BANDUNGMU.COM, Bandung — Bagi kamu yang suka jalan-jalan ke Bandung naik kereta api atau kamu berasal dari luar kota Bandung, setidaknya kenal dengan stasiun yang satu ini. Ya, itulah Stasiun Bandung yang punya sejarah menarik untuk dibaca dan dikaji.
Mengutip eWikipedia, Selasa 17 Mei 2022, Stasiun Bandung (BD) atau dikenal juga sebagai Stasiun Hall merupakan stasiun kereta api kelas besar tipe A.
Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun Timur (selatan) dan Jalan Kebon Kawung (pintu utara), di Kebonjeruk, Andir, tepatnya di perbatasan antara Kelurahan Pasirkaliki, Cicendo dan Kebonjeruk, Andir, Kota Bandung.
Stasiun yang berada pada ketinggian +709 meter ini merupakan stasiun utama wilayah Bandung Raya di Jawa Barat dalam pengelolaan Kereta Api Indonesia (KAI) Daerah Operasi II Bandung dan KAI Commuter.
Stasiun ini pada awalnya hanya terdapat satu buah bangunan stasiun. Namun, setelah dilakukan perbaikan oleh pemkot Bandung, stasiun ini sekarang terbagi menjadi dua bagian dan tetap di dalam satu kawasan.
Stasiun ini merupakan stasiun kereta api terbesar di Kota Bandung dan Provinsi Jawa Barat karena menghubungkan antara wilayah Bandung Raya dan Jabodetabek, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur bagi kereta api antarkota kelas eksekutif dan sebagian besar kelas campuran.
Stasiun ini sering dijadikan sebagai stasiun kereta api percontohan oleh KAI supaya mutu pelayanan dibuat setara dengan bandara.
Oleh karena itu, KAI menjadikan stasiun ini sebagai stasiun kereta api pertama di Indonesia yang menerapkan sistem cetak tiket boarding pass sejak Februari 2016 dan serta sistem pemeriksaan bagasi dengan sinar-X pada Oktober 2018.
Selain itu, stasiun ini merupakan stasiun kereta api di Indonesia yang pertama kali menggunakan sistem persinyalan elektrik sejak 1970 yang diproduksi oleh Siemens dengan seri DrS60.
Sejak 2014, kereta api Lokal Bandung Raya dan Lokal Cibatu tidak dilayani di pintu utara Stasiun Bandung, tetapi hanya dilayani di pintu selatan. Hal ini guna untuk meningkatkan pelayanan kepada penumpang dan calon penumpang di stasiun ini.
Stasiun Bandung juga dikenal sebagai terminal angkutan kota (angkot) karena stasiun ini juga dijadikan sebagai tempat singgah banyak angkutan kota (angkot) ke berbagai tujuan.
Pembukaan perkebunan
Dalam buku “Wajah Bandoeng Tempo Dulu” (1984) karangan Haryoto Kunto, gagasan awal pembangunan Stasiun Bandung berkaitan dengan pembukaan perkebunan di Bandung sekitar tahun 1870.
Stasiun ini diresmikan pada 17 Mei 1884 pada masa pemerintahan Bupati Koesoemadilaga. Pada waktu yang sama juga dibuka jalur kereta Batavia–Bandung melalui Bogor dan Cianjur.
Pada saat itu, para tuan tanah perkebunan (Preangerplanters) menggunakan jalur kereta api untuk mengirimkan hasil perkebunannya ke Batavia dengan lebih cepat.
Untuk menampung dan menyimpan hasil perkebunan yang akan diangkut dengan kereta, dibangunlah gudang-gudang penimbunan barang di beberapa tempat di dekat Stasiun Bandung, yaitu Jalan Cibangkong, Jalan Cikudapateuh, daerah Kosambi, Kiaracondong, Braga, Pasirkaliki, Ciroyom, dan Andir.
Setelah peresmian jalur Bandung–Surabaya pada 1 November 1894, para pemilik pabrik dan perkebunan gula dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (Suikerplanters) menyewa gerbong kereta menuju Bandung untuk mengikuti Kongres Pengusaha Perkebunan Gula yang pertama.
Kongres tersebut merupakan hasil pertemuan Pengurus Besar Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Gula (Bestuur van de Vereniging van Suikerplanters) di Surabaya pada 1896.
Untuk mengingat pentingnya stasiun ini, maka diresmikan sebuah monumen (tugu) di depan pintu selatan stasiun pada 6 April 1925 yang dirancang oleh arsitek E.H. de Roo, dibangun untuk memperingati 50 tahun Staatsspoorwegen (SS) berkarya di Jawa.
Tugu itu diyakini sebagai hadiah dari Wali Kota Bandung kepada SS atas jasa-jasanya berhasil mempersatukan Jawa dengan kereta api. Tugu itu diterangi seribu lampu dan diresmikan dengan upacara yang dihadiri warga Bandung dan petinggi-petinggi SS.
Pada 1927–1928 beberapa tahun setelah peringatan lima puluh tahun SS, E.H. de Roo juga mengganti arsitektur Stasiun Bandung, salah satunya ditandai dengan hiasan kaca patri pada peron bagian selatan yang bergaya Art Deco.
Sebelumnya pada 1918 mulai dilaksanakan proyek pembangunan jalur baru Bandung–Rancaekek–Jatinangor–Tanjungsari–Citali, kemudian dibangun lintas Bandung–Citeureup–Majalaya setahun kemudian, dan dibangun jalur Citeureup-Banjaran–Pengalengan pada 1921.
Untuk jalur yang menuju ke perkebunan teh, dibangun jalur Bandung ke Kopo (Soreang) dan kemudian ke Ciwidey.
Pada saat peresmian Stasiun Bandung baru, surat kabar “Javabode” menuliskan bahwa masyarakat sekitar merayakannya selama dua hari secara berturut-turut.
Kereta api merupakan sarana transportasi hasil produksi perkebunan Bandung, seperti kina, teh, kopi, dan karet sehingga pertumbuhan ekonomi di kota tersebut berkembang pesat.
Pada 1990 dibangun peron utara yang akhirnya dijadikan bagian depan stasiun di Jalan Kebon Kawung.
Bangunan dan tata letak
Bangunan sisi selatan stasiun ini bergaya Art Deco, ditandai dengan bentuk bangunan yang cenderung kubus pada hall depan.
Fasad bangunan didesain mengikuti fasad lama stasiun (bangunan lama stasiun ini bergaya Indische Empire seperti stasiun-stasiun SS lainnya). Namun, didominasi oleh bidang-bidang transparan yang membuatnya berbeda dengan arsitektur lama.
Stasiun ini secara keseluruhan memiliki sepuluh jalur kereta api, terdiri atas enam jalur utama dengan jalur 3 dan 4 merupakan sepur lurus ditambah empat jalur untuk aktivitas langsir kereta api.
Semua jalur digunakan untuk pemberhentian kereta api dan juga sebagai titik langsiran kereta api. Hampir semua kereta api yang melintas di jalur Padalarang–Kroya berhenti di stasiun ini, kecuali angkutan barang yang melakukan bongkar muat barang di Stasiun Gedebage.
Stasiun Bandung dilengkapi dengan depo lokomotif di barat laut kompleks stasiun dan depo kereta yang cukup besar dan batasnya sampai ke Stasiun Ciroyom serta memiliki pemutar rel.
Pintu utara stasiun ini dahulunya merupakan bekas Balai Yasa Bandung yang kini sudah dinonaktifkan. Sementara itu pintu selatan dijadikan sebagai pintu masuk kedua.
Di hadapan stasiun berderet-deret kantor Daerah Operasi II Bandung yang halamannya juga dibuat untuk lahan parkir stasiun, mess, kantor Reska Multi Usaha Bandung, unit polisi khusus kereta api, dan unit kesehatan KAI. Di sebelah timur laut stasiun terdapat kantor pusat KAI.
Dalam rangka menjawab kebutuhan kerja bagi kaum milenial, KAI bersama Kementerian Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia (BUMN) meresmikan ruang kerja bersama di sembilan stasiun kereta api besar di Jawa.
Ruang kerja bersama itu diresmikan oleh Menteri BUMN saat itu, Rini Soemarno, di Stasiun Bandung, pada 6 April 2019. Ruang kerja bersama ini dilengkapi meja kursi dan tersambung dengan internet melalui Wi-Fi.
Stasiun ini memiliki jembatan penyeberangan penumpang untuk menghubungkan penumpang baik dari stasiun utara maupun dari stasiun selatan menuju peron.
Selain itu, dilakukan peninggian peron jalur 1 dan peron antara jalur 2 dan 3, serta pemanjangan peron antara jalur 4 dan 5 dan peron antara jalur 6 dan 7, untuk menunjang penumpang menuju jembatan layang. Oleh karena itu, penumpang yang dari/menuju peron tidak perlu menyeberangi rel.
Sehubungan dengan upaya modernisasi persinyalan elektrik kereta api di stasiun ini, sistem persinyalan elektrik lama produksi Siemens sudah digantikan dengan yang terbaru produksi PT Len Industri pada bulan Desember 2021.
Upaya ini dilakukan karena sistem persinyalan elektrik lama tersebut sudah digunakan selama 50 tahun.
Ke arah barat stasiun ini terdapat bekas Stasiun Bandung Gudang yang sudah tidak aktif karena sudah tidak ada lagi aktivitas pengangkutan barang di sana serta digantikan oleh pusat perbelanjaan Paskal Hyper Square.
Stasiun ini memiliki bel stasiun dengan instrumental dari lagu daerah Jawa Barat berjudul “Manuk Dadali” pada keberangkatan dan kedatangan kereta api antarkota dan lokal di seluruh stasiun besar Daerah Operasi II Bandung kecuali stasiun Kiaracondong yang menggunakan instrumental dari lagu bernama “Karatagan Pahlawan”.***