BANDUNGMU.COM – Coblong saat ini adalah nama salah satu kecamatan di Kota Bandung, namun mungkin sedikit yang mengatahui jika Coblong di masa lalu adalah nama salah satu kampung tua di Bandung Utara. Berikut ini kisahnya.
Toponomi Coblong
Untuk memulai kisah Kampung Coblong, saya akan mulai dengan membahas toponimi nama Coblong karena akan berkaitan dengan nama daerah di sekitarnya.
Coblong dalam kamus bahasa Sunda yang ditulis oleh R.A. Danadibrata adalah kata yang hidup di daerah Bandung dan memiliki arti gorong-gorong atau riool di bawah tanah. Pengertian kedua adalah kata dalam bahasa Bali yang berarti wadah air berukuran kecil yang terbuat dari tanah liat.
Kedua pengertian mengenai Coblong tadi ternyata bersesuaian dengan keadaan lingkungan di daerah Coblong tempo dulu. Kawasan Bandung Utara adalah daerah yang banyak memiliki sumber mata air dan masyarakat memanfaatkannya untuk berbagai keperluan sehari-hari. Pada masa Hindia Belanda, sumber-sumber air ini juga dimanfaatkan untuk menggerakkan mesin turbin pembangkit listrik tenaga air.
Di kawasan Coblong setidaknya terdapat dua pembangkit listrik yang dibangun Belanda, yaitu PLTA di Cikalapa dan PLTA Bengkok. Bagi keperluan pembangkit listrik, air disalurkan melalui pipa-pipa besar dan saluran air (riool) yang ditanam di bawah tanah.
Tapi kenapa nama kampung Coblong lebih dulu ada dibanding pembuatan riool sebagai bagian sistem pembangkit listrik yang baru hadir di tahun 1920-an? Kemungkinannya berasal dari pengertian lama istilah coblong, yaitu sebagai wadah air tradisional yang terbuat dari tanah liat. Wadah-wadah air ini digunakan untuk menampung aliran air dari sumber air yang banyak terdapat di daerah itu.
Kisah Kampung Coblong
Peta wilayah Bandong (Bandung) berangka tahun 1726 yang terdapat dalam buku Francois Valentijn tidak memuat nama daerah Coblong. Bisa jadi nama daerah Coblong belum digunakan pada masa itu. Cerita tentang Kampung Coblong baru ditulis oleh Haryoto Kunto dalam bukunya “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe” sebagai salah satu kampung tua di Bandung yang terletak dalam jalur perlintasan jalan pedati (karrenweg) pada awal Abad ke-19.
Jalur ini mulai dari Alun-alun, lalu ke Merdeka Lio, Kampung Balubur, Coblong, Dago, Buniwangi, dan Maribaya. Selanjutnya, setelah melewati Cikawari dan Cisalak, jalur ini menyambung dengan jalur tradisional yang telah ada sejak masa Kerajaan Sunda (Pajajaran Highway).
Jalan pedati ini merupakan bagian dari jalur transportasi komoditas perkebunan pada awal abad XIX dari kebun-kebun kopi di sekitar daerah Bandung ke gudang kopi (lokasi Balai Kota sekarang) dan selanjutnya diangkut ke Batavia melalui pelabuhan Cikao di aliran Sungai Citarum.
Dalam peta Negorij Bandoeng tahun 1825 terdapat gudang kopi (pakhuis) milik Andries de Wilde yang terletak di lokasi Balaikota Bandung sekarang. Jadi setidaknya Kampung Coblong sebagai salah satu kampung tua di Bandung memiliki usia setua usia kotanya yaitu sejak awal abad XIX.
Pada buku karya Kuncen Kota Bandung, Haryoto Kunto, yang lainnya yaitu “Semerbak Bunga di Bandung Raya”, terdapat kisah yang terjadi di Kampung Coblong pada masa pemerintahanan Bupati R.A. Wiranatakusumah IV (1846-1874).
Disebutkan Bupati yang dijuluki sebagai Dalem Bintang ini kerap menyamar sebagai rakyat biasa untuk memperoleh aspirasi langsung dari kaula bawahannya. Pada satu malam, diceritakan Bupati Wiranatakusumah IV blusukan ke Kampung Coblong dan ikut menginap pada sebuah pos ronda. Pada saat itu memang penduduk yang bermukim di pergunungan di Bandung Utara, atau dari tempat lain, yang kemalaman dalam perjalanan, biasanya akan berhenti dan menanti pagi hari untuk melanjutkan perjalanan ke dayeuh Bandung.
Keadaan lingkungan waktu itu belum cukup aman untuk melakukan perjalanan malam hari. Bahkan tak jarang mereka saling membuat janji untuk bertemu di tempat tertentu sebelum meneruskan perjalanan.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, daerah Coblong memang terletak pada jalur jalan tradisional yang menghubungkan Bandung dengan tempat-tempat lain yang berada di dataran tinggi sebelah utara, hingga ke daerah Maribaya, Puncak Eurad dan ke daerah Subang. Tak heran bila daerah Coblong saat itu digunakan sebagai tempat menunggu oleh orang yang melakukan perjalanan ke kota Bandung.
Menunggu di sini mungkin dapat diartikan sebagai menanti waktu pagi hari sekaligus menanti kawan seperjalanan. Kegiatan menunggu dalam bahasa Sunda adalah dago, dan digunakan sebagai nama jalan yang melewati daerah Coblong.
Letak Kampung Coblong
Lokasi Kampung Coblong dijelaskan oleh Haryoto Kunto dalam bukunya “Ramadhan di Priangan” yaitu berada di tanjakan antara Dago Simpang dengan Kampus APDN (STKS) kini. Kampung tua ini pada tahun 1910 terkena proyek Gemeente (pemerintah kota) Bandung saat pelebaran dan pengerasan jalan yang menuju ke penampungan air (reservoir) di Bukit Dago.
Penduduk Kampung Coblong yang terkena penggusuran kemudian dipindahkan oleh pemerintah kota dengan biaya hingga f 3500. Selama proses pemindahan ini, Kampung Coblong berada dalam penjagaan sepanjang hari, baik siang maupun malam. Penduduk Kampung Coblong yang dipindahkan kemudian menjadi cikal bakal penduduk daerah Dago.
Jika kita bertanya kepada penduduk lama di daerah Dago mengenai di mana letak Kampung Coblong kini? Sebagian masih dapat menunjukkan letak lokasinya, yaitu kira-kira berada di belakang Kampus STKS.
Seiring perjalanan waktu, reservoir air di Bukit Dago tak hanya digunakan untuk pembangkit tenaga listrik, namun juga untuk kepentingan persediaan air bersih bagi warga kota di Bandung bagian utara.
Sumber: https://komunitasaleut.com/2020/04/27/meretas-kampung-tua-di-bandung-utara-bernama-coblong/, dikutip Sabtu 12 Juni 2021.