UMBandung
Opini

Drama Al-Zaytun: Isu Klasik Atau Jebakan Yang Mengecoh?

×

Drama Al-Zaytun: Isu Klasik Atau Jebakan Yang Mengecoh?

Sebarkan artikel ini
Ace Somantri

BANDUNGMU.COM — Viral dan heboh dalam satu waktu, berbagai isu seperti pencapresan, Hari Raya Idul Adha atau kurban, manasik haji, dan polemik Pondok Pesantren Al-Zaytun telah menciptakan kegaduhan di tengah masyarakat.

Kita cenderung terpengaruh dan terprovokasi tanpa memiliki dalil dan argumentasi yang jelas dan rasional. Masalah selalu menjadi topik yang tak pernah habis untuk dibicarakan karena itulah sunnatullah yang berlaku di alam semesta.

Namun, kita harus menggunakan akal sehat dan hati nurani untuk mengarahkan sikap dan tindakan yang seharusnya tidak berkompromi dengan kebatilan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kita harus berbicara jujur dan benar dengan menggunakan pendekatan rasionalitas dan pemikiran logis yang objektif.

Hidup tidak akan pernah lepas dari masalah. Masalahlah yang memberikan hidup kita makna yang nyata karena masalah dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi.

Siklus hidup terus berputar dan kita harus menyesuaikan diri dengan waktu dan perubahan yang terjadi. Kita harus berusaha mengubah nasib atau diubah olehnya, bergantung pada sejauh mana kita mampu berpikir dan bertindak menghadapi dinamika yang ada.

Apakah kita akan mengikuti arus atau melawannya? Pilihan kita harus selaras dengan kehendak akal sehat dan hati nurani serta memberikan dampak positif yang diinginkan.

Hal yang sama berlaku ketika kita melihat dinamika bangsa dan negara Indonesia. Ketika dihadapkan dengan masalah kehidupan bangsa, kita harus segera mengambil peran strategis dan berpartisipasi dalam memperbaiki negara.

Kita menyaksikan banyak perubahan sepanjang sejarah, mulai dari saat umat Islam menjadi pusat peradaban selama berabad-abad hingga era Barat yang mendominasi sains dan teknologi.

Baca Juga:  Tabir Terorisme, Muatan Politis atau Agama?

Sekarang kita telah memasuki era digital yang mengubah cara hidup manusia tanpa batas usia. Namun, peradaban ini dipertanyakan karena saat ini nilai-nilai ilahi dan kemanusiaan mulai runtuh.

Kesadaran moral umat manusia di berbagai belahan dunia semakin memudar. Media sosial penuh dengan konten yang merugikan dan negara-negara Barat sudah mengalami kemerosotan moral seperti melegalkan LGBT dan perilaku seks bebas pada usia muda.

Meskipun agama-agama melarangnya, agama mayoritas di negara-negara tersebut, seperti Kristen, terlihat diam dalam gereja mereka.

Media sosial juga sekarang hanya digunakan sebagai ajang jual beli dan pamer tubuh tanpa busana dengan harapan mendapatkan banyak pengikut (subscribe) dan suka (like). Ini sungguh memprihatinkan.

Apa yang terjadi di dunia ini? Indeks pendidikan terus meningkat hingga jenjang paling tinggi. Namun, ternyata tidak berbanding lurus dengan nilai moralitas kemanusiaan.

Ketika kita melihat informasi dan berita semacam itu, kita terprovokasi dan terkecoh. Para cendekiawan agama terdiam, entah karena kehabisan akal atau merasa tidak berdaya dalam menghadapi gelombang media sosial yang membanjiri kehidupan manusia.

Ada pula paham Islam yang menyebar dengan mengajarkan pemahaman sesat yang sangat berbahaya. Lagi-lagi seakan-akan ulama dan tokoh muslim terlihat tidak berdaya melihat kecongkakan dan kesombongan yang katanya pimpinan Al-Zaytun.

Intelektual muslim pun tampak acuh tak acuh terhadap hal tersebut, sedangkan kiai tersebut bebas berdialog di berbagai media dengan usaha terus melegitimasi keyakinan sesatnya.

