Oleh: Sudarman Supriyadi, peminat literasi dan sosial-keagamaan
BANDUNGMU.COM — Saya berpendapat bahwa ulama klasik zaman dahulu telah memberikan contoh yang sempurna tentang bagaimana literasi harus melekat pada diri ulama sebagai penerang umat dari kegelapan peradaban.
Jadi, jika ada yang mengatakan bahwa ulama identik dengan buku, itu tidak berlebihan. Pendapat itu wajar karena fakta historis menunjukkan bahwa ulama masa lalu banyak menghasilkan karya tulis.
Meskipun ada juga ulama yang ahli dalam ilmu agama tetapi minim menghasilkan karya tulis berupa buku. Itu juga tidak salah karena mereka memiliki alasan tersendiri yang bisa diterima. Namun, saya hanya menyoroti ulama yang menghasilkan karya tulis buku.
Fakta historis ini semata-mata untuk memudahkan kita memahami bahwa ulama adalah pencerah umat. Salah satu bentuk pencerahannya adalah melalui buku. Ini adalah fakta yang tidak bisa dibantah hingga detik ini.
Bahkan buku-buku (atau kitab) karya ulama terdahulu masih dikaji sampai sekarang, khususnya di pesantren-pesantren Indonesia, termasuk di pesantren-pesantren milik Muhammadiyah. Ini menunjukkan bahwa manfaat menulis buku sangat luar biasa.
Apakah ulama saat ini tidak produktif menulis buku? Sebagian iya, mereka kurang produktif menulis buku. Namun sebagian lagi tetap produktif menulis buku sehingga karya tulis mereka banyak dikaji dan menjadi bahan diskusi di kalangan umat.
Contohnya, ulama jago debat Ahmad Hassan (A Hassan atau Hassan Bandung) yang terbilang produktif. Berdasarkan catatan, A. Hassan telah menulis puluhan buku mengenai masalah keagamaan, terutama fikih, tafsir, hadis, dan ilmu kalam.
Ahmad Hassan merupakan ulama yang produktif dengan kurang lebih 81 karya tulis. Beberapa karyanya yang cukup populer adalah “Soal-Jawab” (empat jilid terbitan Penerbit Diponegoro Bandung), “Tafsir Al-Furqan”, “Pengajaran Shalat”, “Islam dan Kebangsaan”, dan “Adakah Tuhan?”
Selain menerbitkan buku-buku, ulama yang belasan tahun tinggal di Kota Kembang ini juga rajin menulis dalam majalah dan selebaran yang penyebarannya cukup luas.
Selain tokoh Persatuan Islam (Persis), di Indonesia juga ada ulama Muhammadiyah yang sangat produktif dalam berkarya tulis, yakni Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka).
Tokoh, ulama, dan sastrawan ini terbilang produktif karena telah menghasilkan sekitar 81 karya tulis hingga akhir hayatnya. Sebagian besar bukunya masih diterbitkan dan dicetak hingga sekarang.
Di antaranya buku “Dari Perbendaharaan Lama”, “Tasawuf Modern”, “Sejarah Umat Islam,” “Tafsir Al-Azhar”, “Falsafah Hidup”, “Lembaga Budi”, dan “Lembaga Hidup”. Belum lagi karya-karya sastranya seperti “Di Bawah Lindungan Ka’bah”, “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”, “Merantau ke Deli”, dan lainnya.
Kedua ulama yang saya contohkan di atas berkarya pada saat kondisi teknologi belum secanggih saat ini, ketika peralatan dan media promosi buku belum semudah sekarang. Namun, mereka tetap produktif menulis walaupun di tengah keterbatasan.
Pertanyaan adalah, kenapa ulama zaman dulu sangat produktif menulis buku hingga usia buku itu mencapai ratusan tahun, tetapi ulama kontemporer saat ini tidak sehebat para pendahulunya? Wallahu’alam.
Andai saja A Hassan dan Hamka masih hidup di era digital saat ini, mungkin saja karya tulis mereka semakin banyak. Tidak dapat dibayangkan bagaimana proses kreatif mereka dalam menulis buku ditunjang kecanggihan teknologi saat ini.
