PMB Uhamka
News

Eco-Teologi: Jihad Hijau Untuk Kesejahteraan Umat

×

Eco-Teologi: Jihad Hijau Untuk Kesejahteraan Umat

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ace Somantri*

Beragam persoalan yang terjadi di alam semesta tidak dapat dipisahkan dari dinamika kehidupan manusia. Setiap peristiwa alam yang muncul pada hakikatnya merupakan hasil dari sikap dan tindakan manusia itu sendiri.

Disadari atau tidak, berbagai konsekuensi dari perbuatan manusia sejak awal penciptaannya selalu melahirkan kejadian-kejadian yang mengandung hikmah serta pelajaran berharga bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi.

Salah satu contohnya adalah peristiwa perselisihan burung pada awal kehidupan manusia di bumi, yang memberikan pelajaran simbolis bagi anak Adam AS, yaitu Qabil dan Habil.

Demikian pula pada masa kini, berbagai fenomena alam yang terjadi senantiasa mengandung ibrah atau pelajaran berharga yang dapat dipahami dan dimaknai sebagai sesuatu yang bernilai—baik dari sisi material maupun spiritual—dengan makna yang bersifat multidimensi.

Kemunculannya berjalan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi wujud dari peradaban manusia. Namun, di balik kemajuan tersebut, selalu tersisa berbagai persoalan yang memunculkan banyak pertanyaan baru.

Terlebih pada momen-momen tertentu, perkembangan itu justru membuat manusia kehilangan arah dan tujuan hidupnya. Padahal, sejatinya sejak proses penciptaannya, manusia telah berikrar untuk menaati dan mematuhi ajaran Sang Pencipta tanpa syarat apa pun.

Janji tinggal janji — begitulah karakter umum manusia ketika dihadapkan pada berbagai kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Sebagai makhluk sosial, manusia memang diciptakan untuk saling bergantung dan membutuhkan satu sama lain.

Namun, dalam proses saling memenuhi kebutuhan itu, tersimpan dua potensi dasar dalam diri manusia yang selalu berdampingan: potensi kebaikan dan potensi keburukan.

Pertanyaannya, bagaimana kondisi dan dinamika alam semesta di era global saat ini ketika kerusakan lingkungan dan krisis iklim justru semakin parah dan tak kunjung mereda?

Padahal, berbagai upaya pencegahan dan perbaikan telah dilakukan, namun kenyataannya tingkat kerusakan lingkungan terus meningkat seiring berjalannya waktu.

Baca Juga:  ITB Perkenalkan Teknologi CDN di Sekolah Lampung Untuk Tingkatkan Akses Materi Pembelajaran

Berbagai deklarasi telah dibuat, bahkan ditetapkan pula hari khusus sebagai peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Beragam riset terus dipublikasikan dan disampaikan dalam berbagai forum, baik ilmiah maupun kebangsaan, di berbagai belahan dunia.

Semua itu mencerminkan komitmen moral manusia yang berakal dan bertanggung jawab. Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia seharusnya menumbuhkan rasa syukur dan kesadaran diri atas amanah yang diembannya.

Ia ditugaskan untuk menjalankan peran sebagai makhluk berakal sehat yang menjaga keseimbangan alam semesta.

Terlebih bagi mereka yang meyakini diri sebagai penganut ajaran Islam, tidak ada alasan untuk abai terhadap kesadaran dan tanggung jawab sebagai khalifah fi al-ardh (pemakmur bumi).

Setiap muslim seharusnya mampu memfungsikan perannya di mana pun berada tanpa terikat batas teritorial atau kebangsaan, dengan terus menjaga, merawat, serta menginisiasi gerakan deep ecology yang membawa manfaat nyata bagi manusia.

Tujuannya tak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan sekaligus membangun hubungan yang harmonis dan seimbang dengan seluruh makhluk ciptaan Tuhan.

Kebermanfaatan dan nilai guna dari ekosistem yang sehat akan menghasilkan nilai material yang mendukung pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya secara baik dan sesuai dengan fitrahnya.

Sebaliknya, ketika ekosistem mengalami kerusakan, dampaknya akan meluas dan menimbulkan kehancuran pada berbagai sistem kehidupan, yang pada akhirnya mengancam keberlangsungan hidup seluruh makhluk di bumi.

Ekosistem manusia memegang peran kunci dalam upaya pencegahan, pengendalian, dan pemeliharaan seluruh ekosistem makhluk hidup lainnya.

Hal ini karena hanya manusia yang dianugerahi kemampuan lebih dibandingkan makhluk lain, sehingga posisinya menjadi sangat sentral dalam menjaga keseimbangan alam.

Dengan demikian, sebagai makhluk yang istimewa, manusia seharusnya memanfaatkan keistimewaan tersebut untuk memberikan manfaat bagi seluruh makhluk, memastikan kesejahteraan mereka, menjaga kelestarian habitatnya, dan mencegah kepunahan yang dapat terjadi dalam waktu singkat.

Baca Juga:  Hizbul Wathan UMS Kukuhkan 25 Kader Berkarakter, Siap Wujudkan Masa Depan Cerah

Demikian pula bagi manusia sendiri, apabila mampu menjaga ekosistemnya serta mengelola alam dengan baik dan benar sesuai kaidah yang berlaku, maka hal itu akan menghadirkan kesejahteraan.

Kemampuan manusia untuk berkreasi dan berinovasi terhadap alam semesta secara adil dan berkelanjutan akan memperpanjang keberlangsungan ekosistem manusia dan menciptakan kehidupan yang lebih lestari.

Secara teologis, penciptaan alam semesta beserta isinya merupakan wujud kasih sayang Allah SWT kepada manusia. Semua itu diberikan secara cuma-cuma agar manusia dapat mengelolanya dengan benar demi tercapainya kesejahteraan hidup.

Sebagaimana tercantum dalam QS Ibrahim ayat 32–34 yang menegaskan bahwa Allah menundukkan alam semesta… untuk rezeki dan sarana hidup manusia, jelas menunjukkan isyarat Ilahi bahwa manusia, dengan keimanan yang sempurna, seharusnya mampu mengelola, merancang, dan memanfaatkan seluruh isi alam secara bijak.

Tujuannya tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Namun, membantu sesama yang belum atau tidak mampu memperbaiki kehidupannya.

Miliaran jenis hayati yang tersebar di muka bumi merupakan bukti nyata kebesaran Allah yang tak dapat dibantah oleh manusia. Oleh karena itu, tidaklah benar jika manusia merasa kesulitan untuk hidup sejahtera, kecuali jika ia memilih untuk malas, enggan berkreasi, dan tidak mau berinovasi.

Umat Muslim memiliki dua bekal utama sebagai sumber kekuatan spiritual: keyakinan kepada Sang Khaliq dan kemampuan untuk melihat ciptaan-Nya secara nyata.

Al-Quran telah memberikan tuntunan lengkap melalui berbagai ayat yang tersusun dalam surat-surat-Nya, mengandung rumusan dan kaidah yang dapat dijadikan pedoman serta “algoritma kehidupan” bagi manusia—semuanya disediakan tanpa imbalan apa pun dari Sang Pemilik ilmu.

Tidak ada alasan bagi siapa pun untuk tidak berperan aktif dalam menghijaukan bumi melalui upaya yang produktif, berkelanjutan, dan bersifat sirkular.

Baca Juga:  Keren Nih, Ada Kampung Jahe dan Kunyit di Kota Bandung

Langkah tersebut tidak hanya bermanfaat bagi manusia. Namun, bagi seluruh makhluk hidup yang saling terikat dalam satu ekosistem di muka bumi.

Kebaikan manusia sesungguhnya terletak pada dampak nyata dan solusi positif yang lahir dari gagasan serta karya pemikirannya.

Namun sayangnya, egoisme dan sifat individualistik telah membuat manusia mengubah wajah alam semesta yang semula bernuansa surgawi—penuh kenikmatan dan keseimbangan—menjadi rusak dan kehilangan harmoni.

Dengan kesombongan dan keangkuhannya, manusia perlahan menjadikan bumi yang indah ini berubah menjadi tempat yang kacau, bahkan di beberapa waktu dan tempat, seolah mencerminkan gambaran kecil dari suasana neraka.

Dengan demikian, jihad hijau dapat dimaknai sebagai wujud nyata penerapan nilai-nilai teologis yang wajib dijalankan untuk menghindari sikap ingkar terhadap ayat-ayat Ilahi yang secara jelas dan tegas melarang kerusakan tanpa syarat apa pun.

Dalam konteks syariat, jihad hijau merupakan kewajiban individual (fardhu ‘ain) bagi setiap manusia di mana pun ia berada.

Begitu besarnya nilai amal tersebut hingga Rasulullah SAW, dalam hadis riwayat Ahmad, berpesan kepada umatnya untuk tetap menanam satu benih tanaman di bumi meskipun hari kiamat telah tiba. Pesan ini menegaskan betapa tinggi nilai ibadah dalam menjaga kelestarian alam.

Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT yang melarang manusia berbuat kerusakan di bumi. Nabi pun menegaskan kembali pentingnya menanam sebagai simbol tanggung jawab manusia terhadap kehidupan, bahkan hingga detik-detik akhir keberadaannya di dunia.

Maka, siapa pun kita–sebagai manusia beriman, berislam, dan berihsan–dengan dasar keilmuan apa pun yang dimiliki, tidak ada alasan untuk tidak berpartisipasi dalam jihad gerakan hijau: satu jiwa, satu pohon demi terwujudnya kesejahteraan umat dan kebahagiaan di dunia serta akhirat. Aamiin.

*Wakil Ketua PWM Jawa Barat
PMB Uhamka