kebijakan pemerintah dengan penuh tanggung jawab.
Namun, hal ini mencerminkan tingkat apatis rakyat Indonesia terhadap para calon legislatif yang sebagian besar merupakan orang-orang lama yang sudah berkali-kali menjabat sebagai anggota parlemen.
Setelah keputusan final Mahkamah Konstitusi, hari ini dan esok hari, seluruh masyarakat akan kembali fokus pada aktivitas mereka masing-masing.
Semoga pemimpin baru negara ini mampu membawa Indonesia menuju kemajuan, kedaulatan, dan kewibawaan di antara negara-negara yang telah maju lebih dulu.
Kita harus tetap optimis dan memberikan waktu yang cukup kepada pemimpin baru untuk menjadikan Indonesia sebagai teladan bagi negara-negara berkembang lainnya di dunia.
Dengan demikian, kita dapat bersekutu demi kedaulatan dalam berbagai aspek. Kemudian bisa mencegah negara-negara adidaya untuk melakukan intervensi sewenang-wenang sesuai dengan keinginan mereka.
Sebagai rakyat, kita harus tetap waspada dan memantau kebijakan-kebijakan pemerintahan selama satu periode ke depan. Jika ada kebijakan yang secara nyata melanggar konstitusi, kita tidak boleh ragu untuk memberikan peringatan yang sewajarnya.
Hasil pemilu kali ini adalah bagian dari realitas politik yang sah dan harus diterima serta didukung seperti halnya pada periode-periode sebelumnya, demi kelangsungan Indonesia. Wallahu’alam.***