PMB Uhamka
Opini

KBIHU di Era Regulasi Baru: Mitra Strategis atau Justru Beban Pemerintah?

×

KBIHU di Era Regulasi Baru: Mitra Strategis atau Justru Beban Pemerintah?

Sebarkan artikel ini
Seedbacklink

Oleh: Ace Somantri*

Sudah beredar lama flyer-flyer di media sosial terkait informasi hal ihwal ajakan dan rekruitmen jamaah haji untuk mengikuti kelompok bimbingan ibadah haji atau KBIH. Bahkan, sudah banyak yang berjalan melakukan pendampingan calon jamaah yang dianggap akan pergi tahun ini.

Terlepas itu semua, selama ini keberadaan KBIH sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia haji Indonesia. Oleh karena itu, saat pergeseran penyelenggaraan haji dan umrah terpisah dari Kementerian Agama, ada banyak pihak yang merasa terganggu, baik dalam posisi jabatan sebelumnya maupun kondisi kenyamanan.

Apalagi yang selama ini tradisi tersebut seolah-olah menjadi hal yang wajib keberadaannya. Banyak pembicaraan dan cerita dari mulut ke mulut hal ihwal perhajian Indonesia karena setiap musim haji tiba menjadi peluang emas bagi para pengelola KBIH.

Legitimasi kelembagaannya dilindungi undang-undang sehigga eksistensi kegiatannya legal. Termasuk dalam peraturan terbaru Undang-Undang Nomor 14 tahun 2025.

Menarik disikapi terkait keberadaan KBIH. Selama ini secara subsatansi keberadaannya membantu pemerintah dalam proses penyelenggaraan sebagai mitra pelayanan jamaah haji. Khususnya dalam pendampingan jamaah, baik sebelum berangkat maupun pada saat di lokasi ibadah di tanah suci.

Namun, fakta di lapangan bervariasi kondisi, situasi, dan keberadaan KBIH dalam pelayanannya, hal itu bergantung profesionalitas dan kualitas kelembagaan dari aspek manajemen KBIH masing-masing.

Sejak mulai beralih penyelenggaraan ibadah haji oleh Kemetrian Haji dan Umrah, sepertinya keberadaan KBIH atau KBIHU yang sudah teregister atau terdaftar sebelumnya di Kementrian Agama belum move on sepenuhnya.

Sebab, para pengelola KBIHU merasakan bahwa regulasi dan kebijakan terbaru menuntut mereka berpikir keras untuk beradaptasi. Ketegasan Kementerian Haji dalam menegakkan aturan juga menambah tantangan tersendiri, terutama bagi KBIHU yang sebelumnya ikut terseret dalam persoalan pelanggaran kuota haji.

Isu yang banyak menjadi sorotan publik, sering kali tidak sepenuhnya disadari oleh para pengelola. Ada sejumlah hal penting yang perlu diperhatikan, salah satunya terkait kualitas pelayanan yang dinilai belum memenuhi harapan jamaah.

Baca Juga:  Lima Keutamaan Haji Mabrur

Selain itu, masih terdapat potensi pelanggaran, seperti adanya paksaan untuk menambah aktivitas ibadah yang berdampak pada tambahan biaya. Ketika jamaah merasa tidak puas dan kecewa terhadap pelayanan serta pendampingan, justru pemerintah yang sering menjadi sasaran keluhan, seolah tidak responsif dan kurang memberikan solusi.

Belum lagi persoalan manajemen pelayanan yang dinilai kurang profesional. Kondisi tersebut membuka peluang timbulnya berbagai masalah pelayanan yang pada akhirnya membebani pemerintah sebagai penanggung jawab utama.

Padahal, KBIHU seharusnya menjadi mitra taktis dan strategis pemerintah, bukan sebaliknya menjadi beban yang berpotensi menimbulkan citra negatif.

Situasi menjadi lebih memprihatinkan ketika ditemukan adanya indikasi praktik perekrutan jamaah haji secara agresif. Beberapa agen KBIHU mendatangi jamaah dari rumah ke rumah, menggunakan narasi yang terkesan memaksa bahkan menakut-nakuti.

Misalnya, mengatakan jamaah akan terlantar atau tidak memiliki teman saat manasik jika tidak bergabung dengan KBIHU tertentu. Tindakan tersebut tentu melanggar etika pelayanan.

Selain itu, ada pula pungutan biaya bimbingan haji yang ditarik secara mandiri dan melebihi batas maksimum yang ditetapkan regulasi, bahkan mencapai belasan juta rupiah.

Dalam beberapa kegiatan bimbingan, jamaah juga diarahkan untuk memberikan infaq atau sedekah kepada yayasan penyelenggara, sehingga muncul banyak biaya tambahan yang tidak terduga sebelum keberangkatan.

Sebagai pemerhati perhajian, berbagai peringatan dari Kementerian Haji seharusnya menjadi alarm penting. Regulasi ini menunjukkan bahwa pengawasan dan kontrol terhadap penyelenggaraan KBIHU harus diperkuat, khususnya dalam koordinasi bersama Kementerian Agama untuk memastikan pembinaan dan pelayanannya tetap berada pada jalur yang benar.

Isu mengenai pungutan biaya KBIHU selama ini sudah menjadi hal yang lumrah dan bahkan dianggap sebagai rahasia umum di kalangan umat Islam, khususnya para calon jamaah haji.

Baca Juga:  Catat! Berikut Lokasi Salat Idul Adha 1444 Hijriah di Jakarta Barat

Gambaran yang berkembang di benak sebagian jamaah adalah bahwa mereka yang tidak bergabung dengan kelompok bimbingan haji kerap dianggap kurang baik atau bahkan dicap “bakhil” karena dinilai tidak berupaya menyempurnakan ibadah hajinya.

Tidak jarang pula mereka merasa dikucilkan atau mendapat perlakuan kurang ramah dari jamaah yang mengikuti bimbingan KBIHU.

Situasi tersebut paling dirasakan oleh jamaah dari kalangan masyarakat pedesaan. Di antara mereka, banyak yang mengeluhkan biaya tambahan selama proses bimbingan, seperti ongkos transportasi, makan, hingga pungutan lain yang muncul dari waktu ke waktu.

Bahkan sebelum diberangkatkan ke Tanah Suci, sebagian jamaah sudah harus menjual barang-barang berharga karena pengeluaran untuk bimbingan dan persiapan haji ternyata jauh lebih besar dari yang diperkirakan.

Faktanya, bimbingan yang diberikan sering kali tidak lebih dari ceramah pengajian pada umumnya. Ada pula strategi lain yang digunakan, yakni menawarkan latihan manasik secara gratis tanpa biaya di awal.

Namun, pada setiap pertemuan jamaah tetap diminta memberikan infaq sebagai bentuk kontribusi. Fenomena ini mencerminkan dinamika perhajian di Indonesia yang unik, tetapi jika dicermati lebih dalam justru dapat menimbulkan rasa jengkel karena akal sehat tidak bisa dibohongi.

Karena itu, penting bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi yang ada melalui kebijakan teknis yang jelas terkait mekanisme kontrol, pengawasan, dan evaluasi terhadap KBIHU sebagai mitra resmi.

Apalagi setelah kewenangan penyelenggaraan perhajian beralih dari Kementerian Agama ke Kementerian Haji, diperlukan proses registrasi ulang KBIHU secara transparan dan akuntabel dengan profil serta portofolio yang dapat dipertanggungjawabkan integritasnya.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan KBIHU menjadi instrumen penting untuk mendorong peningkatan mutu layanan dan pendampingan ibadah haji bagi jamaah.

Dalam UU Nomor 14 Tahun 2025 Pasal 53 ayat (3) dijelaskan bahwa “Menteri melakukan pengawasan secara berkala terhadap KBIHU yang melakukan bimbingan dan pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).”

Baca Juga:  Memahami Kritik Sebagai Pengingat Diri

Ketentuan ini menegaskan bahwa pemerintah kini memiliki kewajiban untuk mengawasi KBIHU secara lebih ketat, sementara KBIHU berhak mendapatkan pengawasan yang baik dan terukur.

Mekanisme pengawasan serta periode pelaksanaannya akan diatur secara rinci melalui peraturan pemerintah, peraturan menteri, keputusan menteri, dan regulasi teknis lainnya.

Pengawasan tersebut tidak hanya menyasar aspek pemenuhan ketentuan semata, tetapi juga terintegrasi dengan proses evaluasi, tindak lanjut, dan penegakan sanksi. Dengan demikian, pengawasan dapat berjalan seimbang dan mencerminkan prinsip keadilan bagi seluruh pihak yang terlibat.

Pada kenyataannya, masih ditemukan penyelenggara atau pengelola KBIHU yang tidak disiplin dalam menjalankan regulasi, bahkan melakukan pelanggaran yang bersifat nyata dan sah secara hukum. Oleh karena itu, pemberian sanksi menjadi sebuah keharusan dan harus ditegakkan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Implementasi dari 19 asas penyelenggaraan haji dan umrah tercermin dalam tata kelola manajemen KBIHU, termasuk sistem pelaporan yang terintegrasi dalam sistem informasi manajemen.

Kehadiran KBIHU sebagai mitra pemerintah diharapkan mampu memperkuat pencapaian tujuan penyelenggaraan haji dan umrah, sehingga manfaatnya dapat dirasakan secara optimal baik oleh pemerintah maupun masyarakat Indonesia.

Pengawasan yang disertai evaluasi, tindak lanjut, dan pencatatan rekam jejak akan memberikan hasil yang proporsional. Penyelenggara yang memiliki prestasi layak mendapat penghargaan, sementara mereka yang banyak melakukan pelanggaran harus menerima sanksi yang tegas dan berkeadilan.

Semoga momentum perbaikan sistem penyelenggaraan haji di Indonesia ini menjadi titik awal perubahan besar menuju tata kelola yang lebih bermartabat, berwibawa, serta mampu meningkatkan kehormatan bangsa di mata rakyat dan dunia internasional. Aamiin. Wallahu’alam.

*Pengamat Perhajian Indonesia

PMB Uhamka