PMB Uhamka
Opini

NU Tak Punya Pesantren?

×

NU Tak Punya Pesantren?

Sebarkan artikel ini

Oleh: Nurbani Yusuf*

Adagium bahwa ribuan pesantren-presantren yang bertebaran adalah milik NU patah. Terbantahkan.

Sebab hubungan NU dengan pesantren adalah hubungan kolaboratif, hubungan emosional, dan psikologis karena kesamaan dalam pandangan ideologis.

Bukan kepemilikan. Pesantren Lirboyo, Al-Falah, Ploso, Sidogiri, dan ribuan lainnya bukan milik NU.

Masih lanjutan kelakar Gus Dur di kampus Islam terbesar dan terbaik di dunia, Universitas Muhammadiyah Malang, dia berkata: “Di NU pengurusnya lemu-lemu. Organisasinya kurus. Muhammadiyah pengurusnya kurus-kurus. Organisasi lemu,” katanya yang disambut ngakak ratusan akademisi.

Entah ada berapa puluh ribu pesantren yang bertebaran dan entah pula hanya berapa puluh atau belasan atau tidak ada sama sekali pesantren yang secara organisatoris dimiliki NU–yang didirikan dan dibangun untuk dikelola secara NU.

Baca Juga:  UM Bandung Berkomitmen Antarkan Mahasiswa Menjadi Pribadi Mandiri

Setiap pesantren milik yayasan sendiri, berbadan hukum sendiri, dikelola keluarga-keluarga kiai dan diwariskan ke zuriahnya. Tak ada hubungan struktural. Tak ada hubungan koordinatif antara NU dan pesantren sebab hakikatnya keduanya berdiri sejajar.

Sohib saya di NU punya penjelasan bagus yang saya kutip utuh.

Hubungan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan pesantren punya karakter yang unik dan sulit dipisahkan. Pesantren sudah ada jauh sebelum NU berdiri dan para pendiri NU sendiri adalah para kiai pemilik pesantren. Oleh karena itu, bisa dibilang pesantren adalah rahim kultural yang melahirkan NU.

Meski begitu, pesantren tidak pernah menjadi bagian langsung dari struktur organisasi NU. Masing-masing tetap mandiri dengan badan hukum sendiri. Biasanya berupa yayasan milik kiai atau keluarganya. NU pun tidak pernah berupaya mengambil alih kepemilikan pesantren.

Baca Juga:  Tiga Pendekar dari Chicago

Secara kelembagaan, NU dan pesantren memang terpisah secara hukum dan aset, tetapi sangat erat secara ideologi dan tradisi. Pesantren menjadi tempat lahirnya kader ulama dan sekaligus basis sosial NU.

Untuk menjaga hubungan ini, NU membentuk Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) sebagai penghubung dengan pesantren. Sementara itu, pendidikan formal di bawah NU dikelola oleh LP Ma’arif NU.

Nama Nahdlatul Ulama berarti “Kebangkitan Para Ulama.” Artinya, sejak awal NU dimaksudkan sebagai wadah perjuangan dan koordinasi para kiai pesantren.

Dalam strukturnya, para ulama menempati Dewan Syuriyah yang dipimpin oleh Rais Aam sebagai pemegang otoritas tertinggi, sedangkan Dewan Tanfidziyah, yang dipimpin oleh Ketua Umum, bertugas melaksanakan kebijakan dan keputusan Syuriyah.

Baca Juga:  Jadilah Suami Berbahagia

Posisi Ketua Tanfidziyah ini kerap diibaratkan seperti lurah pondok dalam sistem pesantren. Seorang pelaksana harian yang setia menjalankan arahan dan kebijakan dari kiai pengasuh sebagai pemegang otoritas utama.

Karena kesamaan struktur, nilai, dan ruh keilmuannya, muncul ungkapan yang populer di kalangan warga NU: “NU adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil.”

Ungkapan ini menggambarkan betapa erat dan organisnya hubungan keduanya: masing-masing berdiri mandiri, tetapi satu dalam jiwa, tradisi, dan cita-cita perjuangan.

Penjelasan dari seorang sohib ini sungguh menjelaskan dengan benderang pola hubungan antara pesantren dan NU. Dan Muhammadiyah adalah ormas pemilik pesantren terbanyak.

*Komunitas Padhang Makhsyar

PMB Uhamka