BANDUNGMU.COM — Selama ini kita mengenal Al-Quran sebagai cetakan mushaf yang menghimpun firman Allah SWT.
Namun, kenapa ada istilah “turunnya Al-Quran” kepada Nabi Muhammad? Apakah Al-Quran turun dalam bentuk kitab cetakan? Tentu saja bukan.
Al-Quran sebagai kalamullah pada mulanya secara keseluruhan tersimpan di lawhu al-manfudz. Setelah itu, Al-Qur’an “turun” dalam dua proses sebagaimana keterangan dari Al-Zarkasyi dalam Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Qur’an.
Pertama, diturunkan secara sekaligus dari lawhu al-manfudz ke langit dunia atau yang dikenal dengan sebutan bayt al-‘izzah pada malam lailatulqadar (QS Al Qadr: 1).
Kedua, diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW di bumi dalam rentang waktu 23 tahun yang disesuaikan dengan situai dan kondisi.
1. Mengapa Al-Quran turun berangsur-angsur?
Dalam Al-Itqan fî ‛Ulum Al-Qur’an, Jalal Al-Din Al-Suyuthi mengungkapkan alasan mengapa Al-Quran turun kepada Rasulullah SAW tidak secara menyuluruh.
Menurutnya hal tersebut dimaksudkan agar menambah keyakinan dan keteguhan hati Rasulullah SAW, memudahkan penghafalan dan pencatatan, dan adanya sebagian kecil ayat-ayat yang menghapus (nasikh) dan yang terhapus (mansukh).
Turunnya Al-Quran kadang sebagai sebuah jawaban atas suatu masalah atau juga sebagai kabar, berita, pengajaran, peringatan, dan nasihat bergantung pada situasi dan kebutuhan.
Ketika ayat-ayat Al-Quran itu disampaikan pada penduduk Makkah atau Madinah, isi ayat-ayat Al-Quran sering kali membawa perspektif atau informasi yang baru dan berbeda.
Sebagai contoh, Al-Quran menekankan betapa pentingnya posisi dan mulianya derajat perempuan.
Tergambarkan dengan jelas ketika Al-Quran mengadvokasi urusan hak waris dan hak atas proteksi sosial bagi perempuan.
Penduduk Makkah atau Madinah tahu bahwa perempuan punya posisi tertentu dalam masyarakat.
Namun, seperti apa wujud konkret posisi perempuan secara bermartabat dan adil, tidak ada satu pun penegasan yang jadi mainstream di masyarakat.
Begitu pula dengan seruan moral dalam Al-Quran untuk pengentasan kemiskinan, anak yatim, pembebasan budak, dan bidang-bidang lainnya merupakan bukti upaya untuk menjawab problem kemanusiaan.
Dalam beberapa hadis, Rasulullah SAW membeberkan bagaimana suasana batin saat wahyu itu turun kepada dirinya.
Kadang-kadang Rasulullah SAW terasa seperti mendengar bunyi lonceng yang sangat kencang atau Malaikat Jibril terasa seperti berbisik dalam sukmanya.
Tidak jarang pula Rasulullah SAW didatangi langsung Malaikat Jibril sebagaimana dalam peristiwa di Gua Hira dan Isra Mikraj.
Kadang-kadang pula Rasulullah SAW menerima wahyu dalam keadaan tidur melalui mimpi.
Acapkali wahyu itu turun, Rasulullah SAW akan meminta para sahabatnya untuk menghafal dan menuliskannya dalam berbagai medium seperti papirus, pelapah kurma, kayu, dan lain sebagainya.
Penulisan ayat-ayat Al-Qur’an ini diyakini telah mulai sejak era Rasulullah SAW di Makkah.
Hal tersebut dapat dibuktikan dalam kisah yang cukup terkenal tentang masuk Islamnya Umar bin Khattab setelah membaca lembaran QS Thaha ayat 1-6. Usai membaca ayat tersebut, bergetar jiwa Umar dan memutuskan masuk Islam.
2. Al-Quran: dari budaya lisan ke tulisan
Namun, penulisan Al-Quran secara lebih sistematis baru dimulai di Madinah, khususnya setelah Rasulullah SAW secara resmi menunjuk beberapa sahabatnya untuk melakukan tugas ini.
Muawiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Tsabit, dan Abdullah bin Mas’ud adalah nama-nama yang biasa disebut sebagai penulis wahyu di Madinah.
Menurut Al-Suyuthi dalam Al-Itqan, lembaran-lembaran Al-Quran yang ditulis para sahabat ini memiliki jumlah dan susunan surah yang berbeda. Namun yang jelas tidak disusun berdasarkan urutan kronologis ayat-ayat Al-Quran.
Dalam kitab Shahih Bukhari terutama dalam “Fadhail Al-Qur’an” dijelaskan bahwa untuk menjauhkan dari kekeliruan, biasanya setiap malam di bulan Ramadhan kadang-kadang juga di bulan yang lain, Malaikat Jibril mendatangi Rasulullah SAW untuk mengulangi bacaan dalam rangka menjaga keaslian dan keutuhan Al-Quran, baik dari segi susunan ayat maupun yang lainnya.
Oleh karena itu, bentuk bacaan Al-Quran pada masa Rasulullah SAW memang telah ada dan telah sempurna jauh sebelum adanya Mushaf Utsmani.
3. Proses kodifikasi awal Al-Quran
Perbedaan jumlah surah dan yang lainnya di antara sahabat itu disebabkan oleh berbagai faktor. Mushaf Ubay, misalnya, mengoleksi 115 surah, sedangkan Mushaf Ibnu Mas’ud 108 surah, dan Mushaf Ibnu Abbas 116 surah.
Hal tersebut wajar belaka sebab menurut Syamsuddin Arif di antara mereka ada yang belum atau tidak tahu versi terakhir, belum atau tidak sempat mengoreksi naskah catatannya, belum atau tidak sempat menyalin ulang berdasarkan instruksi terakhir, serta meminta pengesahan dari Rasulullah SAW.
Saat Rasulullah SAW wafat, seluruh Al-Quran telah lengkap dan sempurna.
Tidak lama setelah itu, meletus perang Yamamah, yakni pertempuran yang melibatkan pasukan Khalifah Abu Bakar melawan orang-orang murtad, nabi-nabi palsu, dan para pembangkang zakat.
Meski meraih kemenangan, tetapi sejumlah para penghafal Al-Quran berguguran dalam pertempuran tersebut.
Hal inilah yang membuat Umar bin Khattab mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera mengumpulkan dan menghimpun catatan-catatan Al-Quran yang berserakan dalam suatu naskah utuh.
Zayd bin Tsabit yang terkenal cerdas dan teliti ditunjuk sebagai ketua pelaksana yang tugasnya mengompilasi naskah-naskah Al-Quran yang masih berserakan tersebut.
Dalam melaksanakan tugasnya, Zayd dibantu Umar. Keduanya dengan ketat menetapkan bahwa kriteria yang diterima adalah laporan bacaan dan naskah Al-Quran yang benar-benar ditulis di hadapan Rasulullah SAW dan disahkan langsung oleh beliau, tidak cukup hanya mengandalkan hafalan (la an mujarrad al-hifdz).
4. Perjuangan menjaga Al-Quran
Oleh karena itu cukup jelas bahwa upaya koleksi, kolasi, dan kompilasi Al-Quran tidak digarap sendirian atau oleh satu dua orang saja, tetapi merupakan proyek yang melibatkan puluhan bahkan ratusan orang.
Setelah berhasil dihimpun dalam mushaf utuh, naskah tersebut disimpan oleh putri Rasulullah SAW yang bernama Hafshah.
Meski setelah Al-Quran dihimpun menjadi naskah utuh, masih terdapat banyak perbedaan bacaan.
Menurut Syamsuddin, perbedaan tersebut wajar saja terjadi dan dapat dimaklumi karena Rasulullah SAW membolehkan kaum muslim pada masa itu membaca Al-Quran menurut dialek suku masing-masing.
Misalnya, Fakhr Al-Din Al-Razi dalam Mafatih al-Ghayb memberikan informasi bahwa suku Kinanah, Bani Harits, Bani Rabi‘ah, Khath‘am, dan sebagian Bani ‘Adhrah tidak mengubah tanda gramatik suatu kata ganda meskipun dalam kedudukan marfu’, manshub, dan majrur. Seperti kata “inna hadzaani” dalam QS Thaha ayat 63 yang secara gramatik seharusnya dibaca “inna hadzayni”.
5. Penyeragaman dialek Al-Quran
Kebutuhan penyeragaman dialek bacaan Al-Quran baru muncul ketika Utman bin Affan menjadi khalifah.
Pasalnya, perbedaan mengenai bacaan Al-Quran telah menimbulkan keributan di tengah masyarakat.
Al-Suyuthi dalam Al-Itqan mencatatkan bahwa seseorang yang bernama Hudzayfah bin Al-Yaman sempat meyaksikan sendiri perselisihan semacam itu, kemudian menyarankan kepada Khalifah Utsman agar melakukan standardisasi bacaan dan tulisan Al-Quran.
Setelah itu dibentuklah sebuah tim ahli beranggotakan 12 orang pakar Al-Quran dari kalangan Muhajirin dan Anshar, termasuk di antaranya Zayd bin Tsabit, Ubay bin Ka‘ab, ‘Abdullah bin ‘Abbas, Sa‘id bin al-‘Ash bin Sa‘id, dan lain-lain.
Menurut Syamsuddin, apa yang dikerjakan oleh tim ahli ini tidak sebatas koleksi, kolasi, dan kompilasi, tetapi juga kodifikasi dan membuat standardisasi bacaan dan tulisan Al-Quran.
Melalui jasa mereka itulah Al-Quran terpelihara sekaligus menyebar hingga sampai kepada generasi kita.
Simpulannya adalah Al-Quran sebagai satu-satunya kitab suci yang dengan tegas menunjukkan dirinya bersih dari keraguan (la rayba fihi), dijamin keseluruhannya (wa inaa lahu la-hafidzun), dan tiada tandingannya.
Hal ini membuktikan bahwa kitab suci ini benar-benar datang dari Allah secara verbatim.
Menurut Al-Suyuthi, keistimewaan Al-Quran terletak pada metodenya (ushlub), keindahannya (balaghah), dan kabar gaib yang disampaikannya (mughayyibat).***
___
Penulis: Ilham Ibrahim
Editor: FA
Sumber: muhammadiyah.or.id