Oleh: Ace Somantri*
Perubahan mendasar dalam dinamika kehidupan manusia akan terus terjadi tanpa kompromi. Generasi ke generasi akan mengalaminya.
Ditambah lagi dengan disrupsi di berbagai sektor kehidupan terus membombardir kegiatan manusia yang masih berjalan dengan konvensional.
Demikian pula halnya dengan Persyarikatan Muhammadiyah. Selama sebelas dekade, fokus utamanya pada bidang pendidikan dan kesehatan masih berorientasi konvensional sehingga tidak sedikit amal usaha di berbagai daerah menghadapi turbulensi akibat gelombang disrupsi yang tak terelakkan.
Menyongsong Milad ke-113 Muhammadiyah tahun ini, rasa syukur yang mendalam patut kita panjatkan kepada Sang Khaliq atas segala karunia dan keberkahan-Nya.
Namun, di balik rasa syukur itu, terselip pula goresan kecil yang mengusik nurani dan mengingatkan kita akan tugas yang belum sepenuhnya usai.
Selama ini, jutaan anggota Muhammadiyah belum sepenuhnya diberdayakan secara optimal untuk membangun sumber daya manusia yang mampu menjadikan persyarikatan lebih mandiri, berdaya saing, dan dinamis dalam gerakannya.
Para kader seakan-akan masih terfokus pada dua bidang utama—pendidikan dan kesehatan—yang dalam pengelolaannya masih bercorak konvensional dan belum sepenuhnya bertransformasi menuju pembaruan yang berkelanjutan.
Dinamika dunia dan semesta terus bergerak dengan cepat dan tak terduga. Namun, pimpinan persyarikatan seolah-olah larut dalam kenyamanan atas amal usaha yang telah dibangun selama puluhan tahun, tanpa upaya signifikan untuk melompat menjawab tantangan zaman.
Akibatnya, amal usaha kini lebih sering menjadi simbol keberadaan Muhammadiyah semata, bukan lagi menjadi motor perubahan yang nyata dalam kehidupan manusia.
Momentum milad seharusnya menjadi titik pijak untuk meneguhkan kembali kedaulatan persyarikatan melalui penguatan amal usaha yang digerakkan secara mandiri dan visioner.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak amal usaha, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, masih dipimpin oleh generasi tua atau para pensiunan yang sudah melewati masa produktif, dengan alasan klasik: pengalaman.
Padahal, saat ini dibutuhkan pemimpin yang berjiwa kreator dan inovator—mereka yang berani mengambil risiko besar demi kemajuan persyarikatan.
Faktanya, sebagian pimpinan dan anggota Muhammadiyah justru lebih nyaman berputar di sekitar amal usaha yang sudah mapan dan stabil, berharap bisa menjadi bagian dari sistem yang aman dan terjamin.
Sementara itu, amal usaha yang sedang terseok-seok dibiarkan begitu saja. Seolah-olah “wujuduhu kaadamihi”—ada tetapi seperti tidak ada.
Banyak di antaranya terjebak dalam zona nyaman, enggan berbenah, bahkan menolak perubahan. Ironisnya, ketika upaya perbaikan dilakukan, justru muncul resistensi dan berbagai alasan yang menghambat pembaruan.
Bagi amal usaha yang menolak diperbaiki dan enggan diperbaharui karena merasa sudah hebat dan mapan, biarlah mereka belajar dari kenyataan pahit dan menanggung konsekuensinya sendiri.
Namun, jika Persyarikatan sungguh memiliki tanggung jawab moral atas kondisi tersebut, maka percepatan pembinaan dan pembaruan harus segera dilakukan tanpa bisa ditunda.
Sebab, amatlah berat memperbaiki amal usaha ketika para penggeraknya hanya hadir secara administratif—tercatat sebagai aktivis. Namun, miskin gagasan, minim kreativitas, dan kehilangan semangat inovasi yang menjadi ciri gerakan berkemajuan.
Muhammadiyah sebagai entitas sosial besar dengan ribuan amal usaha, pada titik tertentu kadang-kadang kehilangan daya perubahan yang seharusnya menjadi ruh gerakannya.
Tanpa disadari, keberadaannya bisa saja menjauh dari semangat tajdid. Bahkan berpotensi terjebak dalam kemunafikan, stagnasi, dan kemunduran peradaban.
Tidak mustahil, atas kekuasaan Allah Ta’ala, jika manusia melampaui batas nilai-nilai kehidupan dan mengabaikan keseimbangan ciptaan-Nya, maka kehancuran dapat datang seketika tanpa peringatan.
Saat itu tiba, manusia mungkin tak lagi sempat untuk menyadari, mengevaluasi, atau memperbaiki diri. Akhirnya penyesalanlah yang datang menghampiri.
Momentum milad bukan sekadar euforia memperingati lamanya eksistensi Persyarikatan yang telah berkiprah nyata bagi umat dan dunia.
Namun, jadi waktu yang tepat untuk bermuhasabah diri tentang arah dan keberlangsungan Muhammadiyah hari ini dan di masa depan.
Terasa nyata bahwa kepedulian terhadap umat di akar rumput perlu lebih diperhatikan. Tingkat kepekaan dan percepatan gerakan dakwah pun tampak melambat.
