Oleh: Rafi Tajdidul Haq — Aktivis PC IMM Bandung Timur
BANDUNGMU.COM — Menurut Buya Syafii Maarif dalam bukunya “Mencari Autentisitas” ada tiga sebab mengapa Nabi Muhammad Saw mendapatkan persoalan yang berat ketika mendakwahkan ajaran Islam di kota Makkah.
Saking beratnya, Allah Swt akhirnya menurunkan surat al-Insirah untuk mengingatkan Nabi dengan sebuah pertanyaan “Bukankah kami telah melapangkan bagimu dadamu?”.
Persolan berat itu ialah: Pertama, Doktrin keesaan Allah (tauhid) berhadapan dengan lingkungan syirik Kota Makkah; kedua, Prinsip keadilan sosial-ekonomi-politik berhadapan dengan sistem kezaliman dan penindasan sosial-ekonomi-politik aristokrasi bani Quraisy; ketiga, doktrin eskatologis agar beriman pada hari akhir berhadapan dengan ketidakpercayaan pada hari akhir terutama elit-elitnya.
Kondisi masyarakat Arab pada saat itu bila disederhanakan yaitu masyarakat yang politeistik-paganistik, menyembah banyak dewa dan berhala-berhala. Kapitalistik-Aristokratik-Diskrimatif, yaitu sebagian besar sektor dikusai oleh sebagian kecil orang yang menumpuk-numpuk harta kekayaan sebagaimana disebutkan dalam surat at-Takatsur, sekaligus mengusai pemerintahan yang bersifat diskriminatif terhadap masyarakat lemah yang secara sosial-ekonomi-politik berada di bawah. Sehingga banyak perbudakan yang memperlakukan orang secara tidak manusiawi.
Kisah Nabi tersebut dan kisah-kisah di dalam al-Qur’an sangat aktual untuk manusia yang hidup di zaman modern ini. Abad modern yang penuh godaan mirip seperti yang dilakukan pada masa Arab jahiliyah.
Seperti merebaknya politeistik-paganistik, kembali mempercayai benda-benda yang memiliki nilai spiritual (misalnya fenomena spirit doll). Bahkan dewasa ini banyak yang berbelok arah menjadi ateistik (tidak bertuhan).
Selain itu, dalam segi kepemimpinan tidak sedikit yang berwatak Kapitalistik-Aristokratik-Diskriminatif. Meskipun tidak bisa digeneralisasi, namun ada saja sekelompok orang yang mirip dengan itu.
Terakhir, ada saja manusia-manusia yang tidak percaya pada hari penghisaban, hari dikumpulkannya manusia di padang mahsyar, hari ditimbang, yaitu hari akhir nanti. Sehingga, mereka tidak sedikitpun mengindahkan perkataan dan perbuatannya pada jalan yang baik. Hidup semaunya karena merasa tidak akan diadili.
Padahal meskipun zaman sudah modern, hari penghisaban itu bakal tetap ada.
Sosok Inspiratif
Kita akan dikenang sebagai sosok apa oleh generasi umat manusia berikutnya? Ini pertanyaan yang dari waktu ke waktu semakin menusuk dan sangat terasa oleh diri saya pribadi.
Adapun beberapa orang di antara umat manusia di bumi telah berhasil memajang lukisannya dalam dinding sejarah dengan citra dan memori yang baik di abad instagram ini, mungkin juga di abad berikutnya. Ilmuwan dunia: Al-Khawarizmi, Thomas A.Edison, Alexander Graham Bell, Isac Newton, Albert Einstein.
Tokoh Politik: George Washington, Abraham Lincoln, Muhammad Iqbal, Che Guevara, Ayatullah Khomeini, Mahatma Ghandhi, Bung Karno, Moch. Hatta. Para Filsuf: Socrates, Plato, Aristoteles, Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, Imanuel Kant, Karl Marx. Para Ulama: Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hambali, Ibnu Taimiyah, Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Abduh, KH.Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Buya Hamka, M. Natsir dll.
Mereka sama seperti kita yang hidup dalam tempo yang relatif singkat. Perbedaannya dengan yang lain ialah, bila yang lain berubah menjadi fosil dan tulang belulang, sedangkan mereka dan para aktor sejarah lainnya– yang tidak semua disebutkan di sini– dikenang sebagai orang-orang berjasa dan penting bagi kelangsungan manusia berikutnya.
Siapapun manusia yang hidup setelahnya akan merasa seolah-olah mereka itu masih hidup dan berdialog dalam buku-buku dan arsip-arsip sejarah. Karena sejarah tidak akan pernah melupakan peran besar dan penting yang telah ditorehkan masing-masing di antara mereka.
Di abad ini, di antara orang-orang yang menurut saya sedikit demi sedikit mengukir dirinya dalam dinding sejarah manusia modern di antaranya Marx Zuckerberg, Elon Musk, Bill Gates, Ronaldo, Messi, Usain Bolt, Dr. Zakir Naik dan mereka yang telah berhasil mewarnai sejarah dalam masing-masing bidangnya.
Bila melihat dan membandingkan diri kita dengan nama-nama di atas, tentu teramat sangat jauh dari kata sejajar. Terlalu mudah membedakan diri mereka dengan kita, seperti mudahnya membedakan warna hitam dan putih.
Namun, pada dasarnya pencapaian mereka juga tidak dalam hitungan detik. Kita mempunyai peluang yang sama dan hidup dalam bumi yang sama pula. Bukan tidak mungkin bila dibarengi dengan ketekunan dan kesabaran, pada saatnya nanti kita akan dikenang pula sebagai manusia bermanfaat dan berjasa minimal di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar.
Mereka menjadi besar bukan karena sulap/magic, namun kebesaran mereka ialah tentang seni dan ilmu serta seberapa jauh kesadaran, pengetahuan dan wawasannya.
Asal adanya usaha untuk menekuni dan menyelidiki lebih dalam di mana kemampuan dan kelebihan kita yang bermafaat bagi diri sendiri dan orang lain, bukan hal mustahil kita akan menjadi nama besar yang diingat orang.
Bila pun jasad kita telah tiada, kita tidak semata-mata berubah menjadi fosil dan tulang belulang saja. Alhasil, kita sudah semestinya belajar dari beberapa orang yang telah berhasil tersebut!
Kebutuhan Masyarakat Industrial
Yang dibutuhkan oleh suatu masyarakat ketika memasuki era industrial seperti sekarang ini ialah corak hidup yang sistematis dan rasional. Karena dua hal tersebut merupakan ciri masyarakat industrial. Begitulah kira-kira pendapat Kuntowijoyo dalam bukunya “Identitas Politik Umat Islam”.
Dalam hal ini, Kuntowijoyo menyarankan supaya umat lebih cerdik lagi dalam mengimplementasikan dimensi-dimensi ajaran Islam dalam konteks masyarakat industrial. Perealisasian nilai-nilai di dalam ajaran Islam harus diterjemahkan ke dalam sebuah sistem yang rapi.
Kalau kita perhatikan misalnya penerjemahan ajaran Islam dalam ciri yang sistematis yaitu dalam kasus zakat atau haji. Memang sudah banyak dewasa ini lembaga zakat dan haji yang beroperasi.
Mungkin bukan hanya sumbangan intelektualisme Kuntowijoyo saja yang saat itu berbicara tenatng sistemasi. Bisa jadi ada orang lain yang mengatakan hal serupa dalam proses perealisasian nilai-nilai ajaran Islam.
Namun penulis berpendapat bahwa memang benar dalam masyarakat industrial ajaran Islam harus senantiasa diaktualkan.
Seperti penerjemahan surat al-Maun: 1-3 yang berhasil diterjemahkan ke dalam sistem sosial menjadi sebuah panti sosial dan lembaga peduli yatim-piatu lainnya. Proses sistematisasi rupanya masih harus diperluas lagi.
Di dalam al-Qur’an seruan pada persaudaraan dan perdamaian jumlahnya tidak sedikit seperti dalam Qs. Al-Hujurat:10. Namun, upaya menyebarkan dakwah perdamaian masih mengandalkan tausyiah model lama oleh para penceramah.
Masih sedikit orang Islam yang berupaya mengaktualkan seruan perdamaian tersebut ke dalam sebuah sistem yang tertata dan rapi.
Barangkali yang peling menonjol dalam menyebarluaskan ayat tersebut ke dalam sebuah sistem yaitu seperti yang dilakukan Irfan Amalee dengan mendirikan Peace Generation (PeaceGen) dan PeaceSantren Welas Asih (PWA)-nya di daerah Garut.
Menurut saya Irfan Amalee tersebut bisa menjadi model pengimplementasian apa yang dikatakan oleh Kuntowijoyo tentang bagaimana umat Islam mesti menerjemahkan ajaran Islam itu sendiri di era masyarakat industrial seperti sekarang.***