Sosbud

Jembatan Rajamandala yang Melegenda

Dok. Pikiran-rakyat.com/Bambang Arifianto

BANDUNGMU.COM – Terbentang di atas Sungai Citarum dan menjadi penghubung Bandung dan Cianjur, Jembatan Rajamandala pernah menjadi jembatan tol paling awal yang dibangun di negeri ini.

Dengan panjang sekira 1-2 kilometer, jalan bebas hambatan tersebut menjadi urat nadi ekonomi dan kegiatan sosial masyarakat di barat Priangan. Kehadirannya terkait pula dengan ruas jalan lama Citarum yang merupakan bagian dari De Grote Posweg.

“Di beh kulonen pengkolan nu ka Saguling, aya sasak nu jadi penineungan kuring, sasak panjang nu nepungkeun Bandung Cianjur, liliwatan balarea mentas walungan Citarum.”

Penggalan lirik lagu Sasak Rajamandala yang dinyanyikan Asep Darso tersebut menjadi petunjuk keberadaan jembatan yang berada di perbatasan Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur. Titian panjang itu punya sejarah sebagai salah satu jalan bebas hambatan yang hadir perdana di Tanah Air.

Presiden Soeharto meresmikan Jembatan Tol Rajamandala pada 1979. Penetapan statusnya sebagai tol tercantum dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1979.

Jika merunut tahun peresmian, kehadiran jembatan dengan bentang 222 meter tersebut hanya terpaut setahun dengan pengoperasian jalan tol pertama di Indonesa, yakni Jalan Tol Jakata, Bogor, Ciawi (Jagorawi) pada 1978.

Djoko Prihartono, 60 tahun, warga Desa Mandalawangi, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, masih bisa mengingat lalu lalang kendaraan yang melintasi jembatan tol tersebut.

Sebagaimana tol pada umumnya, pengendara yang akan memasuki jembatan dari arah Bandung dan Cianjur dihadang pos-pos pembayaran tiket tol.

“Dulu mobil tarifnya Rp 500 (sedan), untuk truk/bus sekitar Rp 1000, motor paling sekitar Rp 500,” kata Djoko di kediamannya, dikutip dari Pikiran-rakyat.com edisi Minggu 13 Desember 2020.

Namun, ia tidak menjelaskan tahun berapa besaran tarif itu diberlakukan. Apabila merujuk pada Kepres Nomor 34/1979 kala diterbitkan, besaran tarit tol jembatan tersebut, yaitu kendaraan bermotor roda 2 dan 3 Rp 50, roda empat atau lebih Rp100.

Yang jelas, kehadiran jembatan tol sangat memangkas jarak bagi para pengendara yang sebelumnya harus menempuh jarak dua kali lipat saat melintasi jalan lama Citarum.

Jalan lama tersebut merupakan bagian jalur De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos yang terbentang dari Anyer-Panarukan. Jalan yang dibangun Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels di perbatasan Bandung-Cianjur itu menuruni tebing-tebing Citarum dengan jalur yang berkelok dan curam di wilayah Cihea dan Rajamandala.

Kini, memang masih ada peninggalan jembatan lawas yang melintang di atas Citarum serta menghubungkan sepotong jalan pos itu. Namun di masa lalu, perjalanan menuruni dan mendaki jalur lama itu sungguh mendebarkan jantung.

Selain medan jalan yang curam, belum ada jembatan penghubung yang bisa dilintasi waktu itu. Catatan Charles Walter Kinloch, pelancong Inggris yang melintasi jalur tersebut pada 1852 bisa menjadi gambaran‎ betapa berbahayanya sepenggal jalur pos lama itu.

“Kemiringan jalan di sini sangat besar sehingga penting untuk memasang sebuah tali penyeret atau tali kulit, pada bagian belakang kereta, yang padanya sebuah tarikan kuat dipertahankan oleh sekitar dua puluh atau tiga puluh kuli, untuk mencegah kereta menurun terlalu cepat saat menuruni bukit” tulis Charles dalam catatan yang kemudian dibukukan dengan judul ”Rambles in Java: Pengembaraan Di Tanah Jawa”.

Charles melewati jalur tersebut menggunakan kereta kuda dalam perjalanan dari Batavia menuju Bandung. Tiba di tepi Citarum, keretanya diseberangkan oleh perahu. Dari sana, perjalanan mendaki sudah menanti dengan bantuan tenaga kerbau.

“Empat kerbau kuat dipasang pada kereta kami, yang dalam waktu beberapa menit dengan aman mengangkut kami ke puncak tepi seberang,” ucapnya.

Pengalaman tersebut begitu berbekas dalam diri Charles. “Kami menganggap bahwa pendakian dari Citarum merupakan satu-satunya bagian jalan yang paling berbahaya antara Batavia dan Bandung,” tuturnya.

Ia mengistilahkan perjalanan melintasi lembah Citarum dengan menggantungkan hidup dan keselamatan kepada kekuatan seutas tali kulit kerbau liar. Catatan pria kelahiran London tersebut menjadi petunjuk mengenai belum adanya jembatan penghubung jalan pos di atas Citarum hingga1852.

Catatan lain bisa ditemukan dalam jepretan foto Woodbury &‎ Page bertarikh 1880. ‎Fotografer tersebut sempat memotret suasana perlintasan Citarum di perbatasan Bandung dan Cianjur.

Tidak ada jembatan dalam foto itu. Penyeberangan menggunakan veerpont atau dua perahu yang disatukan dan diberikan landasan sebagai tempat berdiri kereta kuda dan para penyeberang.

Masa-masa penuh perjuangan melintasi lembah Citarum sudah lama berlalu selepas Jembatan Tol Rajamandala berdiri.

Saat ini, jembatan tersebut sudah tidak berstatus sebagai jalan tol lagi setelah dicabut Presiden Megawati Soekarnoputri dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2003. Jembatan tersebut pun bisa dilintasi dengan gratis selepas menyandang status jembatan umum tanpa tol.

Kini‎, melewati Citarum di perbatasan Bandung-Cianjur bisa dinikmati para pelintas tanpa perlu lagi berdebar jantung.***(Bambang Arifianto/Pikiran-rakyat.com).

Exit mobile version