Baca Juga:  Fikih Zakat Berwawasan Rahmatan Lil Alamin

Banyak yang beranggapan bahwa peristiwa ini sengaja diciptakan untuk mengalihkan perhatian dari masalah yang lebih mendesak dalam politik nasional. Masalah tersebut jika tidak segera ditangani akan menghancurkan generasi dan tatanan bangsa.

Umat muslim kita sangat banyak dan ribuan tokoh muslim intelek tersebar di seluruh Nusantara.

Namun, di mana mereka berada? Apakah mereka sibuk dengan santri dan mahasiswa? Apakah mereka ditekan oleh tugas administrasi sekolah, kampus, dan kantor? Atau mereka sibuk bersama keluarga menikmati waktu bersama sambil menghabiskan uang di tempat wisata?

Suara kebenaran dan keadilan sangat dinantikan. Ruang-ruang pencerahan banyak yang kosong tidak terisi. Umat saat ini berada dalam kekosongan dan kehampaan.

Kita melihat dengan iba, berharap adanya penggerak, pencerah, pembaru, dan pemberdaya yang hadir dengan gagasan dan ide kreatif yang solutif.

Kedermawanan dan kekurangan harta dan ilmu dalam masyarakat menjadi penyebab ruang dan waktu yang kosong dan gelap, tanpa cahaya kesejahteraan, kebahagiaan, dan kemakmuran.

Para cendekiawan seolah-olah terperangkap dalam jabatan dan kursi mereka sehingga lupa akan kesadaran dan tanggung jawab mereka sebagai khalifah di bumi.

Kita sering kali terprovokasi dan tertipu oleh manipulasi sekelompok orang. Ketidakadilan sosial tidak hanya disebabkan oleh penguasa bangsa dan negara.

Namun, oleh entitas-entitas kecil di luar kekuasaan yang dengan sikap dan tindakan mereka secara langsung atau tidak langsung merugikan banyak pihak.

Akar masalahnya terletak pada kesadaran dan tanggung jawab masyarakat yang masih lemah. Respons terhadap berbagai masalah selama ini dianggap hanya sebagai dinamika biasa.

Baca Juga:  Musibah Gempa Cianjur dan Upaya Memperbaiki Diri

Ada paham ideologi yang menyebabkan orang dalam suatu komunitas tidak saling mengganggu atau mengkritik saat seseorang berkuasa. Pada pandangan sekilas, hal ini mungkin terlihat benar. Namun, sebenarnya tindakan tersebut akan menyebabkan malapetaka.

Kita sering kali terperangkap dalam drama-drama sandiwara. Kita juga sering mempertahankan hal-hal yang sepele demi kepentingan materi yang cepat habis.

Ada pernyataan menarik dari pelopor pemikiran akal sehat yang menyatakan bahwa seseorang akan berpikir saat pikirannya diganggu. Ini berarti jika tidak diganggu, pikiran seseorang akan berhenti, dan tindakan dan sikapnya tidak bermutu.

Jadi, jika kita mengharapkan produk pikiran yang berkualitas, kita harus siap menerima kritik. Sayangnya, saat ini para penguasa, pejabat, dan birokrat cenderung tidak ingin dikritik atau menentang kritik.

Oleh karena itu, dinamika sosial positif tidak muncul dan yang ada hanyalah tuduhan dan fitnah.

Al-Zaytun telah ada sejak lama. Banyak pihak yang mengetahui apa yang terjadi. Namun, mengapa baru sekarang hal ini menjadi ramai dan viral? Atau mungkin ini hanya sebuah sandiwara, seperti yang dikatakan oleh Buya Anwar Abbas?

Jika Al-Zaytun melanggar dan menista ajaran Islam berdasarkan penelitian dari MUI dan Kementerian Agama serta organisasi-organisasi lainnya, penegak hukum harus segera bertindak.

Kecuali jika kita semua terjebak dalam permainan ini dan menikmati sebagai sebuah komoditas di panggung. Wallahu’alam.***

PMB UM Bandung