BANDUNGMU.COM – Banjir informasi melahirkan banyak ustadz, pendakwah, orang pintar, orang hebat, dan para jenius dunia virtual.
Sayang anggota, kader, dan pimpinan Muhammadiyah tak kunjung muncul ke permukaan mewarnai layar virtual tersebut. Lantas salahkah jika yang jadi panutan dan tontotnan bukan dari internal Muhammadiyah?
Untuk menjawab ini mari simak dialog kami (“Suara Muhammadiyah”) dengan Prof Dadang Kahmad, Ketua PP Muhammadiyah yang membidangi Majelis Pustaka dan Informasi. Berikut ulasannya:
Muncul ustaz-ustaz baru di era media sosial sebagaimana sekarang ini. Sebagian besar bukan anggota, kader, tokoh, dan pimpinan Muhammadiyah. Mengapa dan bagaimana pendapat Bapak?
Ini ada era post truth, di mada digital memberikan peluang kepada siapa pun untuk berekspresi secara bebas. Hampir tidak ada sensor dalam dunia digital. Orang tampil dalam banyak wajah, dalam banyak hal, termasuk dalam dakwah.
Dan ciri dari dunia virtual atau media sosial itu adalah pembawaannya ringan, tema menarik walaupun sering berbau kontroversial. Di mana salah satu tujuan dibuatnya sebuah konten adalah untuk meningkatkan subscribe, viewers, like, followers, dan sebagainya. Karenanya semaksimal mungkin para pengonten ini berupaya agar kontennya ditonton oleh banyak orang.
Sebagian sengaja membuat konten yang ringan-ringan, bahkan yang tidak terlalu penting, ada motif bisnis di dalamnya. Sebagian lagi membuat dengan motif keagamaan yang cukup kuat. Dan ada juga untuk kepentingan popularitas politik.
Tidak telalu njlimet, singkat, dan mudah serta menghibur. Kenapa produk Muhammadiyah atau produk Tarjih tidak terlalui dilirik? Jawabannya yang mungkin terlalu njlimet, berat, susah, bahasan serius.
Ya memang gaya dakwah atau pengajian Muhammadiyah dari dulu seperti itu, terutama gaya dakwah offline. Lah tentu untuk era daring, model Muhammadiyah yang seperti itu kurang diminati oleh anak-anak muda
Bukankah Muhammadiyah sudah memiliki Fikih Informasi sebagai acuan era digital? Bukankah itu acuan untuk Muhammadiyah menjelajahi dakwah virtual?
Merespons era digital yang serba virtual dengan berbagai macam platform medsos, sebenarnya Muhammadiyah sudah memiliki rambu-rambu baku yang tertuang dalam Fikih Informasi tahun 2015.
Namun demikian, kader-kader muda Muhammadiyah perlu juga mengisi dakwah lewat dunia digital ini. Sebab kalau tidak, kita akan kehilangan audience muda.
Kehilangan kesempatan dakwah di kalangan remaja yang menurut statistik mereka ini belajar agamanya dari media sosial terutama Youtube dan TikTok. Hal ini berdasarkan penelitian dari PP IPM Jakarta. Lebih 70 persen anak-anak remaja memperoleh pengetahuan agama dari medsos.
Karenanya penting anak muda Muhammadiyah untuk membuat konten-konten yang menarik dengan prinsip yang ringan, singkat, mudah dicerna. Ini tentu memerlukan keseriusan bersama.
Kami sangat mendorong majelis, lembaga, dan ortom untuk bermain di dunia digital. Terus terang secara rill Muhammdiyah ketinggalan di bidang ini. Tentu dengan mempertimbangakan rambu-rambu dan kode etik yang ada, baik itu Fikih Informasi ataupun putusan-putusan Muhammadiyah yang lain.
Ada pendapat bahwa ini adalah salah fenomena budaya pop. Bagaimana Bapak menanggapi hal tersebut?
Bisa dikatakan bahwa hal ini adalah salah satu fenomena budaya pop, di mana hal itu mudah sekali menyebar dan diikuti oleh masyarakat luas, tapi hal tersebut juga tidak berlangsung lama.