Apakah ini menjadi bentuk teguran agar kita kembali menata niat dan langkah perjuangan? Wallahu a‘lam.
Setidaknya saat ini kita perlu menyadari bahwa sebagai umat bertauhid, ada satu hal penting yang kerap terabaikan dan diremehkan dalam sikap ataupun perbuatan kita, yakni “ketauhidan ekologi.”
Nilai ini belum menjadi prioritas dalam implementasi kehidupan sehari-hari demi keberlangsungan seluruh makhluk hidup tanpa sekat jenis maupun ragam hayatinya.
Padahal, pada hakikatnya, semua makhluk hidup memiliki fungsi dan peran yang sama dalam menjaga keseimbangan alam semesta ciptaan Allah.
Berbuat dan berkarya adalah khittah gerakan dalam setiap aktivitas organisasi, dan bagi Persyarikatan Muhammadiyah hal itu bukan sesuatu yang baru.
Namun, faktanya, hingga kini sebagian besar aktivitas organisasi masih berfokus dan berputar pada pengelolaan amal usaha di bidang pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial—seolah-olah hanya di situlah kemampuan gerak persyarikatan dapat dijalankan.
Padahal, masih banyak ruang dan peluang strategis di bidang lain yang tak kalah penting untuk menjaga keberlanjutan eksistensi Muhammadiyah.
Jika tiga bidang tersebut dianggap telah mapan secara mendasar, langkah berikutnya adalah bagaimana memperkuat dan memekarkan daya kebermanfaatannya agar benar-benar mampu memberdayakan dan menyejahterakan warga Muhammadiyah serta masyarakat luas.
Faktanya, banyak amal usaha yang telah berjalan puluhan tahun masih menghadapi tantangan serius dan belum menunjukkan kemajuan signifikan.
Kondisi ini terjadi karena belum mampu mengintegrasikan sektor pendidikan dengan kekuatan ekonomi atau mentransformasikan disiplin ilmu menjadi kompetensi yang bernilai material secara bermartabat dan berkeadilan.
Dengan jumlah pelajar dan generasi muda yang mencapai ratusan ribu, seharusnya potensi besar ini dapat dikapitalisasi untuk mendorong gerakan hijau produktif—gerakan yang menumbuhkan kreativitas, inovasi, serta keberlanjutan ekonomi berbasis lingkungan.
Berbeda halnya dengan sebagian elite pimpinan di tingkat daerah, wilayah, hingga pusat yang kerap disibukkan dengan agenda kunjungan dan kegiatan seremonial di berbagai tempat, lengkap dengan segala fasilitas yang menyertainya.
Semoga kondisi ini segera disadari oleh seluruh jajaran pimpinan agar dapat beralih pada langkah nyata yang memberi kontribusi praktis, berkelanjutan, dan berdampak langsung bagi kemajuan gerakan Muhammadiyah.
Sudah saatnya amal usaha Muhammadiyah sebagai pilar utama organisasi mengalami pembaruan yang lebih relevan dengan tantangan zaman. Salah satu isu strategis yang perlu digarap serius adalah ketahanan pangan—bidang yang memiliki nilai pragmatis sekaligus strategis.
Oleh karena itu, momentum milad ke-113 hendaknya menjadi titik tolak untuk menggerakkan jihad hijau menyejahterakan. Yakni gerakan yang menautkan kepentingan dunia dan akhirat dalam bingkai keberlanjutan dan kesejahteraan umat.
Sudah menjadi keharusan bagi Muhammadiyah untuk menjadikan pengembangan amal usaha baru di bidang “dunia pangan” sebagai prioritas utama dalam agenda pembaruan.
Selama ini, isu ketahanan pangan masih belum menempati posisi strategis dalam peta kebijakan Persyarikatan. Upayanya baru sebatas wacana tanpa disertai perencanaan konkret ataupun program prioritas yang terarah dan berkelanjutan.
Gerakan ini harus dimulai dari langkah-langkah kecil dan realistis. Warga Muhammadiyah selama ini memang lebih dikenal sebagai kelompok urban yang aktif di sekolah, kampus, rumah sakit, serta berbagai lembaga pendidikan dan kesehatan.
Namun, di sisi lain, segmen masyarakat dari kalangan petani, nelayan, dan pekerja kasar masih jarang mendapat ruang dalam dinamika Persyarikatan.
Padahal, profesi mereka memiliki peran vital dalam menjaga keberlangsungan hidup manusia melalui sektor pangan dan sumber daya alam.
Sayangnya, profesi-profesi tersebut kerap dipandang sebelah mata—dianggap kotor, melelahkan, dan kurang berkelas karena bersentuhan langsung dengan tanah, debu, atau bau amis laut.
Sesungguhnya, kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh status sosial atau gengsi profesinya, tetapi oleh nilai ketauhidan dan keikhlasan dalam bekerja.
Dalam pandangan Islam yang humanistik, setiap profesi yang dijalankan dengan niat tulus dan manfaat besar bagi sesama adalah bentuk ibadah dan pengabdian sejati. Wallahu a’lam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat











