Oleh: Ace Somantri, Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNGMU.COM — Optimisme Pak Ayat Dimyati sempat menurun ketika tim perumus dokumen naskah akademik pendirian universitas pindah dari Mujahidin ke STAI Muhammadiyah Bandung tanpa diketahui olehnya.
Ketika datang ke STAI Muhammadiyah, beliau sempat berujar, “Ce, pendirian institut lanjut lagi.” Kemudian dijawab, “Kenapa gitu Pak Haji?” Beliau menjawab, “Itu panitia universitas sudah tidak ada aktivitas lagi di Mujahidin.”
Tanpa basa basi, saat itu juga Pak Ayat Dimyati dibawa ke lantai 3 ruang paling pojok untuk diperlihatkan bahwa tim perumus telah dipindahkan ke kampus STAI Muhammadiyah Bandung.
Akhirnya beliau berucap, “Alhamdulillah, mudah-mudahan dilancarkan, insyaallah Universitas Muhammadiyah teh jadi,” dengan terlihat wajah bahagia dan sumringah.
Sejak itu pula setelah mengetahui tim pembuat dokumen universitas tetap berjalan, beliau rutin bertanya perkembangan pendirian Universitas Muhammadiyah Bandung.
Optimisme selalu terucap di berbagi acara di sampaikan beliau kala memberikan sambutan dan melontarkan ungkapan akan berdirinya Universitas Muhammadiyah Bandung.
Saking optimisnya dia bersedia jam berapa pun siap diminta atau dijemput apabila dibutuhkan untuk mendampingi dan mewakili tim panitia ke mana pun diperlukan.
Walaupun ketika finishing perizinan Universitas Muhammadiyah Bandung hanya menghitung hari, beliau yang terkenal peka dan peduli akan kaderisasi kepemimpinan Muhammadiyah, sekalipun banyak yang meminta dirinya bersedia kembali, tetap pada pendiriannya, akhirnya mempensiunkan diri dari kepemimpinan Muhammadiyah Jawa Barat.
Kemudian selanjutnya digantikan oleh Pak Haji Zulkarnaen untuk mewakili berbagai hal kegiatan izin Universitas Muhammadiyah Bandung.
Sedih dan kecewa berkecamuk ketika membaca pesan whatsapp bahwa guru dan orangtuaku bermuhamamdiyah telah meninggal. Tidak tertahan tetesan air mataku berlinang karena penyesalan diri belum sempat bertemu beliau sejak covid-19 mendera.
Hanya sesekali bertanya pada anaknya tentang kabar beliau. Bahkan istriku menyalahkan karena tidak pernah jadi terus menengok beliau sejak tidak aktif lagi di BTM Mujahidin.
Senyum dan tawa kala bertemu tidak pernah terlewat. Kebiasaan naik angkutan umum dan jalan kaki kala pulang ke rumah selalu terlihat jelas dengan khas jaket dan tasnya.
Mengenang teori tentang Al-Hawas, Al-Qalbu, dan Al-Lubby dalam berbagi pengajian terbatas di lingkungan persyarikatan. Terngiang di telinga istilah irfani, bayani, dan burhani yang selalu diulang dalam kajian tematik di komisariat IMM.
Terbayang kembali kala itu kesederhanaan sosok dosen yang pernah menjabat Wakil Dekan Fakultas Syariah IAIN SGD Bandung, Ketua PD Muhammadiyah Kota Bandung, dan juga tokoh cendekiawan berwibawa dan segani, tetap santai sambil bergelantung di bus damri Kebon Kalapa – Cibiru.
Pak Ayat Dimyati berdesakan denga para pekerja dan mahasiswa. Bahkan sesekali ketika ada mahasiswanya dibayarin untuk tiket busnya.
Kemuliaan akhlak, peka, dan peduli pada sesama tidak terpisahkan menjadi bagian hidupnya. Konon kabaranya supir-supir khusus PWM Jawa Barat selalu bahagia kala mengantar Pak Ayat Dimyati kunjungan ke daerah atau mengisi ceramah karena setiap amplop yang didapat siapa pun supirnya selalu dapat bagian.
Begitulah sedikit yang diketahui tentang sikap dan perilaku guru dan orang tua Muhaammadiyahku. Semoga kenangan kebaikanmu akan menjadi tiket surga yang menantimu. Maaf seribu maaf karena belum bisa memabalas kebaikanmu. The end. Wallahu alam.***
