Oleh: Ace Somantri
BANDUNGMU.COM — Sejak dimulainya debat capres beberapa waktu lalu, tiga pasangan calon presiden dan wakil presiden Republik Indonesia telah menguji ide, gagasan, dan kinerja kepemimpinan mereka.
Dengan berbekal pengalaman masing-masing, mereka mendekati persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia dengan pendekatan normatif dan bukti empiris.
Mereka menyampaikan banyak hal terkait masalah dan kondisi yang dihadapi oleh bangsa ini. Mereka juga membahas solusi dan kontribusi yang mereka rencanakan untuk masa depan Indonesia.
Yakni dengan harapan membawa masyarakat Indonesia ke arah yang lebih maju dan sejahtera.
Sorak sorai dari para pendukung kandidat terdengar ramai. Bahkan ada di antara kandidat yang saling sindir dan terkadang mengungkapkan kata-kata yang terkesan menyerang dan mempertanyakan peristiwa dan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap kandidat saat menjabat.
Meskipun pendukung memberikan tepuk tangan sebagai bentuk dukungan terhadap pernyataan dan tanggapan dari kandidat favorit mereka, suasana tetap terjaga dengan tenang dan senyuman.
Namun, suasana ini berbeda dengan dinamika pemilu sebelumnya. Pertarungan di media massa dan media sosial sulit untuk dikendalikan.
Kata-kata kasar seperti “kampret” dan “cebong” sering menghiasi layar ponsel pendukung kedua belah pihak dan relawan dari setiap kandidat.
Berbagai cara dan pendekatan digunakan untuk menarik simpati dari para pemilih yang disesuaikan dengan berbagai kelompok masyarakat, mulai dari pemilih pemula generasi milenial hingga kelompok lanjut usia.
Metode kampanye konvensional di jalanan terbuka sudah mulai berkurang karena biaya yang tinggi dan kurang efisien. Selama beberapa pemilu terakhir, pola pikir masyarakat tentang pemilu mengalami perubahan.
Mereka melihat kontestasi pemilu sebagai sesuatu yang biasa dan merasa bahwa pemilu tidak memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan langsung.
Ironisnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka yang didukung dengan antusiasme selama kampanye seringkali malah memperkaya diri sendiri dan melupakan pendukungnya, baik dalam pemilihan eksekutif maupun legislatif.
Pemilu sekarang terlihat sepi dan sunyi dibandingkan dengan pemilu sebelumnya karena ada banyak faktor yang memengaruhi.
Salah satunya adalah jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden dan juga adanya pemilu serempak dengan pemilu legislatif.
Ini mengubah dinamikanya secara keseluruhan, dan akhirnya, pendukung eksekutif untuk pemilihan presiden dan wakil presiden tidak terlalu agresif seperti sebelumnya.
Mereka tampaknya lebih fokus pada pemenangan untuk pencalonan legislatif, baik dari pusat maupun daerah.
Konsentrasinya terpecah, sehingga tim kampanye khusus yang tidak terikat dengan pencalonan legislatif dari masing-masing partai menjadi fokus utama kampanye.
Plus dan minus dari pemilu serentak terlihat jelas, baik dalam kontestasi politik eksekutif maupun anggota legislatif dari pusat hingga daerah.
Hal ini merupakan salah satu faktor mengapa kampanye pemilihan presiden tidak seagresif periode sebelumnya. Bahkan, biaya politik untuk pemilu sekarang mungkin bisa ditekan, walaupun risiko korupsi, intimidasi, dan intervensi selalu ada.
Meskipun pemilu terasa sepi, perang kampanye masih terus berlanjut, terutama di media sosial. Perundungan, bully, sindiran, bahkan caci maki terus mewarnai platform media sosial.
Hal ini sulit dihindari karena dunia digital memberikan akses informasi dengan berbagai sudut pandang.
Pengguna media sosial, baik sebagai influencer yang dibayar maupun relawan dari berbagai pasangan calon, menggunakan berbagai cara untuk mempengaruhi opini publik sesuai dengan kebutuhan masyarakat digital.
Informasi yang disajikan dalam bentuk diksi dan narasi seringkali dimanipulasi untuk mempengaruhi opini, baik yang bersifat benar maupun palsu (hoaks).
Meskipun tradisi kampanye sosialisasi dan pendidikan menjelang pemilu selalu ada, tetapi tidak sedikit juga yang berisi provokasi tanpa batasan etika. Semoga pemilu tahun ini terbukti lebih efisien dan efektif dari segi anggaran dan dinamika sosial.
Meskipun suasana terasa sepi, hal ini tidak berarti ketidakpekaan atau ketidakpedulian terhadap proses pemilu. Pemilu adalah agenda penting bagi bangsa dan negara.
Sukses atau tidaknya sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan pemilu. Para kandidat pemimpin, baik untuk eksekutif maupun legislatif, terus mempersiapkan ide-ide brilian untuk memajukan Indonesia.
Kelebihan dan kekurangan setiap individu atau pasangan calon harus menjadi bahan pertimbangan dalam memilih yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan negara.
Media informasi, baik media massa utama maupun media sosial, hanya merefleksikan kualitas komunikasi dan kondisi sosial saat ini, yang besoknya akan kembali seperti biasa setelah pemilu.
Kondisi sosial politik sejak awal pemilu terlihat relatif aman dan terkendali. Provokasi dan intimidasi tidak lagi menjadi strategi untuk memperoleh suara.
Biarkanlah rakyat memilih sesuai hati nurani mereka. Kembalikan hak rakyat untuk memberikan suara mereka tanpa takut kalah atau menang.
Ideologi atau politik akan selalu berubah dalam dinamika demokrasi. Namun, individu dan kelompok harus bijak dalam menyusun kepentingan bersama demi kebaikan dan kemaslahatan dalam kerangka sosial politik yang lebih matang.
Hormati pilihan dan kesuksesan masing-masing, saling menghargai satu sama lain dalam berdemokrasi. Siapa pun yang terpilih harus menjaga amanah suara rakyat tanpa terkecuali.
Karakter seorang pemimpin, terpilih atau tidak, adalah bagian dari dinamika dalam kontestasi demokrasi.
Pada era digital ini, postingan di berbagai platform media sosial turut memengaruhi perdebatan pemilu.
Komentar dan tanggapan atas setiap postingan memancing reaksi, baik itu kekesalan atau respon positif terhadap suatu gagasan.
Minat masyarakat terhadap media sosial, terutama yang menghibur, sangat besar. Video singkat yang menarik mendapat banyak followers dan subscriber.
Saat ini, media sosial dimanfaatkan sebagai alat kampanye dan sosialisasi bagi para kandidat, bahkan hingga upaya narsisme dilakukan untuk menarik perhatian.
Meskipun suasana terasa sepi, perang opini masih terjadi, meski tidak seintens periode sebelumnya.
Militansi pendukung capres masih ada, tetapi tidak sekeras sebelumnya dengan pengerahan kekuatan kelompok influencer dan buzzer yang terkesan tak terbatas. Meski demikian, hal ini tampak lebih bijak dan terkontrol.
Saat mendekati akhir proses pemilu, sikap dan karakter asli pemimpin yang terpilih akan kembali terlihat, baik, sopan, murah senyum, dan peduli.
Namun, setelah terpilih, sikap mereka bisa berubah drastis. Peka dan peduli tampaknya menjadi hal yang sulit diakses oleh publik, dan kehidupan publik harus melalui prosedur yang panjang dan sulit untuk mendapatkan perhatian dari pejabat terpilih.
Fenomena ini mencerminkan karakter masyarakat Indonesia, dan semoga kita semua bisa menjadi manusia yang terbaik di antara yang baik, memberikan manfaat tanpa pamrih, dan selalu berusaha berbuat kebaikan.***