Kenapa? Zaman dahulu saja ketika peralatan dan teknologi belum maju, mereka sudah produktif menulis, apalagi sekarang. Menulis buku itu memang gampang-gampang susah. Gampang karena tinggal menulis saja tanpa harus melihat bagus atau jelek. Itu urusan belakangan. Bisa dikoreksi dan diedit di lain waktu ketika pikiran sudah kembali normal.
Susahnya karena menulis buku butuh ketekunan dan kesabaran luar biasa. Kadang-kadang ada orang—bukan ulama—yang semangat di awal, tetapi di tengah jalan malah berhenti dan tidak melanjutkan lagi menulis bukunya.
Oleh karena itu, tidak semua ulama sempat menuliskan ilmu-ilmunya ke dalam bentuk buku. Alasannya bisa seperti yang saya kemukakan di atas. Bahkan banyak ulama yang sampai akhir hayatnya tidak sempat menulis buku karena sibuk berdakwah dan ada yang ditindak oleh penguasa zalim dan akhirnya dipenjara.
Melihat hal tersebut, wajar jika menulis buku tidak bisa dipaksakan. Ada beberapa alasan dan kondisi yang membuat seorang ulama atau cendekiawan tetap menyampaikan ilmu dengan lisan tanpa harus menuliskannya dalam buku.
Menulis buku butuh waktu khusus, walaupun bisa juga dilakukan di sela-sela kesibukan. Namun, idealnya para ulama atau cendekiawan tetap meluangkan waktu untuk menulis buku agar ilmu dan nasihat mereka bisa terabadikan dalam bentuk kata-kata.
Manusia tempatnya lupa dan ingatannya pendek. Untuk menyiasati hal tersebut, membaca kembali ilmu yang telah lama bisa dilakukan dengan membacanya di buku. Oleh karena itu, menulis buku penting agar ilmu tidak menguap.
Mengabadikan ilmu
Seperti disinggung di atas, ilmu para ulama perlu diabadikan. Tidak boleh menghilang seiring wafatnya para ulama tersebut. Selain melalui teknologi video, mengabadikan ilmu para ulama dalam bentuk buku juga tidak kalah pentingnya.
Buku tidak akan pernah hilang sampai kiamat selama manusia membutuhkan kata-kata. Hanya bentuk dan platformnya yang mungkin menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Mengapa mengabadikan ilmu dalam bentuk buku itu penting? Ketika seorang ulama meninggal, sulit sekali mencari penggantinya yang minimal keilmuannya setara. Berbeda dengan sarjana yang tiap tahun diluluskan perguruan tinggi, ulama tidak demikian. Perlu waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan ulama yang alim.
Kalaupun ada ulama penggantinya, tetap perlu waktu lama karena menjadi ulama tidak bisa instan dalam satu atau dua bulan. Apalagi hanya belajar dari media sosial dan YouTube. Perlu waktu bertahun-tahun belajar di pesantren untuk menjadi ulama.
Oleh karena itu, penting bagi ulama menulis buku untuk mengikat dan mengabadikan ilmu mereka agar tidak menguap begitu saja. Ingatan manusia sangat pendek.
Sekali lagi—minimal menurut saya—karena para ulama juga manusia, ada kalanya mereka sakit, ada halangan berat, bahkan sampai wafat. Jika ilmu mereka tidak diikat dalam bentuk buku, sayang sekali, bisa-bisa kita sebagai umatnya berjalan di lorong gelap. Ilmu dan nasihat ulama merupakan cahaya penerangan jalan umat.
Dari mana kita mengenal Imam Al-Ghazali, Imam Al-Bukhari, Imam Syafii, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Kindi, Al-Farabi? Dari mana kita mengenal KH Ahmad Dahlan, Hasyim Al-Asyari, Ahmad Hassan? Selain dari lisan para ulama setelahnya, tentu saja kita mengenal mereka dari buku-buku karya mereka sendiri—dan buku yang ditulis ulama lain.
Semoga para ulama kita dilindungi oleh Allah, dipanjangkan umurnya, diluaskan ilmunya, tetap semangat membimbing kita yang awam ini, dan diluangkan waktunya untuk menulis buku. Amin.***