BANDUNGMU.COM, Bandung – Jalan Kopo di Bandung Raya tak asing bagi masyarakat setempat. Sebagai salah satu kawasan teramai di Kabupaten Bandung, nama Kopo identik dengan hiruk-pikuk kehidupan kota, lengkap dengan kepadatan lalu lintas yang sering kali membuat frustrasi.
Namun, siapa sangka di balik jalan yang penuh kendaraan ini tersimpan cerita sejarah yang berakar dalam pada perjuangan dan tradisi lokal.
Berawal sebelum tahun 1923, seperti dikutip dari laman resmi Desa Kopo, kawasan Kopo dipimpin oleh seorang jawara karismatik bernama Eyang Jawi, atau lebih dikenal sebagai Eyang Kuwu. Beliau adalah kepala desa pertama yang berkantor di Kampung Muara.
Di bawah kepemimpinannya, Eyang Jawi memulai proyek besar membangun jalan dari Blok Tempe (Panjunan) hingga Kampung Pangauban, yang kini menjadi bagian dari Desa Katapang.
Pengorbanan di balik nama Jalan Kopo
Pembangunan jalan ini tidaklah mudah. Eyang Jawi harus menghadapi tantangan besar, termasuk pengorbanan harta benda dan bahkan nyawa. Sebagai penghormatan atas jasanya, jalan yang ia bangun diberi nama Jalan Kopo, merujuk pada pohon Jambu Kopo yang rindang, tempat Eyang Jawi biasa tinggal.
Legenda lain menyebutkan bahwa nama Jalan Kopo berasal dari kebiasaan masyarakat setempat yang sering mengatakan “Jalan ka Kopo,” yang artinya menuju Lembur Kopo, kediaman Eyang Jawi. Nama ini pun akhirnya melekat menjadi Jalan Kopo.
Tahun 1923 menjadi tonggak baru bagi kawasan ini, ketika Desa Muara dan Desa Kopo digabungkan menjadi satu. Wilayah desa baru ini membentang dari barat Desa Cibodas, timur Desa Katapang, selatan Desa Padasuka, hingga utara Desa Jatisari dan Gajahmekar.
Pemerintahan baru Desa Kopo dipusatkan di Kampung Kopo, dengan kepala desa pertamanya, Mohammad Isak, atau yang dikenal sebagai Apa Pabrik. Julukan tersebut diberikan karena Mohammad Isak memiliki pabrik penggilingan padi yang menjadi salah satu dari dua penggilingan pertama di Jawa Barat, bersama dengan penggilingan di Karawang. Keberadaan pabrik ini tak hanya mencerminkan perkembangan ekonomi lokal tetapi juga menegaskan peran strategis Desa Kopo di masa itu.
Pada tahun 1986, Desa Kopo mengalami pemekaran menjadi dua desa: Desa Kopo dan Desa Kutawaringin. Sebelum pemekaran ini, wilayah tersebut sering disebut Sadawah, dengan Tarja sebagai kepala desanya yang pertama.
Hari ini, Jalan Kopo bukan hanya sebuah akses lalu lintas, melainkan simbol perjuangan, kerja keras, dan warisan budaya yang terus hidup di tengah modernitas. Cerita tentang Eyang Jawi, Mohammad Isak, dan masyarakat setempat adalah pengingat bahwa setiap sudut kota memiliki sejarahnya sendiri yang layak dikenang.***