BANDUNGMU.COM – Ramadan tahun ini tampaknya masyarakat Indonesia harus menunda kangen bertemu sanak famili di kampung karena pemerintah sudah resmi melarang mudik.
Sama halnya dengan tahun lalu, masyarakat yang ada di kota untuk tetap berada di kediaman masing-masing. Bahkan pemuka agama menganjurkan salat idulfitri untuk dilaksanakan di rumah bagi yang berada di zona merah covid-19.
Lantas sebenarnya mengapa mudik itu dilarang, padahal vaksinasi sudah berjalan?
Dikutip dari Antaranews.com, epidemiolog dari Universitas Hasanuddin Makassar, Prof. Dr. Ridwan Amiruddin punya analisis mengenai hal ini.
Prof. Ridwan mengatakan Indonesia harus belajar dari gelombang kedua COVID-19 yang terjadi di India, di mana masyarakatnya merayakan hari besar keagamaan tanpa mematuhi protokol kesehatan. Kerumunan besar-besaran pun terjadi di sana sehingga penyebaran COVID-19 terjadi secara masif.
“Di India itu ada faktor utamanya pemilukada, perayaan agama, pelonggaran protokol kesehatan, euforia vaksin, orang desa kembali ke kota untuk bisnis dan institusi yang tidak melaksanakan protokol kesehatan ditambah lagi dengan mutasi virus,” ujar Prof. Ridwan dalam webinar “Kontroversi Mudik Lebaran Saat COVID-19 Belum Pensiun”, Sabtu.
Prof. Ridwan mengatakan Indonesia masih jauh dari kata aman terhadap virus corona, sebab angka positif rate-nya masih di atas 10 persen yang berarti virusnya masih “liar”.
Pelarangan mudik ditujuan untuk mengendalikan penyebaran COVID-19, khususnya pada orang-orang yang tidak bergejala.
“Pelarangan mudik itu prinsip dasarnya adalah mengurai kerumunan. Jadi semakin tinggi kerumunan di ruang tertutup maka transmisinya akan makin meningkat,” kata Prof. Ridwan.
Saat mudik, kendaraan akan dipenuhi dengan rombongan keluarga di mana prokotol kesehatan akan sulit dilaksanakan. Lalu saat tiba di tempat tujuan, orang-orang dari kota yang pergi ke desa membawa virus pada tubuh mereka dan meninggalkanya ketika kembali ke tempat asal.
Durasi perjalanan mudik juga dapat memicu penyebaran virus corona. Jika perjalanannya lama, kemungkinan terpaparnya akan lebih tinggi apalagi jika alat transportasinya tidak didukung dengan sistem penyaringan dan pembersih udara yang baik.
“Lalu kebersihan makanan, transmisi ini bisa terjadi karena pada proses makan bersama. Hasil studi menunjukkan bahwa penularan terjadi pada saat proses santap bersama, penggunaan sendok bersamaan, penggunaan alat-alat makan bersama itu adalah pemicu,” ujar Prof. Ridwan.
“Perilaku pemudik, kalau sudah kelelahan tidak mungkin protokol kesehatan jalan, kondisi lingkungan tidak memungkinkan mereka mengikuti protokol kesehatan, ruangannya yang padat, tertutup sehingga risiko pemaparan tinggi. Pada saat kelelahan kondisi imunitas menurun kemudian terpapar, ini baru risiko perjalanan,” imbuhnya.