BANDUNGMU.COM, Bandung — Ide revivalisme agama seringkali tidak beranjak jauh dari pertentangan antara sumber-sumber samawi (wahyu) melawan sumber-sumber duniawi yang berasal dari manusia.
Tak heran, pengusung ide revivalisme agama kerap mempertentangkan moralitas ajaran kitab suci dengan etika yang bersumber pada kebudayaan.
Kebudayaan apa pun yang dianggap tidak sesuai dengan pengertian harfiah ayat-ayat di dalam kitab suci, akan mudah dihukumi dengan pengharaman.
Khusus bagi masyarakat muslim Jawa yang kental dengan kebudayaan, tuduhan miring dari kelompok revivalisme sering kali menimbulkan kegaduhan.
Lalu bagaimanakah Muhammadiyah sebagai gerakan modern berbasis pencerahan (tajdid) memandang kebudayaan lokal, termasuk wayang dan peringatan budaya?
Melalui Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh pada 1995, Majelis Tarjih Muhammadiyah secara tegas menghukumi kebudayaan dan kesenian sebagai mubah (boleh).
Yakni selama tidak mengarah dan mengakibatkan fasad (kerusakan), dharar (bahaya), ‘isyyan (kedurhakaan), dan ba’id ‘anillah (terjauhkan dari Allah).
Oleh karena itu, pengembangan berbagai kesenian dan kebudayaan diperbolehkan sesuai dengan syarat di atas. Apalagi jika digunakan sebagai sarana pengajaran, ilmu pengetahuan dan kepentingan sejarah.
Berbeda dengan kelompok revivalis yang mengutamakan simbol dan identitas luaran daripada substansi, Muhammadiyah justru lebih mengutamakan substansi dibandingkan dengan simbol.
Dalam hal ini, Ahmad Syafii Maarif sering kali mengutip istilah dari Bung Hatta berupa filosofi garam vs filosofi gincu.
Dengan filosofi garam, dakwah kultural akan mampu memberikan corak dan warna yang substansial. Sementara filosofi gincu belum tentu Islami secara substansi meski tampilan luarnya seakan-akan Islam. Demikian jelas Mujamil Qomar dalam “Moderasi Islam Indonesia” (2021).
Contoh paling absah tentang sikap akomodatif Muhammadiyah terhadap kebudayaan justru ditampilkan oleh pendirinya sendiri, yakni Kiai Ahmad Dahlan.
Media Zainul Bahri dalam “Perjumpaan Islam Ideologis & Islam Kultural: Sejarah Kritis” (2022) menulis bahwa Kiai Ahmad Dahlan yang memiliki jabatan sebagai Abdi Dalem Kesultanan Yogyakarta selalu ikut dalam festival kebudayaan milik Kesultanan seperti Gerebeg Besar, Gerebeg Pasa, Gerebeg Mulud, dan Gerebeg Sultan.
Bahkan catatnya, Kiai Dahlan menganggap pagelaran itu sebagai salah satu media efektif untuk mendakwahkan Islam.
Sementara itu Ahmad Najib Burhani dalam “Muhammadiyah Jawa” (2010) mencatat pagelaran wayang kulit yang isinya sangat sinkretik pernah digelar pada rangkaian Kongres Muhammadiyah pada 1925 dan memperoleh apresiasi meriah.
Terkait pakaian, alih-alih menggunakan busana Barat atau Arab, Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo pada 1929 meminta setiap delegasi menggunakan busana daerah mereka.
Kiai Dahlan dan banyak anggota Muhammadiyah, tulis Najib, bahkan lebih suka memakai busana Jawa lengkap dengan aksesoris seperti keris, beskap, blangkon, dan kain batik.
Muhammadiyah dan Wayang
Kendati tidak mengharamkan wayang atas alasan sederhana, Muhammadiyah tetap berpedoman pada kaidah dasar terkait akidah, hukum-hukum syariat, dan asas kemanfaatan dalam menjalankan kesenian.
Tidak heran, salah satu tokoh lokal voorziter (ketua) Muhammadiyah seperti R. Ismojohardjono pernah memusnahkan wayang dobel milik Kiai Amat Kasman asal desa Slametan, Yogyakarta, dengan cara ditanam.
Hal itu dilakukan karena wayang itu menggambarkan sosok nabi dan malaikat yang dilarang dipersonifikasikan dalam ajaran Islam. Demikian tercatat pada “Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara, Volume 1” (1990).
Selain kasus seperti R. Ismojohardjono yang langka, banyak pegiat Muhammadiyah menggunakan wayang sebagai media dakwah.
Mujamil Qomar dalam “Moderasi Islam Indonesia” (2021) mencatat seorang tokoh Muhammadiyah asal Purwokerto, Subur Widadi, telah berdakwah menggunakan wayang jauh sebelum gagasan dakwah kultural dirumuskan Muhammadiyah pada Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 2002.
Memakai kaidah fikih “al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” atau “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik”, Subur menggunakan selawat yang dikemas dengan syair-syair Banyumasan pada gelaran wayangnya.
Selain Subur, tokoh Muhammadiyah lain asal Klaten, Suryadi Warnosuhardjo, menciptakan wayang kulit sadat (syahadat) pada 1985 sebagai media dakwah. Kisah yang dibawakan berkisar antara kisah-kisah para sembilan wali dan penyebaran dakwah Islam di Jawa. Demikian catat “Majalah Adiluhung” edisi 03 (2013).
Di masa sekarang, utamanya pasca-lahirnya konsep dakwah kultural, Muhammadiyah semakin merekatkan diri dengan kebudayaan daerah. Dalam cara persyarikatan di luar pengajian, di sana umum ditemukan pentas seni baik musik hingga tari-tarian.
Muhammadiyah bahkan kini memiliki sejumlah dalang cilik. Misalnya pada Milad Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) ke-63 pada 13 November lalu, dua dalang cilik dari SD Muhammadiyah 1 Surakarta, Gibran Maheswa Javas Setyawan (kelas 4 SD) dan Brama Kasawa (kelas 3 SD), sempat memimpin pagelaran Wayang sebagai salah satu rangkaian acara milad.***