Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM — Keharmonisan dalam diri manusia, di mana jiwa dan raganya, tubuh dan pikirannya saling terkait dan melengkapi satu sama lain, telah ada sejak awal.
Manusia hadir di dunia ini setelah melewati proses di dalam rahim ibunya, di mana tubuh dan jiwa terbentuk menjadi satu kesatuan yang utuh.
Menurut pengetahuan ilmiah dalam bidang reproduksi manusia, hasil dari perpaduan sel sperma dan sel telur pasangan manusia berkembang dalam kandungan selama sekitar sembilan bulan sebelum akhirnya dilahirkan dengan keindahan bentuknya.
Saat keluar dari rahim dan memasuki dunia, setiap individu, tanpa terkecuali, hadir dengan kesucian yang membawa kebersihan. Ajaran Islam menekankan pentingnya pembimbingan dan pengasuhan orang tua dalam menuntun anak-anaknya menuju kedewasaan dengan penuh kasih sayang.
Tidak ada yang mengingat momen kelahiran. Manusia juga hampir pasti menyadari bahwa banyak hal yang tidak mereka sadari pada masa kecil, terutama saat masih balita.
Kesadaran ini akan semakin tajam ketika seseorang menjadi orang tua, baik sebagai ibu maupun ayah, yang merawat dan mendidik anak-anak mereka.
Proses pertumbuhan dan kedewasaan seseorang tidaklah instan. Namun, melalui berbagai pengalaman dan kondisi di lingkungan keluarga, tetangga, teman, dan lingkungan sekitar tempat anak berinteraksi.
Perilaku baik dan buruk anak dipengaruhi, dibentuk, dan ditransmisikan melalui interaksi dengan orang tua mereka. Agama yang dianut seorang anak juga sering kali dipengaruhi oleh keyakinan agama orang tua mereka.
Hal ini sejalan dengan ucapan Rasulullah SAW bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah (Islam). Namun, keyakinan agamanya akan mengikuti keyakinan orang tua, kecuali jika kelak ia mendapat hidayah.
Tubuh manusia adalah gabungan harmonis antara jasmani dan rohani, di mana emosi dan perasaan terbentuk dalam kompleksitas psikis.
Oleh karena itu, penting bagi setiap individu untuk menyadari bahwa tubuh manusia tidaklah terdiri atas bagian-bagian yang terpisah.
Namun, merupakan perpaduan antara jiwa dan raga dalam wujud fisik yang ditenagai oleh substansi pokok. Kemudian setiap bagian merepresentasikan aspek jiwa dan raga yang terintegrasi sepenuhnya dengan otak dan akal pikiran.
Ide dan gagasan yang muncul pada seseorang adalah hasil dari proses pemikiran yang lahir dari pengalaman panca indera. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami bahwa menjaga kesehatan fisik juga berarti menjaga keseimbangan kesehatan mental.
Hal itu juga penting karena bisa menciptakan kerangka ilmu pengetahuan yang menghasilkan pemikiran yang bermanfaat dan bernilai bagi masyarakat dalam jangka panjang.
Semakin seseorang memelihara produktivitas pemikirannya, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu itu sendiri. Namun, juga membangun peradaban yang dinamis. Ketika kesehatan fisik terganggu, hal tersebut akan berdampak negatif pada produktivitas pemikiran seseorang.
Penting untuk diakui bahwa keseimbangan instrumen dalam tubuh harus tetap terjaga dengan baik. Perlu diketahui juga bahwa di dalam tubuh manusia terdapat beragam jenis struktur yang terbentuk.
Tidak hanya berupa fisik semata. Namun, melibatkan kendali psikis dan spiritual yang bersemayam di hati atau jiwa.
Keseimbangan antara dua kekuatan, jiwa dan raga, dapat dijaga dengan menggunakan akal sehat. Ada sebuah pepatah bijak yang menyatakan bahwa akal yang sehat berada dalam tubuh yang sehat.
Namun, dalam kehidupan sehari-hari, sering kali kita melihat orang bertindak tidak sesuai dengan nurani dan akal sehatnya. Akhirnya, perbuatan tersebut dapat disebut sebagai tindakan “bertopeng”.
Para psikolog terkemuka bahkan menyatakan bahwa hingga 80 persen dari populasi manusia memiliki kecenderungan untuk bertindak “bertopeng”.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak orang mengalami gangguan kesehatan. Salah satu penyebabnya adalah karena ketidakjujuran dalam perilaku dan tindakan sehari-hari.
Setelah berdiskusi dengan seorang psikolog, terbukti bahwa pada umumnya manusia cenderung bersikap dengan menyembunyikan aslinya di balik wajah bertopeng. Alasan di balik perilaku ini sangat beragam, mulai dari menyembunyikan identitas sejati hingga memperoleh keuntungan pribadi.
Berdasarkan pengalaman dan penelitian psikologis, banyak yang mendorong untuk selalu berpikir positif, yang memang penting.
Pada praktiknya, ketika tubuh mengalami tekanan, tidak hanya berpikir sehat yang penting. Namun, juga memiliki keseimbangan antara berpikir positif (positive thinking) dan merasakan perasaan positif (positive feeling).
Ini berarti bahwa memiliki sikap berpikir positif saja tidaklah cukup untuk menjaga keseimbangan tubuh manusia. Perlu ada unsur-unsur lain yang terkait.
Dalam praktiknya, terkadang terlalu banyak penekanan pada nalar intelektual yang membuat seseorang cenderung fokus pada pandangan eksternal, sementara emosi internal tidak dikelola dengan baik.
