Oleh: Hakim Muttaqie Azka*
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) merupakan sebagai organisasi otonom di bawah naungan Muhammadiyah yang fokus pada ranah pelajar dan meneguhkan identitasnya melalui semboyan yang bersumber dari wahyu Ilahi.
Semboyan itu diambil dari firman Allah dalam surah Al-Qalam ayat pertama yang berbunyi: “Nuun. Demi pena dan apa yang mereka tuliskan.” (QS Al-Qalam [68]: 1).
Firman ini seolah-olah membuka tabir tentang rahasia pena dan tulisan yang di dalamnya terpantul wajah manusia yang ditakdirkan sebagai makhluk pembaca dan penulis.
Pena adalah saksi dari sebuah peradaban yang melahirkan pemikiran-pemikiran manusia di setiap masanya.
Tulisan itu adalah pengikat ilmu dan penghubung jiwa antar generasi yang tertuang dari tinta dan melahirkan sejarah dan membangun sebuah peradaban yang berkembang di tataran pengetahuan.
Hakikat pelajar terletak pada kesediaan untuk terus membaca, menulis, dan belajar. Ilmu bukan sekadar hiasan di benak kepala yang terus disimpan, melainkan harus diikat agar tidak lenyap dan harus terus dikembangkan.
Ada sebuah untaian dari mahfudzot yang sering dijadikan sebagai polesan untuk kita: “Ilmu adalah buruan, sedangkan tulisan adalah ikatannya. Ikatlah buruanmu dengan tali yang kokoh.”
Mahfudzot itu membisikkan pesan yang dalam. Ilmu yang tidak diikat dengan tulisan akan melayang seperti angin. Menghilang tanpa jejak.
Maka menulis adalah ibadah yang menjaga ingatan umat. Menulis berarti mengikat makna agar tetap hidup di dalam kesadaran kolektif.
Pelajar Muhammadiyah menemukan sandaran kokoh dalam QS Al-Mujadilah ayat 11. Di sana tergambar dengan jelas bahwa ilmu bukan semata-mata milik akal, melainkan bagian dari perjalanan rohani.
Dengan ilmu, iman mendapatkan kedalaman. Dengan iman, ilmu memperoleh arah.
Ayat ini menjelaskan bahwa martabat seorang pelajar tidak ditentukan oleh seberapa banyak pengetahuan yang dihafal. Namun, seberapa besar ilmunya memberi cahaya dan manfaat pada kehidupan.
Allah SWT memberikan kita kabar bahagia dalam ayat tersebut yang berbunyi:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, “Berdirilah,” (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah [58]: 11).
Ayat ini menyingkap rahasia kedudukan ilmu, yakni barang siapa yang beriman akan diangkat martabatnya dan yang berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT.
Majelis ilmu menjadi tempat segala itu terwujud. Tidak hanya hadir di sekolah atau di ruang formal semata, tetapi di forum diskusi, pengajian, rapat organisasi, dan di tempat-tempat lainnya juga.
Di dalam majelis ilmu, setiap orang hadir bukan sebagai pemilik tunggal, melainkan sebagai pencari yang setara dan tidak ada kasta selain keluasan hati untuk menerima kebenaran.
Kesadaran ini mendorong agar pelajar Muhammadiyah untuk tidak berhenti pada hafalan. Ilmu harus dihidupkan melalui internalisasi, dipraktikkan dalam keseharian, diuji dalam kenyataan.
Sebab ilmu bukan menara gading yang berdiri sendiri, melainkan jembatan menuju kehidupan yang adil, bermakna, dan berakhlak.
Menulis adalah amal peradaban yang setiap goresan pena adalah saksi kejujuran, ketekunan, dan keberanian. Melalui tulisan, pelajar Muhammadiyah mengawal kebenaran, menegur ketidakadilan, dan menyuarakan nilai-nilai Islam yang mencerahkan.
Tulisan tidak pernah mati. Namun, ia bergerak dari lembar ke lembar, dari hati ke hati, dan menyambung suara kebenaran yang tak pernah padam.
Bermajelis ilmu adalah amal kolektif. Menghadiri pengajian dan berdiskusi dalam lingkar literasi atau menghidupkan forum organisasi bukan sekadar rutinitas, melainkan ziarah intelektual yang menyuburkan jiwa.
Dalam perjumpaan semacam itu, pelajar tidak hanya bertukar ilmu. Namun, membangun jejaring spiritual dan memperkuat tali persaudaraan.
Menginternalisasi ilmu adalah amal akhlak. Ayat suci mengingatkan bahwa ilmu mengangkat derajat manusia dan derajat sejati adalah akhlak mulia.
Ilmu yang tidak menumbuhkan keadilan hanya menambah kesombongan. Ilmu yang tidak melahirkan kerendahan hati hanya memperluas jurang.
Oleh karena itu, pelajar Muhammadiyah dipanggil untuk menjadikan ilmu sebagai dasar sikap adil, jujur, rendah hati, dan progresif.
Mengamalkan QS Al-Qalam ayat 1 dan QS Al-Mujadilah ayat 11 sesungguhnya adalah ikhtiar untuk meneguhkan dan menjaga tradisi pelajar, yaitu membaca, menulis, dan belajar.
Di dalam membaca tersimpan jalan untuk memahami. Di dalam tulisan terdapat upaya mengikat ilmu agar tidak hilang. Sementara itu, di dalam belajar terdapat proses panjang pembentukan diri yang tak pernah selesai.
Pelajar Muhammadiyah dituntut untuk menjadikan pena sebagai saksi dari sebuah perkembangan peradaban, majelis ilmu sebagai taman yang memuliakan, dan akhlak sebagai cermin dari ilmu yang hidup.
Dengan jalan itu akan tumbuh generasi pelajar yang tidak hanya mengoleksi pengetahuan semata. Namun, memberikan cahaya dan manfaat bagi lingkungannya.
Mereka hadir bukan sekadar sebagai murid dari buku-buku, melainkan sebagai penggerak dan aksi nyata dalam pemanfaatannya. Dari tangan-tangan mereka lahirlah tulisan. Lisan mereka melahirkan pencerahan dakwah dan dari sikap mereka terpancar akhlak mulia.
Maka dari itu, pelajar Muhammadiyah dipanggil untuk menjadi pemburu ilmu yang gigih sekaligus menjaga ilmu yang bijak. Mengikatnya dengan pena. Merawatnya dalam kebersamaan. Menghidupkannya dalam amal.
Mereka bukan hanya mencetak ilmu, melainkan pewaris peradaban Islam yang membawa terang bagi dunia.
*Mahasiswa UIN Bandung Prodi Perbandingan Madzhab dan Hukum