BANDUNGMU.COM, Sleman — Di samping dikenal sebagai gerakan modern, Muhammadiyah juga dikenal sebagai gerakan tajdid. Menurut Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, tajdid memiliki dua pengertian, yaitu purifikasi dalam persoalan ibadah – akidah dan dinamisasi dalam persoalan kehidupan duniawi.
Dengan dua pengertian ini, kata Haedar Nashir, selain mengenalkan paham Islam yang tengahan dan proporsional, Muhammadiyah juga berhasil menanamkan etos berpikir maju. Etos berpikir maju Muhammadiyah ini diaktualisasikan secara nyata dalam lembaga pendidikan, termasuk pesantren.
Menurut Haedar, pesantren merupakan bagian dari tradisi besar yang dijalankan Muhammadiyah. Oleh karena itu, pesantren bukan hanya milik kalangan yang menyebut diri mereka tradisionalis, melainkan kelompok modernis. Muhammadiyah mengolah pesantren yang dalam racikannya tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tetapi ilmu umum secara nyata.
“Sebelum gerakan Muhammadiyah eksis di negeri ini, pesantren umumnya dimaknai sebagai tempat yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dan cenderung resisten dengan pendidikan modern,” tutur Haedar Nashir dalam peresmian Gedung Kelas Putra Terpadu Pondok Pesantren Modern Muhammadiyah Boarding School (PPM MBS) Yogyakarta, Sabtu 21 Januari 2023.
Integrasi ilmu agama dan ilmu umum dalam tubuh pesantren Muhammadiyah merupakan buah dari keberanian KH Ahmad Dahlan. Sebelum adanya reformasi pemikiran Islam yang dilakukan KH Ahmad Dahlan, pesantren hanya berkutat dengan kitab kuning. Melalui tangan KH Ahmad Dahlan, citra pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama perlahan-lahan mulai memudar. Perjuangan KH Ahmad Dahlan ini tidak mudah hingga dicap sebagai kiai kafir.
“Banyak pesantren yang alergi, bahkan dianggap tasyabbuh ketika JH Dahlan menggunakan metode modern Barat dalam mengembangkan institusi pendidikan. Lebih dari itu, KH Ahmad Dahlan dicap sebagai kiai kafir,” ucap Haedar Nashir.
Haedar Nashir kemudian menegaskan bahwa pengembangan pesantren harus memiliki fondasi yang sejalan dengan pemikiran Muhammadiyah. Pendidikan yang dijalankan Muhammadiyah memiliki satu ciri khas, yakni pendidikan yang holistik.
Artinya, pendidikan mesti melakukan integrasi agama dengan segala aspek kehidupan. Lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah secara ideal juga harus menguasai keilmuan baik di bidang agama ataupun umum.
“Biarpun kita mendirikan pesantren, jangan kembali ke fiil madi (masa lalu), tetapi harus ke era fiil mudhari (saat ini dan masa depan). Pesantren harus disesuaikan dengan kebutuhan dengan ruang dan waktu,” tandas Haedar Nashir.***
___
Sumber: muhammadiyah.or.id
Editor: FA