Oleh: Prof Dr H Dadang Kahmad MSi
BANDUNGMU.COM — Saya pernah mendapat undangan seminar dari GEMA, singkatan dari Gereja Mahasiswa, sekumpulan mahasiswa yang beragama Katolik di Unpar Bandung.
Undangan sebagai pembicara tentang: “Masih Perlukah Agama Dewasa Ini”. Sebuah judul seminar yang sangat menarik dan unik.
Temanya mempertanyakan eksistensi agama dan diselenggarakan oleh sekelompok mahasiswa yang berbasis Agama dari sebuah perguruan tinggi beafiliasi dengan agama.
Dalam pengantar seminar, panitia menyebutkan bahwa tajuk tersebut dilatarbelakangi oleh fenomena di zaman sekarang ini susah membedakan umat beragama dengan umat yang tidak beragama.
Yang korupsi sama umat beragama juga korupsi. Yang merampok sama, umat beragama juga merampok. Umat beragama juga banyak yang berzina, umat beragama juga ikut terlibat pembunuhan.
Bahkan beberapa perang antar negara disebabkan karena perbedaan agama. Masing-masing beranggapan bahwa perang yang mereka lakukan adalah perang suci untuk menghancurkan orang kafir.
Hasil seminar tersebut menyatakan bahwa agama pada zaman sekarang tidak bisa mengimbangi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kalau dahulu sampai awal abad ke-20 agama terlibat dalam teknis. Terlibat dalam menentukan kebijakan dan pembentukan identitas.
Sekarang agama tidak lagi terlibat teknis dan tidak ikut lagi dalam menentukan kebijakan. Agama sekarang hanya sebagai identitas sebuah bangsa atau kelompok.
Hal itu karena agama bersifat stagnan. Tidak banyak berubah.
Sementara itu, kehidupan manusia dengan dukungan ilmu dan teknologi sudah berubah jauh dari masa lalu.
Kebudayaan manusia terus berkembang dan sangat cepat perkembangannya. Agama masih menempatkan manusia sebagai manusia purba yang lugu dan polos.
Padahal, sekarang manusia sudah bertransformasi dengan kemodernan yang lompatannya sudah jauh ke depan.
Agama di mana-mana sudah kewalahan menghadapi modernitas. Bahkan pada beberapa negara maju, agama sudah banyak ditinggalkan oleh penganutnya.
Agama tidak lagi terlibat dalam urusan teknis kehidupan, seperti bagaimana menyembuhkan penyakit atau mendatangkan hujan. Urusan teknis sudah diambil alih oleh ilmu pengetahuan.
Sekarang agama hanya sebagai simbol identitas. Indonesia identik dengan Islam, Philipina dengan Katolik, Thailand dengan Buddha, dan India identik dengan Hindu.
Mungkin agama-agama yang masih hidup perlu belajar dari agama Sinto di Jepang yang pada akhir abad ke-19 awal abad ke-20 Shinto berubah dengan dipaksa dari Shinto lama menjadi Sinto baru.
Sinto baru lebih responsif terhadap perubahan dan lebih kuat kesetiaannya pada negara.
Sinto baru adalah reformulasi baru agama Sinto yang dikemas sedimikian rupa sehingga menjadi sumber kekuatan dan pengorbanan bangsa Jepang.
Agama Sinto baru menjadi driving force bagi kemajuan bangsa Jepang sebagai bangsa yang paling pesat pertumbuhan industrinya.
Paling pesat di Asia sehingga bisa menjadi pelopor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di kawasan Asia.
Hampir serupa juga menimpa agama Kristen di Eropa yang membentuk agama Protestan yang responsif tehadap perubahan dan demokrasi.
Sehingga dengan keberagamaan Protestan, Eropa Barat mengalami kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan dan ekonomi. ‘
Tinggal Islam, jika umatnya punya keberanian untuk mereformasi ajarannya, maka dalam satu atau dua dekade kaum muslimin akan menjadi masyarakat maju dan modern.
___
Sumber: “Suara Muhammadiyah” edisi 01-15 Januari 2024
Editor: FA