Dr. Radea Juli A. Hambali, M.Hum., Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin (FU) UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
BANDUNGMU.COM-Berkomunikasi atau menjalin wicara dengan sesama bukan sekadar bertukar pikiran, menakar gagasan atau menyerap informasi yang kita inginkan. Berkomunikasi juga berdialog sejatinya melibatkan tidak hanya dimensi kognisi tapi juga seluruh kesadaran kemanusiaan.
Kita kerap menemukan fakta dalam kehidupan sehari-hari adanya monolog bukannya dialog. Dalam monolog, seseorang menempatkan dirinya sebagai superior sedang lawan bicaranya adalah subordinat yang berada di bawah kuasa dirinya. Martin Buber menyebut inilah dialog I-It.
Dalam relasi I-It, lawan bicara dibendakan dan tak diberi kesempatan untuk mengungkapkan perspektif yang dimilikinya. Mengungkapkan keunikan dirinya.
Di seberang relasi I-it, ada tindakan komunikasi yang memanusiakan, yang menempatkan lawan bicara bukan sebagai “the others” yang asing, tetapi sebagai manusia yang juga sama seperti dirinya. Inilah yang disebut Buber sebagai rekasi “I-Thou”.
Melampaui sekadar memanusiakan, secara spiritual relasi “I-Thou” dilandaskan pada jangkar yang dalam tradisi Islam tersurat dalam pesan suci bahwa “jangan kau buat manusia menyesal ketika mengenalmu tetapi buatlah manusia menyesal ketika kehilanganmu”.
Sampai di sini, saya diingatkan pada “pertemuan wajah” nya Levinas. Wajah tak sekadar menggambarkan raut muka seseorang tapi juga kesan juga seluruh kesadaran. “Pertemuan wajah” adalah simbolisasi dari cara kita berdialog bahkan cara bersosialisasi kita di tengah-tengah masyarakat.
Barangkali, inilah yang disebut dengan “silaturahim”. Secara literal, kata ini berarti “menyambung (sila) kasih sayang (rahim). Pesan silaturahim adalah untuk menemukan sikap saling menghargai dan saling percaya.
Allahu a’lam[]