Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Perhelatan pemilihan kepala daerah serentak akan segera digelar. Di mana-mana, pamflet, spanduk, baliho, dan iklan bergambar kandidat-kandidat calon kepala daerah telah terpasang.
Para kandidat ini tidak melewatkan kesempatan untuk menarik perhatian warga di berbagai provinsi, kota, dan kabupaten. Muncul istilah “perang bintang” yang melibatkan tokoh politik, artis, dan selebgram yang viral dan populer.
Opini dari para pakar komunikasi dan akademisi serta komentator dari kalangan pengamat telah memenuhi media. Mereka tidak melewatkan momentum jelang pilkada serentak.
Para surveyor pun telah bekerja sejak lama untuk memetakan kandidat calon kepala daerah. Mereka berharap data yang mereka kumpulkan dapat menjadi landasan untuk kerja sama yang lebih sinergis.
Pilkada serentak merupakan fenomena yang cukup unik karena baru kali ini digelar sesuai dengan aturan yang disepakati melalui negosiasi politik yang panjang.
Hingar-bingar pilkada tidak kalah menarik dari pemilihan presiden ataupun legislatif. Terlihat bahwa suasana pilkada serentak memiliki daya tarik yang kuat bagi para kandidat.
Dengan sistem serentak ini, intervensi pihak tertentu dapat diminimalisir karena pilkada dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia secara bersamaan.
Massa pemilih terbagi sesuai dengan daerahnya masing-masing sehingga calon kontestan tidak akan mendaftar di satu tempat dan kemudian mencoba di tempat lain.
Namun, tampaknya para penjudi politik melihat peluang ini sebagai arena perjudian dengan mempertaruhkan kemenangan kontestan di beberapa daerah, seperti halnya yang terjadi pada pemilihan kepala desa di beberapa tempat.
Dalam pilpres dan pileg, dinamika yang terjadi tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam konteks pilkades di atas.
Namun, dalam kontestasi pemilihan langsung kepala daerah, sangat mungkin terjadi taruhan judi yang dilakukan oleh para pialang judi. Bahkan, taruhan tersebut mungkin akan lebih ramai dengan pola serentak.
Semoga hal tersebut tidak terjadi. Semakin maraknya perjudian dalam bentuk apa pun akan membawa dampak buruk bagi penjudi, keluarga mereka, dan lingkungan sosial kemasyarakatan.
Bahkan judi dapat menyebabkan kemunduran moral yang dapat berujung pada perbuatan-perbuatan negatif, seperti penyalahgunaan narkoba dan perzinaan. Dinamika politik sangat rentan terpapar oleh virus keburukan tersebut.
Momentum pemilu presiden dan legislatif telah berlalu. Dinamikanya telah terjadi hingga putusan MK dikeluarkan.
Para penggugat telah menyelesaikan tugas mereka dalam mengajukan gugatan mewakili pasangan capres dan cawapres yang merasa dirugikan oleh kebijakan penyelenggara pemilu.
Saat ini, setelah putusan MK dikeluarkan, penyelenggara pemilu harus kembali bekerja untuk menyelenggarakan pemilihan kepala daerah secara serentak di seluruh Indonesia.
Selesainya satu pekerjaan berarti datangnya pekerjaan berikutnya. Semua hal yang telah dilakukan diharapkan tidak merugikan pihak-pihak tertentu sehingga catatan amal mereka tersimpan dalam kolom kebaikan dan bukan dalam kolom keburukan.
Beberapa bulan ke depan, semua instrumen yang diperlukan untuk pilkada harus disiapkan dengan matang. Jika dianggap remeh dan terjadi kekacauan di tingkat daerah, akan lebih sulit untuk menanggulangi atau mengendalikannya.
Risiko kekacauan sangat terbuka karena dihadapi oleh berbagai kepentingan yang beragam dan keamanan aparat akan terbatas.
Jumlah aparat pengamanan dapat digabungkan dari satu tempat ke tempat lain saat pelaksanaan pilkada berbeda waktu. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukan dalam pilkada serentak.
Jangan menganggap remeh pilkada serentak. Selain adanya berbagai kepentingan yang dapat menimbulkan konflik antar pendukung calon, juga perlu diperhatikan serius mengenai tata aturan dan mekanisme penyelesaian sengketa pilkada di tingkat provinsi, kota, dan kabupaten.
Jumlah penyelesaian sengketa akan menumpuk secara bersamaan. Jika hal ini diabaikan, dapat menimbulkan gejolak sosial yang tidak terkendali dengan konsekuensi yang mahal.
Berbeda dengan pemilu presiden dan legislatif, pemilihan kepala daerah berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat di lapangan, baik itu kebutuhan dasar maupun kebutuhan tambahan lainnya.
Oleh karena itu, penting untuk memitigasi kemungkinan kekacauan sosial sejak awal. Caranya dengan tidak meremehkan penyelenggaraan pilkada serentak dan menganggapnya sebagai hal yang sepele.
Mitigasi terhadap kemungkinan kekacauan sosial harus dilakukan sedini mungkin dengan beberapa langkah-langkah.
Pertama, melibatkan para tokoh masyarakat. Misalnya saja agamawan, akademisi, dan tokoh adat dalam menjaga kondusivitas penyelenggaraan pilkada.
Kedua, menjaga kondusivitas. Yakni dengan cara memberikan edaran kepada partai politik untuk menjaga kondusivitas keamanan selama proses penjaringan, pendaftaran calon, pemungutan suara, dan pasca pemungutan suara.
Ketiga, memberikan peringatan. Tujuannya agar tidak terlibat dalam provokasi atau menyebarkan informasi palsu kepada pendukung calon yang sudah terdaftar.
Keempat, berkolaborasi dengan aparat keamanan negara untuk memaksimalkan keamanan selama proses pilkada. Pemilihan kepala daerah serentak merupakan hal baru dan akan mengalami adaptasi dalam pelaksanaan teknisnya.
Oleh karena itu, kolaborasi antara penyelenggara pemilu dan semua pihak terkait sangatlah penting. Hal yang terpenting, tidak boleh ada yang memainkan api atau berbuat curang demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Risiko konflik horizontal dalam pilkada serentak sangat besar dan gaya komunikasi penyelenggara pemilu harus mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.
Kesadaran akan kontribusi terhadap integritas moral dalam kepemimpinan daerah harus dipegang teguh. Pasalnya, hal tersebut akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar