Oleh: Radea Juli A Hambali*
BANDUNGMU.COM — Berkomunikasi lebih dari sekadar bertukar pikiran, berbagi gagasan, atau menyerap informasi. Dialog sejati melibatkan dimensi kognitif sekaligus seluruh kesadaran kemanusiaan. Dalam praktiknya, komunikasi yang dilakukan sering kali tidak memanusiakan, melainkan menjadikan lawan bicara sebagai objek semata.
Fakta sehari-hari menunjukkan bahwa monolog lebih sering terjadi dibanding dialog. Dalam monolog, seseorang menempatkan dirinya sebagai superior, sedangkan lawan bicaranya menjadi subordinat yang berada di bawah kuasanya. Martin Buber menyebut relasi ini sebagai I-It, di mana lawan bicara diperlakukan sebagai benda, bukan manusia dengan perspektif dan keunikan yang patut dihargai.
Sebaliknya, Buber memperkenalkan konsep I-Thou, sebuah hubungan komunikasi yang memanusiakan. Dalam relasi ini, lawan bicara diperlakukan sebagai individu yang setara, bukan sekadar “yang lain.” Relasi I-Thou membuka ruang untuk saling menghargai, memahami, dan mengenali kemanusiaan yang sama dalam diri masing-masing.
Relasi Spiritual dalam Dialog
Relasi I-Thou memiliki kedalaman spiritual yang mendalam. Dalam tradisi Islam, hal ini tercermin dalam pesan suci, “Jangan kau buat manusia menyesal ketika mengenalmu, tetapi buatlah manusia menyesal ketika kehilanganmu.” Pesan ini menggarisbawahi pentingnya membangun hubungan yang bermakna, di mana keberadaan kita membawa manfaat dan kebahagiaan bagi orang lain.
Pemikiran ini mengingatkan kita pada konsep “pertemuan wajah” dari Emmanuel Levinas. Bagi Levinas, wajah bukan hanya cerminan raut muka, tetapi simbol dari keseluruhan kesadaran dan keberadaan seseorang. Pertemuan wajah menggambarkan dialog sejati yang melibatkan penghargaan dan rasa tanggung jawab terhadap sesama manusia.
Silaturahim: Menyambung Kasih Sayang
Dalam konteks budaya, relasi yang memanusiakan ini sejalan dengan konsep silaturahim. Secara literal, silaturahim berarti “menyambung kasih sayang.” Silaturahim mengajarkan kita untuk membangun hubungan yang dilandasi penghormatan dan kepercayaan, menciptakan harmoni di tengah masyarakat.
Pesan silaturahim adalah pengingat bahwa komunikasi sejati bukan hanya soal kata-kata, melainkan tentang menciptakan hubungan yang saling menguatkan. Dialog yang memanusiakan bukan sekadar berbicara, melainkan mendengarkan, memahami, dan mengakui keberadaan orang lain sebagai sesama manusia. Di sinilah letak esensi komunikasi yang memuliakan kemanusiaan.
*Wakil Dekan III Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung