BANDUNGMU.COM, Bandung — Salah satu bentuk iman adalah mencintai sesama, bahkan kepada yang berbeda agama sekalipun. Saling menghargai, tidak memusuhi, bersahabat, bertetangga dan bertegur sapa.
Itu merupakan wujud Islam yang dicintai oleh nabi. Selain itu, di antara ciri orang bertakwa, walkaziminal ghaiz, menahan marah. Marah itu manusiawi apalagi jika hak kita diganggu atau direndahkan.
Hal tersebut disampaikan Haedar Nashir ketika menjadi pembicara dalam refleksi akhir tahun Masjid Husnul Khatimah, Rabu (28/12/2022) lalu.
“Maka kalau orang Islam marah, kalau dia berdiri harus duduk. Kenapa? Karena kalau berdiri bisa apa saja. Di saat duduk masih marah, berbaring. Namun, kalau berbaring masih marah, ambil air wudu karena setan itu bersama denyut peredaran darah. Kalau sudah wudu masih marah, shalatlah. Dan kalau masih marah, kebangetan. Harus ada turun tensi marah. Itulah iman,” terang Haedar.
Iman itu, kata Haedar, juga perlu ilmu. “Iman disetarakan dengan ilmu. Berbahagia anak-anakku sekalian diberi kesempatan kuliah dan sekolah. Ingat di banyak tempat, banyak anak bangsa yang tidak dapat kuliah,” tutur Haedar.
“Kami PP Muhammadiyah maupun perguruan tinggi Muhammadiyah membuka program beasiswa, itu pun terbatas karena kita swasta. Kemarin ketika di Jakarta saya menerima Dubes Kenya, lalu karena Kenya itu masih banyak persoalan, meskipun di sana mayoritas kristen, tapi banyak komunitas muslim. Lalu sebagai konsekuensi dari kita berbagi, PP Muhammadiyah menawarkan 20 beasiswa bagi warga Kenya dan Pak Dubes alhamdulillah senang sekali,” kata Haedar.
“Muhammadiyah memang sekarang juga melaksanakan peran-peran internasional yang bersifat kemanusiaan dan pendidikan. Kita bangun masjid di Uganda. Kemudian kita bikin Muhammadiyah University di Malaysia. Kita buka Muhammadiyah Australia College di Melbourne. Kita punya 2 lahan luas di sana, total ada 14 hektare dan sudah ada sekolahnya. Bahkan tahun ini kita dapat SMP, diizinkan dengan standar Australia,” ungkap Haedar.
“Itu cara kita Muhammadiyah dan kita semua untuk hadir menebar ilmu agar kita bisa membangun peradaban khaira ummah,” jelas Haedar.
Oleh karena itu, kecerdasan itu harus dilatih. Namun, pada saat yang sama, lanjut Haedar, orang Indonesia itu kalau di media sosial cerdas-cerdas, bikin berbagai program yang menipu.
“Seakan-akan dia sukses, padahal itu cuma bikinan. Tingkat daya saing kita itu nomor 7 di ASEAN. Ini penting buat kita. Tradisi ilmu. Di rumah manfaatkan untuk membaca. Maka yang diomongkan di media sosial itu memang harus ilmu,” ungkap Haedar.
“Tingkat digility orang Indonesia dalam menggunakan digital sangat rendah. Coba liat sumpah serapah di medsos. Apalagi mendekati pemilu. Pemilu itu biasa saja, yang suka pilih, yang enggak suka jangan dibenci. Kalah semestara kecewa boleh. Kalau yang dipilih keliru, luruskan,” tegas Haedar.***