Akhirnya, ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan antara pemikiran positif yang diekspresikan secara eksternal dan kontrol emosi internal yang terganggu.
Nurlaela Hamidah, seorang psikolog, menegaskan bahwa penyebaran pemahaman mengenai positive feeling sangatlah penting. Beliau menyatakan bahwa jika emosi seseorang tidak dikelola dengan baik, dapat menyebabkan gangguan serius dalam jangka waktu tertentu.
Hal ini tidak hanya relevan bagi anak-anak dalam proses pengembangan sosial dan emosional mereka, yang sering kali menjadi fokus pendidikan. Namun, juga harus dipahami oleh orang dewasa agar menghindari terjadinya gangguan pada keseimbangan emosional tubuh mereka.
Meskipun konsep kecerdasan emosional sudah tidak asing di kalangan masyarakat terpelajar, dalam praktiknya sering kali tidak diimplementasikan secara tepat, bahkan oleh mereka yang sudah memahaminya.
Positive feeling, jika dikelola dengan baik, tidak hanya akan menjaga kesehatan emosional seseorang. Namun, akan mendorong kehidupannya menjadi lebih dinamis dan produktif, penuh kebahagiaan, dan selalu penuh dengan kegembiraan.
Oleh karena itu, dalam upaya membangun sikap positive thinking, penting bagi seseorang untuk pertama-tama memastikan bahwa Positive Feeling-nya terjaga dengan baik.
Sentuhan emosi memiliki dampak yang signifikan pada akal pikiran. Oleh karena itu, penting untuk menyertakan materi pemahaman tentang pembangunan kesadaran dan kecerdasan emosional dalam kurikulum pendidikan, mulai dari usia anak hingga remaja dewasa.
Berdasarkan berbagai penelitian, sekitar 80 persen kesuksesan hidup seseorang dipengaruhi oleh aspek moral, karakter, dan etika, yang juga dikenal sebagai attitude atau sikap.
Namun, dalam kurikulum dan praktik pembelajaran saat ini, pengembangan sikap terkait pengelolaan emosi masih minim. Maka dari itu, tidak mengherankan bahwa generasi saat ini cenderung kurang memiliki mentalitas dan emosionalitas yang matang.
Mereka sering kali mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitar, kecuali dalam adaptasi dengan dunia maya. Bahkan, generasi milenial sering diberi label “generasi stroberi”.
Mereka identik dengan karakter yang tidak terlalu tahan terhadap tekanan. Tidak seperti generasi sebelumnya yang lebih kuat dan tahan banting. Beberapa bahkan masih terlihat sangat bergantung pada orang tua mereka.
Dalam konteks pendidikan saat ini, para ahli pendidikan perlu menyoroti pentingnya pengembangan kecerdasan sikap sebagai salah satu topik utama.
Pengembangan kecerdasan yang berdampak signifikan pada perkembangan gaya hidup generasi mendatang yang meliputi keterpaduan kecerdasan emosional, intelektual, dan spiritual.
Dalam upaya untuk mengubah dan mengedepankan pengelolaan kecerdasan emosional guna mencapai sikap positive feeling, terlihat bahwa hal tersebut masih dianggap kurang penting dalam realitas saat ini.
Hal ini terbukti dengan minimnya dukungan terstruktur dalam materi pengajaran yang ideal untuk pengembangan kurikulum di sekolah dan perguruan tinggi. Bahkan, sering kali tidak ada atau jauh dari yang seharusnya.
Positive feeling atau kemampuan mengelola emosi dalam diri, memiliki konsekuensi positif bagi kesehatan fisik seseorang. Meskipun banyak yang memiliki kecerdasan intelektual, jumlah mereka yang mampu mengelola hati, emosi, dan peduli terhadap sesama, hanya sedikit.
Banyak yang merasa pintar dan sukses karena memiliki gelar akademik tinggi, pengalaman yang luas, atau kekayaan materi. Namun, sangat disayangkan sebagian besar dari mereka kurang dalam hal keseimbangan emosional dan keprihatinan terhadap orang lain.
Hanya sedikit yang memiliki kecerdasan emosional. Sedikit juga yang punya kemampuan untuk merasakan dan memahami kondisi lingkungan sekitar, termasuk keluarga, tetangga, dan masyarakat di tempat kerja atau lembaga sosial lainnya.
Nabi Muhammad SAW adalah contoh yang sangat baik dalam hal ini. Nabi SAW selalu peduli terhadap kaum duafa sehingga banyak budak yang dibebaskan dan kemudian hidup mandiri.
Begitu pula dengan generasi saleh berikutnya, mereka juga menunjukkan sikap yang sama dalam merawat sesama dan kehidupan lainnya, untuk menjaga kebebasan dan kesejahteraan.
KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, sebagai contoh lain, juga menunjukkan kepekaan dan kepedulian terhadap kaum duafa, baik dalam hal kesejahteraan, pengetahuan, maupun keagamaan.
Melalui cara itu, dia mampu menghasilkan rumusan algoritma untuk aplikasi pendidikan, pemberian makanan kepada fakis miskin, dan pengobatan. Luar biasa.
Sikap-sikap tersebut berasal dari kecerdasan emosional yang baik dan benar. Saat ini, untuk membangun generasi yang unggul, penting untuk merancang pola hidup yang lebih fokus pada peningkatan kemampuan mengelola emosi secara sosial yang terintegrasi dan universal.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar