Oleh: Ibn Ghifarie*
PETUAH umum bagi orang Sunda, di antaranya, sagala gé ulah maké teuing (apa pun jangan keterlaluan). Diyakini bahwa berlebihan, tidak baik, termasuk dalam hal-hal yang positif sekalipun. Ya, seperti tatkala dikatakan terlalu pintar (kaya) dan sebagainya, tersirat pula ada sisi (sisi-sisi) yang tidak baik.
Sebaliknya, siniger tengah (sifat pertengahan) dimaknai positif (diasosiasikan sebagai hal-hal positif) karena perilaku, sifat itu berada “di jalur tengah” berada dalam keseimbangan.
Tampaknya sifat, pandangan, perilaku, dan angan-angan Dadang Kahmad tentang terwujudnya masyarakat yang berkesinambungan. Paling tidak saat kita membaca buku berjudul Memilih Langkah Jalan Tengah yang ditulis Ensa Wiarna & Rudi Hartono dengan Editor Iu Rusliana (Penerbit: Suara Muhammadiyah, 2025).
Bila Kang Dadang, sapaan akrabnya, memiliki kecenderungan memilih jalur tengah sebagai jalan yang ditempuh dalam perjuangannya. Pasalnya memang berlatar belakang budaya Sunda dan beragama Islam yang hidup di lingkungannya seperti itu.
Dua keadaan yang bersesuaian dengan sebutan bahwa Sunda itu islami, bukan pandangan baru di masyarakat Islam Sunda. Salah satu yang tercermin dalam peribahasa siger tengah yang memberi landasan bahwa perilaku orang Sunda banyak sekali yang sesuai dengan Islam dan sebaliknya.
Tatkala setiap pribadi memaknai teuing (keterlaluan) sebagai sesuatu yang tidak baik, maka bukan mustahil akan terwujud masyarakat yang siniger tengah yang dalam terminologi Islam ummatan wasathan, sebagaimana konsep masyarakat ideal, yaitu masyarakat yang berkeseimbangan.
Keberadaan pribadi yang berada di jalur tengah, diyakini mampu memadukan aspek rohani dan jasmani, spiritual dan material yang kemudian tercermin dalam aktivitas kehidupannya.
Wasathiah yang sering disepadankan dengan istilah moderasi (posisi tengah) membuka diri untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka untuk bersinggungan berbagai agama, budaya, dan peradaban tanpa “ketersinggungan”. Dengan bermodalkan titik pandang seperti itulah, Dadang memerankan pribadinya dalam konteks sosial secara utuh.
Ia tak segan mengoreksi pandangan pihak lain yang dianggap keliru dan mendukung pihak yang semestinya harus didukung karena dianggap benar. Misalnya, ketika Kampung Calingcing, Garut, Jawa Barat (tempat kelahirannya), mempercayai mitos bahwa warganya tidak boleh menunaikan ibadah haji, maka sangat mendukung ketika ayahnya (Haji Abdullah) berniat menunaikan rukun Islam kelima.
Walhasil, setelah ayahnya bisa kembali ke tanah air dari Arab Saudi dengan selamat, maka patahlah mitos tersebut dan mulailah warga Calingcing lainnya berani menunaikan ibadah haji.
Dalam bergaul, Dadang mampu menembus sekat-sekat strata sosial masyarakat. Demikian pula dengan lintas agama. Oleh karena itu ia mampu menyelami beragam kondisi masyarakat yang mendorongnya pula menyadari pentingnya menempatkan posisi tatkala harus berada di berbagai tempat dan situasi.
Pergaulannya tanpa sekat, ia cerminkan pula dengan kehadirannya di berbagai tempat. Kata-kata dan tulisannya, selalu berfokus pada tujuan sebagai penebar nilai-nilai positif dengan cara yang santun. Baginya berbeda pandangan tak semestinya diungkapkan dengan kata-kata yang menohok, tulisan yang tajam nan pedas (h.xv-xvii).
Teladan Inspirasi
Dadang adalah sosok inspiratif yang telah memberikan kontribusi besar dalam bidang sosial, pendidikan, dan keagamaan, baik di lingkungan nasional maupun internasional. Melalui buku ini, pembaca diajak menyelami perjalanan hidupnya, mulai dari masa kecil yang sederhana di Garut, Jaw Barat, hingga menjadi salah satu pemimpin Muhammadiyah yang dihormati.
Tidak hanya itu, buku ini juga merekam pemikirannya yang selalu mendorong moderasi dan keseimbangan, nilai-nilai yang menjadi pondasi penting bagi kemajuan bangsa yang majemuk.
Kisah hidup tertuang dalam buku ini menggambarkan betapa keteguhan prinsip dan kerja keras dapat menjadi kunci kesuksesan dan keberhasilan. Dadang tumbuh dalam lingkungan yang penuh tantangan, tetapi hal tersebut tidak menghalanginya untuk meraih impian. Dengan kecerdasan, ketekunan, dan keimanan yang kuat berhasil mencetak sejarah sebagai seorang pemimpin yang disegani dan dihormati.
Buku yang terdiri atas sembilan bagian ini menyoroti nilai-nilai kepemimpinannya yang memadukan kearifan lokal dengan wawasan global, menciptakan harmoni yang menjadi teladan bagi generasi penerus.
Sebagai seorang sosiolog, Dadang memiliki cara pandang yang unik dalam memakai Islam. Pemikirannya menekankan pentingnya mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan realitas sosial. Dalam pandangannya, Islam tidak hanya menjadi agama yang indah secara normatif, tetapi menjadi solusi bagi permasalahan kehidupan modern.
Moderasi, toleransi, dan inklusivitas menjadi benang merah yang selalu Dadang tekankan dalam berbagai kesempatan, baik melalui tulisan, ceramah, maupun kebijakan yang digagas. Hal ini menjadikannya sebagai salah satu figur yang mampu menjembatani berbagai perbedaan dalam masyarakat.
Tentunya mahakarya ini hadir tidak hanya sebagai dokumentasi perjalanan hidupnya, tetapi sebagai sumber inspirasi dan pelajaran berharga. Setiap bagiannya menyajikan kisah dan pemikiran yang menggugah, dari perjuangan masa kecil, tantangan dalam kepemimpinan, hingga pemikiran-pemikirannya yang relevan dengan dinamika zaman.
Dalam buku yang terdiri atas 285+xx halaman ini dapat ditemukan bagaimana nilai-nilai Islam yang berkemajuan dapat diterapkan secara nyata untuk menciptakan masyarakat yang adil, sejahtera, dan damai (h.iii-v).
Khazanah Kearifan
Dalam buku Struktur Filosofis Artefak Sunda (2019), Jakob Sumardjo menegaskan siger tengah merupakan inti dari kearifan lokal Sunda. Pemikiran siger tengah bersifat moderat. Pemikiran moderat memperlakukan segala sifat (kualitas segala) sesuatu yang saling bertentangan sebagai keberadaan yang saling mengeksistensi, saling melengkapi, dan saling menyempurnakan.
Kesempurnaan adalah mengharmonikan segala sesuatu yang bersifat kontradiktif dalam suatu entitas (keberadaan) baru yang mengandung sifat-sifat yang saling bertentangan itu yang dengan sendirinya bersifat paradoks. Paradoks di sini harus diartikan positif, yakni saling melengkapi kekurangan masing-masing oleh kelebihan masing-masing.
Siger tengah adalah jalan perdamaian, harmoni, terbuka, toleran, saling membenarkan, menyadari kodrat perbedaan, hidup saling mengasihi (silih asih), saling mengingatkan (silih asah), dan saling melindungi, memelihara perbedaan masing-masing (silih asuh).
Bagi Rudi Sirojudin Abas, peneliti Nahdliyyin asal Garut, menyampaikan soal keterkaitan Pancasila dan Agama, yang mesti diketahui adalah perjalanan historis bangsa Indonesia sehingga kini menjadi bangsa yang berdaulat dengan keberagaman etnis, bahasa, budaya, ataupun agama.
Sebelum berdaulat, kerberagaman etnis, bahasa, budaya, dan agama lokal (primordial) menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Sementara itu, agama Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan agama besar lainnya baru datang kemudian.
