PMB Uhamka
News

Posisi Strategis Muhammadiyah dalam Sejarah Pembaruan Akidah Islam

×

Posisi Strategis Muhammadiyah dalam Sejarah Pembaruan Akidah Islam

Sebarkan artikel ini

BANDUNGMU.COM, Yogyakarta – Gerakan persyarikatan Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 memegang posisi yang amat strategis dalam sejarah pembaruan akidah Islam.

Organisasi ini dinilai berhasil memadukan semangat pemurnian keyakinan dari hal-hal yang tidak islami. Misalnya seperti takhayul, bidah, dan khurafat (TBC), sekaligus tetap terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan kemajuan zaman.

Penegasan ini disampaikan oleh Cecep Taufiqurrohman, Anggota Lembaga Pondok Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM), dalam Seminar Sehari Risalah Akidah Islam yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabtu (27/09/2025).

Menurut Cecep, sejarah peradaban Islam selalu membuktikan bahwa kejayaan umat lahir dari akidah yang bersih. Sebaliknya, ketika keyakinan umat mulai tercampur dengan syirik, bidah, dan khurafat, umat mengalami kemunduran.

Pada abad ke-18 dan ke-19, umat Islam menghadapi tantangan ganda: stagnasi intelektual dari dalam dan kolonialisme dari luar. Kondisi kritis ini melahirkan gagasan tajdid (pembaruan) dan ishlah (perbaikan) yang memfokuskan diri pada pemurnian akidah.

Baca Juga:  Tiga Pesan Penting Ketua PP Muhammadiyah Untuk Ribuan Mahasiswa Baru UM Bandung

Muhammadiyah, yang lahir di awal abad ke-20, merupakan salah satu gerakan kebangkitan yang muncul dari semangat pemurnian tersebut.

Sejak awal, Muhammadiyah tidak sekadar menjadi gerakan sosial. Namun, gerakan pemurnian akidah yang mengutamakan penegasan tauhid murni. Gerakan ini mampu memadukan purifikasi akidah dengan amal sosial nyata serta keterbukaan terhadap modernitas.

Cecep menjelaskan bahwa Muhammadiyah adalah muara dari berbagai ide pembaharu muslim modern, mulai dari Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, hingga Ismail Raji al-Faruqi.

Para tokoh ini memiliki diagnosis berbeda tentang penyebab kemunduran umat, mulai dari rusaknya akidah, kelemahan politik, hingga hilangnya tradisi ilmu.

Semua gagasan pemurnian dan pembaruan itu, kata Cecep, akhirnya menemukan wadahnya dalam Muhammadiyah.

“Muhammadiyah lahir sebagai gerakan yang merangkum semangat pemurnian dan semangat pembaruan sekaligus,” jelas Cecep yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan FAI Universitas Muhammadiyah Bandung.

Baca Juga:  Kolaborasi Yang Dijalin MPM PP Muhammadiyah Untuk Perluas Jangkauan Dakwah Persyarikatan

Muhammadiyah tampil dengan karakter khas, yakni secara tegas menolak takhayul, bidah, dan khurafat. Namun, di saat yang sama giat membangun pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial.

Dengan aksi nyata ini, Muhammadiyah membuktikan bahwa akidah tidak hanya doktrin metafisis. Namun, fondasi yang melahirkan etos kerja, amal, dan kemajuan bagi umat.

Posisi Muhammadiyah dalam gagasan pembaruan akidah dapat dilihat dari tiga aspek penting, yaitu purifikasi tauhid, rasionalisasi akidah, dan pengembangan amal sosial.

Di satu sisi, Muhammadiyah menggaungkan dakwah anti-TBC (takhayyul, bidah, khurafat), mirip dengan semangat puritan. Namun, di sisi lain, Muhammadiyah tetap kritis, rasional, dan tidak anti-akal.

Dalam praktiknya, Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada satu aliran teologi tertentu, meskipun memiliki kedekatan dengan madrasah Sunni-Asy’ari.

Hal ini tercermin dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) 1929 yang menyatakan bahwa prinsip utama akidah Muhammadiyah adalah keyakinan ahl al-haq wa al-sunnah (ahlussunnah yang lurus), yang menempatkannya sebagai bagian dari al-firqah al-najiyyah (golongan yang selamat).

Baca Juga:  Hadapi Era Digital, Kuliah Umum UM Bandung Kupas Digitalitas dan Media

Karakteristik akidah Muhammadiyah yang utama adalah berbasis pada Al-Quran dan Sunnah dengan penekanan pada tauhid murni. Tidak terjebak pada perdebatan khilafiyah yang berlarut-larut dan memahami akidah sebagai dasar untuk etos kerja dan amal sosial.

Muhammadiyah juga menunjukkan keterbukaan intelektual. Misalnya, dalam memahami sifat-sifat Allah, dengan menerima pendekatan taslim (menerima apa adanya) atau takwil (pemaknaan majasi).

Bahkan, Muhammadiyah mengajarkan kewajiban menggunakan akal (nadzar) untuk memahami wujud Allah melalui ciptaan-Nya, sebuah metode rasional yang menunjukkan sikap tidak kaku.

“Pada intinya, akidah Muhammadiyah tidak hanya berhenti pada aspek doktrinal, tetapi menjadi energi pendorong bagi gerakan Islam berkemajuan. Di sinilah letak posisi strategis Muhammadiyah dalam sejarah gagasan pembaruan akidah dunia,” tandas Cecep.***

PMB Uhamka