UMBandung
Sosbud

Kita dan Mereka, Buku Baru Agustinus Wibowo

×

Kita dan Mereka, Buku Baru Agustinus Wibowo

Sebarkan artikel ini
Buku Agustinus Wibowo, Kita dan Mereka terbitan Mizan Pustaka (foto istimewa).

Oleh: Iwan Yuswandi, penulis buku anak, pelukis

BANDUNGMU.COM, Bandung — Agustinus Wibowo baru saja meluncurkan buku yang berjudul Kita dan Mereka.

Karya penulis keturunan Tionghoa tersebut, menurut pengakuan penulisnya butuh 6 tahun untuk menyelesaikannya.

Buku setebal 672 halaman itu diterbitkan oleh penerbit Mizan Pustaka, Bandung.

Buku itu berbicara banyak hal tentang identitas dan garis batas yang membuat manusia hidup terkotak-kotak.

Hidup kita selalu dibatasi oleh ini milikku dan itu milikmu, aku suku anu kamu suku anu, kami bangsa ini kalian bangsa itu, kita orang Asia dan mereka orang Eropa.

Pada situasi tertentu orang sering mempertahankan satu garis keturunan sebagai sebuah identitas yang permanen.

Padahal kita belum tahu, bahwa di dalam darah kita bisa jadi ada gen dari ras/suku/bangsa lain yang mengalir sejak ribuan tahun lalu tanpa kita ketahui.

Identitas kita juga tidak tunggal, tergantung di garis batas mana kita berdiri. Kita bisa mewakili identitas Jawa, Sumatera, Kalimantan dan lain-lain, jika berada di Indonesia. Sebaliknya, identitas kita bisa berubah jadi orang Indonesia ketika pergi ke luar Indonesia.

Sebagai contoh, orang Turki sekarang adalah keturunan suku Turk Mongol yang berbadan pendek, bercampur dengan pendatang dari Indo-Eropa.

Bangsa Nomad dan kekuasaan

Keduanya adalah bangsa Nomad. Ketika Bizantium jatuh ke imperium Islam, kedua suku Nomad itu dijadikan budak oleh orang-orang Arab pada zaman dinasti Abbasiyah.

Konsep budak dari dinasti Abbasiyah berbeda dengan konsep perbudakan zaman kolonial. Mereka tidak boleh menikah, tetapi mereka dididik sehingga menjadi prajurit yang handal dan menduduki posisi penting di pemerintahan.

Pada akhirnya mereka bisa menggulingkan kekuasaan dan mendirikan kekuasaan baru yaitu dinasti Otoman. Itulah awal mula bangsa Turki.

Orang-orang Eropa mempersepsikan bangsa Barbar adalah bangsa pembunuh dan perampok yang kejam. Bangsa Barbar merupakan orang-orang Nomad yang tinggal di padang rumput Eurasia yang membentang dari timur ke barat, yang pada zaman kolonial disebut jalur sutra.

Jalur perdagangan dari China, Asia tengah, Eropa, India, sampai ke nusantara. Merekalah kaum Nomad yang disebut bangsa Barbar yang berjasa membuat jalur sutra pada awalnya.

Mereka sangat terampil berkuda, berburu, dan transaksi dagang dengan bangsa-bangsa agraris. Ras kulit putih arya mengalir dari Eropa ke Asia Tengah seperti Iran dan sebagian India sekarang adalah juga bangsa Nomad yang sering disebut Barbar.

Baca Juga:  Calung Alat Musik dalam Seni Pertunjukan Urang Sunda

Bangsa Nomad yang sangat menguasai kendaraan berkuda, bertubuh kuat, dan terampil berperang membuat mereka sangat mudah menaklukkan masyarakat agraris di Eropa.

Lalu bangsa nomad kemudian menetap menjadi masyarakat agraris. Jadi, jika orang Eropa menggambarkan bangsa Barbar atau Nomad adalah bangsa yang keji dan pembunuh, sebetulnya mereka punya darah bangsa itu. Termasuk warisan bahasanya.

Padang rumput bangsa Nomad di Eurasia tidak punya garis batas secara fisik seperti batas negara modern. Batas teritori setiap suku tidak tegas seperti batas cahaya lilin di tengah suasana gelap.

Batas teritori mereka hanya dengan bahasa yang berbeda. Kelak, bangsa Eropa akan mewarisi bahasa dari bangsa Nomad setelah terjadi peperangan dan penaklukan.

Bangsa Nomad tidak punya kesempatan menimbun makanan dan kekayaan karena hidupnya berpindah-pindah. Sehingga kehidupan mereka tidak saling menguasai dan tidak terjadi kecemburuan sosial.

Bangsa agraris

Dengan demikian, persepsi tentang bangsa Barbar menurut bangsa agraris perlu dilihat dari sudut pandang yang berbeda.

Bangsa agraris adalah bangsa yang sudah menetap dan berhasil mengembangkan pertanian dengan struktur masyarakat yang hierarkis. Bangsa barbar atau nomad telah lama melakukan transaksi dagang dengan mereka bangsa agraris.

Berbeda dengan bangsa Nomad, kehidupan orang agraris menumbuhkan rasa takut pada setiap orang maupun kelompok, sebab tanah yang mereka kelola khawatir akan direbut kelompok lain.

Tanah yang subur akan punya potensi untuk diperebutkan karena belum ada aturan berbangsa seperti kehidupan modern. Mereka harus berpikir bagaimana caranya untuk mempertahankan tanah tersebut.

Lalu mereka membuat garis batas yang tegas dalam bentuk tembok-tembok untuk melindungi dirinya dari kelompok lain.

Tembok China adalah salah satu bukti sejarah bagaimana mereka membangun tembok yang ambisius dalam beberapa generasi, dari dinasti Qun Shi Huang sampai dinasti Ming pada abad ke 17.

Tembok itu dibangun untuk melindungi bangsa China dari serangan bangsa Mongol, salah satu bangsa Nomad penguasa padang rumput di utara.

Namun, masyarakat agraris yang penuh rasa takut dan persaingan, justru menciptakan peradaban. Mereka harus bisa menyatukan berbagai kelompok suku dalam sebuah kelompok besar atas nama bangsa.

Baca Juga:  Patut Ditiru! Di Tangan Kreatif Ade, Limbah Sampah Bisa Jadi Vespa, Moge, Hingga Robot

Pun mereka harus punya sosok pemimpin yang bisa dipercaya semua suku yang akan dipersatukannya. Hierarki kekuasaan lahir dari masyarakat agraris.

Walaupun pada akhirnya tembok-tembok sebagai batas fisik bangsa agraris merupakan akar konflik bangsa Nomad dengan bangsa agraris itu sendiri.

Bangsa Nomad sebagai penghasil kuda yang cakap dan daging buruan yang biasanya ditukar dengan kebutuhan mereka dari bangsa agraris, nyaris terhenti.

Peperangan pun terjadi antara bangsa Nomad dengan bangsa agraris. Kenapa? karena benteng-benteng fisik, perwujudan dari benteng dalam pikiran yang berorientasi terhadap identitas membuat bangsa Nomad menjadi beringas.

Seiring penaklukan bangsa Nomad terhadap bangsa agraris, perlahan mereka pun orang-orang Nomad menetap menjadi mayarakat agraris dan membangun peradaban bersama-sama.

Munculnya imperialisme modern

Peradaban terus berkembang. Lalu imperialisme modern atau klaim terhadap tanah jajahan muncul saat Cristopher Columbus menemukan daratan yang tiada lain adalah benua Amerika.

Atas nama bangsa Eropa yang beradab, berpengetahuan, dan beragama, mereka meleset dari visi utamanya setelah migrasi kedua banga Spanyol tergoda dengan segala kekayaan di benua tersebut.

Amerika Selatan yang bercuaca subtropis menghasilkan rempah, emas, dan perak yang tidak dimiliki bangsa Eropa. Dua peradaban besar suku Inka dan Maya dengan ribuan pegikutnya punah oleh kekuatan ratusan orang Eropa yang berteknologi senjata api.

Bangsa Eropa juga menggunakan politik adu domba pada setiap suku yang berselisih. Sehingga mereka berperang sesama saudara.

Persis orang-orang Belanda mengadu domba bangsa kita dahulu, yang pada dasarnya adalah memanfaatkan bibit konfik identitas.

Bangsa Spanyol datang menguasai Amerika bagian selatan, kemudian Ingris dan Prancis menyusul menguasai Amerika bagian utara.

Orang-orang Eropa juga membawa hewan ternak untuk dikembangkan seperti babi, khawatir makanan asli negara baru itu akan mengotori ras kulit putihnya.

Mereka kemudian mengembangkan perkebunan dengan orang-orang lokal sebagai buruh kasarnya. Namun, penduduk asli semakin lama semakin habis dan terdesak.

Para pengusaha Eropa kemudian mengimpor para budak dari benua Afrika. Mereka membeli budak-budak itu dari raja-raja di seluruh Afrika.

Anak-anak muda ditangkap dan diborgol kemudian diangkut ke dalam kapal untuk dibawa ke negeri jajahan baru. Itulah asal muasal orang-orang kulit hitam yang sekarang berada di Amerika.

Baca Juga:  Warga Muhammadiyah Menjauhi Budaya Karena Kesalahan Persepsi

Imperialisme di nusantara

Nusantara atau Hindia Timur tidak luput dari imperialisme eropa. Dunia seperti sebuah kue yang dibagi-bagi menurut kehendaknya sendiri. Belanda dan Portugis punya bagian negeri koloni di Hindia Timur, yang sekarang menjadi Indonesia.

Orang-orang Jawa diangkut oleh pengusaha VOC ke Suriname untuk menjadi buruh di pabrik gula. Mereka menetap sampai sekarang, bahkan hingga generasi kedua dan masih menggunakan bahasa Jawa.

Konsekuensinya, konsep bangsa yang dulunya berdasarkan suku dan bahasa yang sama kemudian berubah sesuai dengan batas-batas yang dibuat oleh bangsa kolonial.

Konsep negara Indonesia tidak berdasarkan satu suku dan satu bahasa, tapi berdasarkan suku-suku di nusantara yang dulu dikuasai kolonial Belanda.

Tidak heran, jika Indonesia dengan Malaysia sering ribut klaim tentang kebudayaan. Karena satu suku melayu dipisah oleh batas negara berdasarkan koloni Belanda dan Inggris.

Lantas, apakah perang dan imperialisme itu melulu tentang kekejaman dan kekejian seperti para budak Afrika yang mati dalam perjalanan ke negeri baru jajahan spanyol?

Atau kekejaman Jengis Khan dari padang rumput Mongol yang meluluhlantakkan peradaban paling tinggi di dunia yaitu Bagdad?

Kita bisa mengubah sudut pandang baru.

Terbuka dengan kenyataan

Kita harus terbuka terhadap kenyataan yang bersifat paradok ini, bahwa peradaban dibangun ribuan tahun oleh peperangan dan kolonisasi.

Rasa takut telah melahirkan batas negara yang tegas dan tidak berubah-ubah. Masyarakat agraris belajar tentang kepahlawanan pada masyarakat Nomad yang kuat dan terampil.

Masyarakat agraris telah menciptakan hierarki kekuasaan, ilmu pengetahuan, hukum, dan spritulitas yang sangat penting untuk generasi sekarang.

Indonesia masih menggunakan jalur kereta api peninggalan kolonial Belanda. Kita juga menjadi negara penghasil kopi, teh, dan gula berkat kolonial. Kita juga diwarisi teknologi arsitektur yang menjadi heritage setiap kota besar di Indonesia.

Dan yang terakhir, yang  diwariskan masyarakat diaspora Indonesia di Belanda khususnya, yang mungkin sekarang bisa kita manfaatkan untuk tim nasional sepak bola Indonesia.

Jika begitu, masihkah kita memahami sebuah identitas secara sempit, sehingga hidup kita terjebak dalam kotak-kotak identitas yang hanya akan memunculkan pertikaian?

Semoga bermanfaat. **

PMB UM Bandung