UMBandung
Opini

Inilah 3 Cara untuk Menjadi Haji Mabrur, Simak Penjelasannya!

×

Inilah 3 Cara untuk Menjadi Haji Mabrur, Simak Penjelasannya!

Sebarkan artikel ini
3 cara menjadi haji mabrur (foto: Dikdik Dahlan Lukman, Pembimbing Haji & Umroh Qiblat Tour dan Dosen UM Bandung).

Oleh: Dikdik Dahlan Lukman, Pembimbing Haji & Umroh Qiblat Tour dan Dosen UM Bandung

BANDUNGMU.COM — Musim haji tahun 1443 H sudah berakhir dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Selepas itu umat Islam berburu kesempatan menunaikan ibadah umroh.

Alhamdulillah tulisan ini pun tersaji ketika penulis sedang di tanah suci mengawali tugas di awal musim umroh 1444 H.

Tiga kali penulis mendapatkan kesempatan membimbing umroh di awal musim, tepat di pergantian setelah  tuntas penyelenggaraan haji seperti sekarang ini.

Pada kali ketiga ini ternyata suasananya lain. Di dua kesempatan yang lalu, jamaah masih lengang.

Bahkan di salah satunya pernah jamaah yang penulis bawa antri dengan tenang  tanpa berebut mencium hajar aswad.

Suasana kali ini sudah seperti pertengahan musim, padat sekali.  Mungkin efek pembatasan sebelumnya karena wabah  covid-19.

Perbedaan haji dan umroh

Secara bahasa, haji maupun umroh memang memiliki arti yang sama, yaitu berkunjung ke baitullah.

Baca Juga:  Anak Usia Dua Bulan Belum Memenuhi Syarat Haji, Ini Alasan dan Penjelasannya

Sehingga panjangnya antrian berhaji di beberapa negara termasuk Indonesia, menjadikan umroh sebagai alternatif  melepas rindu.

Pun menunaikan hasrat untuk mengunjungi baitullah, kiblat sholat umat Islam seluruh penjuru dunia.

Perbedaan umroh dan haji hanya terletak pada rukun dan kewajiban yang menyertainya.

Selebihnya, Rasulullah Saw menyatakan bahwa  ibadah umroh dapat menghapus dosa para pelakunya.

Sedangkan bagi haji yang mabrur  tidak ada balasan yang pantas baginya, kecuali kenikmatan surga (HR Bukhari dan Muslim).

Pengertian mabrur dan kata lain yang semakna

Rasulullah Saw menyebut ‘mabrur’ bagi orang yang berhaji,  karena memang demikianlah sabda beliau.

Mabrur  terambil dari kata al birr yang berarti baik atau kebaikan. Sedangkan al abror adalah sebutan bagi orang yang berada di puncak kebaikan.

Lihatlah penggalan doa ulil albab dalam surat Ali imron ayat 193 “ …. dan wafatkanlah beserta al Abror ” yaitu orang orang yang sedang ada dalam puncak kebaikan.

Baca Juga:  Memahami Kritik Sebagai Pengingat Diri

Banyak kata dalam bahasa Arab (Al Quran) yang artinya ‘kebaikan’ selain kata al birr.

Al Husnu berarti baik, al ma’ruf juga baik, demikian juga dengan kata thayyib, al khoir, dan as sholih, semuanya dalam bahasa  Indonesia berarti baik.

Hanya saja secara khusus, Allah Swt memberikan penjelasan langsung terkait dengan makna sesungguhnya dari kata al birr.

Penjelasan tersebut terdapat pada surat al Baqarah ayat 177:

Allah berfirman : “Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan sholat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.

Baca Juga:  Autisme Disiplin Ilmu dan Tradisi Ilmuwan Kampus Indonesia

Dimensi kemabruran

Berpijak dari  ayat ini, menurut Sayyid Qutub sedikitnya  ada  tiga dimensi agar seseorang meraih al birr.

Pertama, dimensi aqidah. Seseorang tersebut benar-benar beriman kepada Allah, para rasul, dan nabi atau dari man aamana billahi sampai wan nabiyyin.

Kedua, semakin kuat kepeduliaan sosialnya. Ia rela mengorbankan harta dan bendanya di jalan Allah atau wa aatal maala sampai wa fir riqob.

Sedangkan yang ketiga, membiasakan berbuat kebaikan, seperti bersabar, menepati janji, dan menunaikan amanah dengan sebaik-baiknya.

Dengan kata lain, bila setiap ibadah itu ingin makbul, termasuk di dalamnya ibadah haji dan umroh, maka ia harus menunjukkan ketiga dimensi tersebut. ***

*Opini pernah terbit di koran Pikiran Rakyat

PMB UM Bandung