Ingat, bangsa Indonesia mempunyai agama lokal masing-masing seperti animisme dan dinamisme (bisa dikategorikan al shabi’in). Di sinilah karakter siger tengah masyarakat Indonesia muncul yang mengakibatkan agama baru (Islam, Hindu, Buddha, Kristen, dan Kong Hu Cu) diterima dengan baik sesuai dengan pilihan masing-masing, meskipun agama lokal (Sunda Wiwitan, Kejawen, Aliran Kebatinan) dan kepercayaan yang lainnya masih berkembang.
Sementara itu, Pancasila telah menjadi sebuah kesepakatan (konsensus) sebagai pijakan dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Pancasila dapat diterima dengan baik oleh para pendiri bangsa disaat mereka merumuskan ideologi negara pada 1945.
Meskipun saat itu masih ada teks normatif agama tertentu (Islam) dalam sila pertama yang berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya yang kemudian diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi momen penting dalam usaha menjalin rasa persatuan satu bangsa dan negara tanpa mempertentangkan Pancasila dan Agama.
Pancasila sebagai produk ideologi bangsa Indonesia sebagai wadah untuk mengikat keberagaman perbedaan menjadi satu kesatuan perlu dijaga dan dipelihara. Nilai-nilai esensial agama pun sejatinya telah terkandung dalam keseluruhan butir-butir Pancasila.
Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Pancasila merupakan jalan (siger) tengah yang dijadikan asas bernegara dalam mengakomodir setiap perbedaan-perbedaan dengan tujuan utamanya untuk menciptakan keselarasan (harmoni) hidup berbangsa, bernegara, dan beragama.
Dalam praktik sosial keberagamaan, pada masyarakat Sunda (umumnya pada masyarakat Indonesia primordial) telah memiliki hukum adat tersendiri. Masyarakat Sunda mengenal tiga kesatuan hukum, yakni kesatuan buhun (adat Sunda), nagara (pemerintahan nasional), dan sarak, syariat (Islam).
Tiga kesatuan Sunda-Nagara-Islam asal muasalnya dua entitas, yakni Sunda (lama) dan Islam (baru). Keduanya dapat harmoni dalam satu kesatuan, yaitu melalui mediasi Nagara. Bila nagara (negara), pemerintahan di sini (siger tengah), maka peran pemerintah akan menjadi sangat sentral keberadaannya sebagai penyeimbang (penengah) dua entitas yang berbeda (adat dan agama).
Dengan demikian, untuk konteks keindonesiaan, negara sendiri itu adalah Pancasila sehingga Pancasila sendiri adalah sebagai siger tengah (NU Jabar Online, Ahad, 19/12/2021).
Pemimpin Hebat
Salah satu kekuatan utama buku pemikiran Dadang yang jauh ke depan dan relevan dengan zaman. Dalam berbagai kesempatan, tokoh kharismatik ini selalu menekankan urgennya garis moderasi sebagai jalan tengah yang tepat untuk menjadi persatuan di tengah keberagaman bangsa.
Kisah hidup, pengalaman, dan gagasannya mengenai pendidikan, sosial, toleransi, terutama keagamaan yang dituangkan dalam buku ini memberikan wawasan mendalam soal bagaimana seorang pemimpin dapat menjadi pelita bagi umat baik di Muhammadiyah, di UIN Bandung tempatnya mengabdi maupun masyarakat umum.
Kisah keteguhan hidup yang disajikan dengan bahasa yang lugas, sederhana, dan penuh makna dapat memberikan inspirasi pembaca untuk terus bergerak menuju perbaikan dan perubahan yang lebih baik (h.xii-xiii).
Dalam kata pengantarnya, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menyebutkan Dadang Kahmad, batin Sunda menjaga keseimbangan dan mendorong kemajuan.
Sesuai maqam keilmuan dan latar akademiknya sebagai sosiolog, Islam diterjemahkan secara sosiologis sehingga lebih kaya, lentur, dan membumi tanpa kehilangan subtansi ajarannya.
Muhammadiyah dengan pandangan tajdid dan Islam yang berkemajuan, memang memiliki perspektif yang mendalam dan luas bagaimana mewujudkan Islam sebagai agama untuk peradaban, bukan sekedar ajaran yang indah dari segi normatif, tapi tidak menjadi rahmatan lil alamin bagi peradaban manusia.
Dalam konteks kehidupan kekinian yang serba kompleks dan banyak masalah baru yang aktual memang pemikiran Islam harus bersifat multi perspektif. Tafsir, fikih, kalam, falsafah, tasawuf, dan ilmu-ilmu keislaman klasik. Selain dituntut masuk pada paradigma baru juga mau tidak mau harus berinteraksi dengan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu eksakta yang diajarkan oleh peradaban modern.
Tanpa perlu cemas dengan paradigma sekuler liberal Barat, perspektif pemikiran Islam yang lintas batas termasuk sosiologi di mana Dadang menggelutinya menjadi suatu keniscayaan.
Pemimpin ideal hanya ada dalam wacana dan citra, yang oleh Max Weber sering disebut “the ideal type.” Apa yang disebut pemimpin kharismatik, sesungguhnya hasil kontruksi masyarakat yang mengidealisasikan pemimpin seolah sempurna dan tanpa cacat.
Padahal, kenyataannya pemimpin hebat itu justru membumi, bukannya melangit. Hanya umat (rakyat) sering mengidealisasikan secara berlebihan sehingga yang dicari dan dipilih adalah pemimpin ideal dan bukan pemimpin yang real.
Oleh karena itu, banyak pemimpin yang semula diidolakan, tetapi gagal mewujudkan harapan umat (rakyat), sebab yang dipilih justru pemimpin panggung (pemimpin citra), bukan pemimpin yang nyata dengan segala plus minusnya (h.vii-x).
Nilai karuhun Sunda yang telah disosialisasikan pada masa lalu dan menjadi pegangan untuk bertahan hidup perlu dikaji kembali diinformasikan dan disosialisasikan ke khalayak luas.
Falsafah siger tengah, silih asih, silih asih, jeung silih asih, serta budaya masyarakat yang ramah dan santun: hormat ka saluhureun, nyaah ka sahandapeun, soméh ka sémah, resep nulung ka nu butuh, nalang ka nu susah, ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salebak, kudu akur ka batur salembur, sareundueuk saigel, sabobot sapihanean, sanata sarimbagan, jeung caina herang laukna beunang, tidak boleh berhenti hanya sebatas slogan semata.
Namun, perlu direvitalisasi sehingga semangatnya tetap menjadi kerangka acuan dalam kehidupan di era multikultural dan multireligius sekarang ini.
Dengan menggali dinamika kearifan masa lalu orang Sunda dari berbagai perspektif diharapkan model manusia Sunda yang ideal di masa lalu, untuk masa kini, dan akan datang dapat mewujudkan Jawa Barat tanpa kekerasan (h.236-237).
Realitas yang dihadapi masyarakat harus bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Maka gerakan dakwah Islam harus berpijak pada moderasi, toleransi, dan inklusivitas. Konsep “Siger Tengah” digunakan untuk menghindari konflik dan menjembatani perbedaan.
“Buku ini merupakan pengembangan dari buku sebelumnya yang ditulis dalam bahasa Sunda berjudul ‘Milih Polah Siger Tengah’. Sebagai warisan ilmu kepada anak cucu juga menambah khazanah dakwah,” tegas Dadang.
Jejak biografi dan pemikiran ini tidak hanya dokumen perjalanan hidup. Gambaran realitas sosial di masa kecil, kiprahnya di Muhammadiyah menjadi salah satu rujukan tentang siklus hidup yang berulang-ulang. Pasalnya apa yang diperjuangkan oleh Muhammadiyah dari awal berdiri hingga kini, dengan mendekatkan akses pendidikan dan kesehatan kepada masyarakat.
“Ayah saya, Haji Abdullah, seseorang yang mengerti bahwa pendidikan adalah jalan keluar dari keterbelakangan sosial dan ekonomi. Maka dengan segala keterbatasan, keluarga harus menempuh pendidikan terbaik,” kenangan Guru Besar UIN Bandung (Suara Muhammadiyah, 16 Februari 2025).
Masuknya akses pendidikan ke daerah-daerah tak sebatas mengajari murid, tetapi diharapkan mendidik masyarakat. Bila tanpa pola yang mumpuni, termasuk siger tengah ala Dadang tentu dapat meminimalisir segala benturan yang justru akan menimbulkan perpecahan, konflik horizontal berkepanjangan.
Walhasil, mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan realitas sosial, khazanah kearifan lokal untuk masyarakat Sunda (siger tengah) menjadi penting.
*Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung