Sosbud

Dedi Mulyadi Ungkap Persamaan Muhammadiyah dan Masyarakat Sunda

BANDUNGMU.COM, Bandung — Tokoh Sunda yang juga eks Bupati Purwakata, Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengatakan bahwa Muhammadiyah memiliki kesamaan pola ekonomi dan kehidupan sosial dengan masyarakat Sunda.

Hal tersebut Dedi sampaikan saat mengisi silaturahmi bakda Idul Fitri 1445 Hijriah di Auditorium KH Ahmad Dahlan UM Bandung pada Rabu (24/04/2024) lalu.

Dedi menjelaskan bahwa masyarakat Sunda dalam membangun sebuah komunitas berawal dari kasepuhan. ”Adanya kasepuhan karena orang Sunda itu tidak mau ribet, tidak mau capek, dan tidak mau berkonflik,” ucap Dedi.

Selain itu, masyarakat Sunda juga mengelola kehidupannya dalam sebuah kampung yang disebut dengan kabuyutan.

”Kabuyutan ini menjadi jalan bagi masyarakat Sunda untuk membangun relasi ekonomi secara bersama,” lanjut Dedi.

Pengelolaan ekonomi pada masyarakat Sunda, kata Dedi, dikelola oleh seorang pemimpin atau juga disebut dengan puun.

”Seorang puun akan menggerakkan masyarakatnya setiap hari dalam pengelolaan khususnya pada bidang ekonomi,” kata Dedi.

Pengaturan kebutuhan pangan oleh seorang puun menjadikan masyarakat Sunda tidak pernah mengalami krisis pangan.

”Pengelolaan seperti itu pula yang menjadikan masyarakat Sunda tidak pernah mengimpor bahkan bisa membantu daerah Ethiopia yang dulu mengalami kekeringan dengan berkirim padi ke daerah tersebut,” imbuh Dedi.

Konsep pembangunan

Konsep pembangunan pada masyarakat Sunda, ujar Dedi, bisa melahirkan ketahanan ekonomi yang sangat kuat, bahkan kekuatan harapan hidup yang sangat lama.

”Itulah konsep pembangunan yang memiliki artificial teknologi kekinian yang didasarkan pada pelaku kebudayaan dan didasarkan juga pada teologi kemahaesaan,” tegas Dedi.

Ia menuturkan, konsep seperti itu juga yang berkembang dalam organisasi Islam Muhammadiyah yang didirikan oleh tokoh pembaharu progresif KH Ahmad Dahlan pada 1912.

”Muhammadiyah membentuk sebuah persyarikatan yang berkonsentrasi pada pendidikan ataupun ekonomi,” tutur Dedi.

Muhammadiyah dikelola bukan secara personal, melainkan berdasarkan pada akar ekonomi kerakyatan yang dikelola oleh kepemimpinannya.

”Meskipun pengelolaan, baik rumah sakit maupun universitasnya, semakin besar dan di mana-mana, tetapi pimpinan Muhammadiyahnya tumbuh dan tampil sederhana, tidak bertambah kekayaannya,” kata Dedi.

Maka dari itu, menurut Dedi, pengelolaan ekonomi Muhammadiyah perlu menjadi pembelajaran bagi negara dalam mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

”Semoga peradaban kita bukan peradaban yang semu, melainkan peradaban yang nyata. Tugas Muhammadiyah itu berpihak pada orang miskin dan anak yatim,” pungkas Dedi.***(FK)

Exit mobile version