PMB Uhamka
Opini

Catatan Kelam Pendidikan dan Teguran Keras Prabowo Subianto

×

Catatan Kelam Pendidikan dan Teguran Keras Prabowo Subianto

Sebarkan artikel ini

Oleh: Ace Somantri*

Kasus demi kasus terus bermunculan dari tahun ke tahun tanpa pernah ada habisnya. Beragam persoalan mewarnai dunia pendidikan Indonesia, mulai dari tingkat sekolah dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.

Kondisi ini memprihatinkan sekaligus memilukan, karena dunia pendidikan Indonesia kerap menjadi sorotan publik. Berita-berita tentang peristiwa yang menyayat hati semakin banyak dipublikasikan dan menimbulkan keprihatinan mendalam.

Tak jarang, sikap dan perilaku anak-anak usia sekolah justru memperlihatkan hal-hal yang tidak pantas ditonton maupun dipertontonkan. Generasi Z saat ini sangat terpengaruh oleh dinamika media sosial, selain juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, mulai dari keluarga hingga pergaulan dengan teman sebaya.

Peristiwa perundungan atau bullying bukanlah fenomena baru, melainkan sudah terjadi sejak lama dalam sejarah kehidupan manusia.

Hal ini sering kali dipicu oleh adanya kesenjangan sosial yang begitu jauh, sebagaimana dijelaskan dalam teori kelas yang digagas oleh sosiolog Karl Marx dan kemudian dipopulerkan oleh para pengikutnya.

Kondisi tersebut muncul karena pemisahan kelompok sosial yang terlalu ekstrem di masyarakat sehingga melahirkan kelompok yang kuat dan kelompok yang lemah.

Pada masa itu, istilah proletar digunakan untuk menyebut kaum lemah, sedangkan kaum borjuis merujuk pada kelompok yang kuat. Relasi yang timpang ini menimbulkan perilaku sewenang-wenang dari yang kuat terhadap yang lemah, sekaligus melahirkan luka psikologis yang mendalam.

Meskipun kemudian muncul teori masyarakat tanpa kelas sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, dinamika serupa tetap berulang hingga kini.

Praktik perundungan dalam berbagai bentuk masih menjangkiti perilaku sebagian orang kaya maupun pejabat yang memiliki kuasa dalam ranah sosial, politik, maupun ekonomi.

Perundungan atau bullying kerap dipertontonkan layaknya sebuah ajang unjuk kekuatan diri maupun kelompok. Aksi tersebut seolah ingin menegaskan pesan, “Ini saya, jangan coba-coba melawan. Apa pun yang saya inginkan bisa saya lakukan karena saya kuat.” Inilah makna tidak tertulis yang sering tersirat dari perilaku perundungan.

Baca Juga:  Pesonamu Universitas Muhammadiyah Bandung Diikuti 1510 Mahasiswa

Hal serupa juga tampak pada sebagian orang dewasa yang memiliki jabatan atau status sosial tinggi. Pejabat pemerintah, aparat, maupun kelompok dengan pengaruh tertentu tidak jarang menunjukkan sikap arogan dan merundung mereka yang dianggap lebih lemah secara sosial.

Akibatnya, pihak yang lemah terkadang memilih melawan dengan cara yang menyimpang dari norma dan aturan yang berlaku.

Padahal, siapa pun yang melakukan perundungan—terlepas dari status, jabatan, atau kekuatan yang dimilikinya—tetaplah melanggar nilai moral, norma sosial, dan aturan hukum.

Fenomena bullying yang viral di media sosial berhasil menyita perhatian publik, bahkan memaksa pemerintah daerah hingga pusat turun tangan memberikan respons.

Tindakan perundungan, dalam bentuk apa pun, tidak bisa dibenarkan karena merupakan kejahatan psikologis yang membahayakan keberlangsungan hidup korban.

Pernyataan Presiden Prabowo Subianto mendapat apresiasi luas ketika beliau menegaskan bahwa, “Anda seorang pemulung, lebih mulia daripada seorang koruptor.” Kalimat ini bukan sekadar motivasi bagi mereka yang hidup dalam keterbatasan, melainkan juga sindiran keras bagi pejabat atau siapa pun yang berperilaku menyimpang.

Pesan tersebut menyentil para pejabat yang gemar memamerkan kekayaan hasil korupsi. Lebih jauh lagi, pernyataan itu mengingatkan bahwa kekayaan yang mereka nikmati sejatinya bersumber dari uang negara—yakni dari rakyat.

Dengan demikian, ungkapan Presiden menjadi pukulan moral bagi siapa pun yang menyadari bahwa harta berlimpahnya diperoleh dari jalan yang tidak benar.

Perilaku anak-anak usia sekolah yang bergaya layaknya “mafia kelas” masih kerap ditemukan di lingkungan sekolah maupun kelompok sosial lainnya.

Sikap dan tindakan semacam ini umumnya dipengaruhi oleh kondisi keluarga, baik melalui pola asuh, kurangnya keteladanan orang tua, maupun lingkungan sekitar yang tidak mendukung pembentukan karakter positif.

Tak jarang, pelaku perundungan justru berasal dari keluarga sederhana. Namun, karena berada dalam lingkaran pergaulan anak-anak dari kalangan kaya atau pejabat, mereka terdorong untuk meniru sikap arogan dan perilaku menyimpang tersebut.

