PMB Uhamka
News

Seminar UIN Bandung Ungkap Fakta Menarik Terkait Komunikasi Politik Pasca Pilpres 2024

×

Seminar UIN Bandung Ungkap Fakta Menarik Terkait Komunikasi Politik Pasca Pilpres 2024

Sebarkan artikel ini

BANDUNGMU.COM, Bandung — Program Studi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati Bandung menggelar Seminar Komunikasi Politik Pasca Pilpres 2024 di Aula Fakultas Dakwah dan Komunikasi pada Selasa (26/03/2024).

Seminar ini turut menghadirkan para pakar, pengamat komunikasi dan budaya komunikasi politik, yakni Prof Enjang sebagai keynote speaker, Prof Asep Saeful Muhtadi, Prof Zaenal Mukarom, guru besar bidang Ilmu Komunikasi, dan Prof Moch Fakhruroji, ahli media.

Acara ini dibuka oleh Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Prof Enjang. Dalam sambutannya ia menyampaikan bahwa satu di antara persoalan yang paling menarik dibicarakan setelah pilpres adalah komunikasi politik.

“Salah satu hal yang menarik untuk dibahas setelah pilpres adalah komunikasi politik. Mengapa ini dipandang menarik? Karena setelah pilpres kita menyaksikan secara terang benderang sebuah drama yang mempertontonkan tentang bagaimana orang berbicara harga diri dan juga memperjuangkan sebuah tujuan sejati,” ujarnya.

Kang Enjang, begitu ia biasa dipanggil, mengatakan bahwa di antara dua kubu yang kemudian saling mempertukarkan pesan-pesan politik dengan berbagai gagasan sesuai dengan kepentingan dan posisi masing-masing, seakan-akan itu adalah sebuah tontonan yang sangat menarik. Bahkan, lebih menarik dibandingkan dengan drama Korea.

Baca Juga:  Aduh! Bupati Bandung Barat Tersangka Korupsi, Ini Cerita Kasusnya

Menurutnya ini merupakan sebuah kajian yang sangat penting. Terlebih bagaimana kita bisa memasarkan gagasan di antara orang-orang yang memang dipandang kompeten dalam bidang ini.

Sebagai pengantar, Prof Asep Saeful Muhtadi menjelaskan bahwa komunikasi politik pasca Pilpres 2024 dilihat dari dua sisi aktor komunikasi.

“Yang pertama elite, sedangkan yang kedua massa. Yang disebut elite adalah para pengambil kebijakan atau yang paling berkuasa sehingga komunikasi politik pasca pilpres 2024 dikuasai oleh elite, seperti pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,” ujar Prof Asep.

“Yang kedua massa. Massa itu sangat terombang-ambing karena dia bukan pemangku kebijakan, melainkan sebagai korban komunikasi, yaitu masyarakat sehingga mereka tidak bisa memainkan peran penting,’’ jelasnya.

Baca Juga:  Jangan Ada Kampanye Negatif di Muhammadiyah

Prof Samuh, sapaan akrabnya, menambahkan bahwa pesan yang mendominasi komunikasi politik pasca pilpres 2024 adalah kegaduhan yang terjadi antara pihak yang menggugat dan pihak yang tergugat.

Hal itu disebabkan oleh proses komunikasi yang tidak sejalan dan tidak disepakati oleh bangsa Indonesia, terutama oleh aktor partai politik.

Dalam pemaparannya, Prof Zaenal Mukarom menuturkan pemilu dilihat dari kacamata komunikasi politik. Dari kacamata politik bisa dilihat dari tiga kaca.

Pertama, dari teori kehendak rakyat. Orang yang mendapatkan suara terbanyak itulah yang menang. Kedua, teori dukungan rakyat. Gambarannya bahwa rakyat memberikan dukungan kepada pasangan yang dipilihnya.

“Ketiga, kontrol sosial. Artinya, pemilu dan pilpres harus dipandang bagaimana rakyat memberikan kontrol tentang pilihan politiknya,’’ ungkapnya.

Menurutnya, masyarakat bisa melihat beberapa fenomena pasca pilpres. Pertama, pudarnya paslon politik. Dalam konteks komunikasi politik, budaya politik itu penting.

Kedua, fenomena gagasan ide. Hal ini tidak berbanding lurus atas keterpilihan seseorang pada pilpres sekarang.

Baca Juga:  Sikapi Kritik Ketum Pemuda Muhammadiyah, Ketua PPNA: Pernyataan Itu Tidak Mewakili AMM

Selanjutnya, kampanye dalam komunikasi politik ternyata lebih disukai dengan kampanye gemoy yang ternyata disukai oleh para milenial. Ini merupakan sebuah realitas yang mana komunikasi politik di Indonesia menurun.

Dilihat dari sisi media, Prof Moch Fakhruroji menyampaikan pergesaran yang terjadi dalam kaitannya dengan media.

Menurutnya, persepsi manusia atau audiens dipengaruhi oleh apa yang dia baca. Pada era politik orang-orang hanya melihat selembaran-selembaran berita yang bersiuran di media sosial.

Pada era sekarang peran media yang semakin besar untuk menguasai ruang publik yang paling ramai ialah di media sosial. Oleh karena itu, algoritma media sosial menyebabkan seseorang terpengaruh atas pilihan politiknya.

“Dengan adanya politic of memory, ia juga mampu mempengaruhi masyarakat salah satunya dengan konten media sosial,” ujarnya.

Sebagai penutup, acara ini diakhiri dengan sesi diskusi oleh para dosen Ilmu Komunikasi yang turut hadir pada seminar kali ini.***

PMB Uhamka