Baca Juga:  Muhammadiyah, Iklim, dan Arah Baru Gerakan Publik

Contoh nyata dapat dilihat dari kasus seorang anak bupati yang bertindak semena-mena dengan memarkir mobilnya di sekolah, dan masih banyak peristiwa serupa lainnya.

Fenomena ini menunjukkan bahwa banyak faktor yang memengaruhi perilaku menyimpang tersebut. Situasi ini sekaligus menjadi catatan kelam bagi dunia pendidikan Indonesia, yang menuntut tanggung jawab semua pihak untuk mengawasi serta memperbaiki pola pendidikan secara menyeluruh tanpa memandang latar belakang sosial.

Masalah perundungan pun tidak hanya dialami oleh siswa, tetapi juga menimpa guru maupun orang tua siswa. Hal ini menandakan bahwa tingkat kesadaran masyarakat masih tergolong rentan terhadap praktik perundungan.

Akibatnya, perilaku negatif tersebut mudah ditiru dan direplikasi oleh generasi usia sekolah, menciptakan lingkaran imitasi yang merugikan perkembangan moral dan karakter mereka.

Kebijakan pemerintah untuk melakukan pemerataan pendidikan hingga pelosok desa dan pulau-pulau terluar merupakan langkah yang tepat.

Namun, yang jauh lebih penting adalah memastikan model pembelajaran disertai dengan kontrol mutu dan pengawasan kualitas secara intensif, jujur, serta profesional.

Tanpa pengawasan yang memadai, kebijakan tersebut bisa saja melenceng dari harapan. Apalagi, para pengambil kebijakan di Indonesia kerap gemar meluncurkan banyak program, tetapi lemah dalam hal pengawasan dan evaluasi yang objektif.

Pendidikan di Indonesia terus menghadapi beragam persoalan, tidak hanya dari sisi regulasi dan kebijakan, tetapi juga terkait kesiapan serta ketersediaan sumber daya. Jika dibandingkan dengan jumlah populasi, ketersediaan sumber daya pendidikan masih sangat timpang dan tidak seimbang.

Kesenjangan ini kemudian melahirkan stratifikasi sosial dalam akses pendidikan. Hal tersebut tampak dari munculnya program-program pendidikan swadaya masyarakat yang dirancang secara lebih otonom.

Sekolah-sekolah dengan model demikian disusun berdasarkan tuntutan para pembelajar, tetapi konsekuensinya justru membebani pembiayaan pendidikan.

Pada akhirnya, beban itu harus ditanggung oleh masyarakat sebagai penerima manfaat, karena seluruh akumulasi kebutuhan dan tanggung jawab penyelenggara maupun pengelola pendidikan dialihkan kepada mereka. Situasi ini mempertegas adanya ketidakadilan dalam akses pendidikan yang seharusnya menjadi hak dasar seluruh warga negara.

Baca Juga:  Tiga Tahun Berkiprah, Unisa Bandung Semakin Berprestasi

Pendidikan swadaya masyarakat pada akhirnya melahirkan ruang eksploitasi yang membedakan sekolah berdasarkan kelas sosial. Salah satu contohnya adalah munculnya sekolah unggulan dengan biaya mahal, yang dijustifikasi dengan alasan demi pendidikan berkualitas dan masa depan anak yang lebih sukses.

Sebaliknya, terbentuk pula sekolah swadaya yang hanya diperuntukkan bagi kalangan dhuafa. Sayangnya, sekolah-sekolah ini sering kali memiliki standar yang jauh di bawah ketentuan ideal. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh sistem pembiayaan yang sepenuhnya dibebankan kepada masyarakat, sehingga melahirkan pola yang sangat kapitalistik.

Akibatnya, sekolah unggulan hanya bisa diakses oleh anak-anak pejabat dan kalangan kaya, sementara sekolah berstandar rendah menjadi pilihan masyarakat miskin dengan kualitas seadanya—murah, bahkan gratis, tetapi hanya berorientasi pada kelulusan dan ijazah.

Padahal, kesenjangan ini tidak perlu terjadi jika negara hadir secara penuh untuk menjamin dan membiayai seluruh kebutuhan pendidikan bagi rakyat Indonesia.

Kelamnya wajah pendidikan Indonesia tampak dari fakta bahwa banyak lulusan pada berbagai jenjang tidak benar-benar mencerminkan sosok terpelajar yang menjunjung tinggi akal sehat serta perilaku baik dalam kehidupan sehari-hari.

Masih banyak pekerjaan rumah di bidang pendidikan yang bersifat krusial. Mulai dari integrasi regulasi lintas sektor, persoalan kesejahteraan, peningkatan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan, hingga penyediaan sarana-prasarana yang memadai.

Berbagai standar yang seharusnya menjadi indikator keberhasilan belajar sering kali hanya menjadi catatan administratif semata, tanpa benar-benar diinternalisasi dalam proses pendidikan.

Lebih ironis lagi, indikator keberhasilan kerap direduksi menjadi sekadar angka nilai yang sarat rekayasa. Sementara itu, capaian nyata di luar angka cenderung diabaikan.

Kondisi ini menegaskan pentingnya kesadaran kolektif seluruh pihak terkait untuk bersama-sama mengubah wajah pendidikan Indonesia agar benar-benar mampu memajukan bangsa dan negara.

*Wakil Ketua PWM Jawa Barat

PMB Uhamka