Kita ketahui bahwa perubahan itu cepat sekali datangnya. Hari ini munkin Youtube dan TikTok sedang merajai, tapi ke depan, bisa saja orang beralih ke media lain yang lebih canggih dan lebih mudah.
Seperti yang sedang dikembangkan adalah teknologi metavers dan Hologram. Saya dengar sekarang sedang diciptakan alat komunikasi berbentuk hologram, yang salah satu kehebatannya adalah bahwa si pengguna tidak perlu hadir di lapangan rill, cukup dilakukan secara daring, tapi orang lain sudah merasakan kehadirannya dalam bentuk hologram, yang mendekati nyata layaknya ia sedang berkomunikasi secara luring.
Nah setiap perubahan yang ada kita harus mengantisipasi, dengan cara menggunakannya sebagai sarana dakwah. Jadi sekarang eranya media sosial maka kita ikuti cara main media sosial. Dan ke depan media sosial digantikan oleh media yang lain, kita pun harus mengikutinya.
Itu yang disampaikan oleh KH Ahmad Dahlan bahwa Muhammadiyah hari ini berbeda dengan Muhammadiyah yang akan datang. Setiap waktu berubah sehingga media yang kita gunakan untuk berdakwah pun ikut berubah. Termasuk pada hal-hal yang lain.
Apakah Muhammadiyah sudah maksimal dalam merespons perubahan ini?
Kita akui Muhammadiyah agak tertinggal. Ada beberapa alasan. Petama, kita agak kalah start dengan ormas dan organisasi lain. Tetangga saja sudah memilki alat analisis digital yang memadai, bahkan sangat canggih dan modern.
Kedua, masyarakat atau umat dari oraganisasi atau ormas sebelah sangat merasa memilki dengan apa yang disuguhkan oleh organisasinya atau person-person kader dari oraganisasi tersebut. Sehingga dengan waktu yang relatif singkat, akun media sosial mereka bisa melejit, memiliki pengikut yang jumlahnya besar, dan diakui oleh banyak kalangan.
Kita sudah mencoba, salah satunya dengan mendirikan PSDM. Bahkan kita punya banyak media. Tapi sayang media kurang begitu laku, kurang diminati.
Ketiga, baik di level pusat sampai akar rumput lebih banyak diisi oleh generasi tua yang kurang perhatian terhadap media sosial. Generasi tua ini masih melihat kehebatan Muhammadiyah dari banyaknya gedung, dari megahnya bangunan amal usaha.
Mereka kurang paham bahwa era digital bukanlah membangun perangkat fisik saja, lebih dari itu perlu membangun perangkat berbasis big data sebagai acuan dalam menentukan langkah. Dan itu adalah perangkat utama era digital ini.
Bukankah salah satu kehebatan Muhammadiyah karena memiliki banyak “Fisik?”
Saya pribadi setuju dengan apa yang sudah disampaikan oleh Irfan Amalee tentang pentingnya Muhammadiyah membangun piranti digital. Irfan mengingatkan agar nasib Muhammadiyah tidak seperti nasib perusahaan Blue Bird.
Tantangan abad pertama Muhammadiyah berbeda dengan abad kedua Muhammadiyah. Di Abad kedua ini Muhammadiyah berhadapan dengan revolusi industri 4.0, internet sudah menjadi kebutuhan primer.
Jadi warga, kader, dan pimpinan Muhammadiyah jangan terperangkap oleh kejayaan Persyarikatan pada masa lalu. Mestinya harus memilki visi dan misi yang futuristik melihat perubahan-perubahan yang ada.
Oleh karena itu, penting untuk mengadaptasi diri dengan perubahan-perubahan. Sebab ke depan hal yang bersifat fisik akan kalah oleh hal yang berbau virtual.
Lihat saja toko-toko sudah tidak begitu laku, mereka kalah oleh bisnis online. Orang kaya bukan lagi pemiliki pabrik, tapi yang kaya adalah yang memilki media sosial dan bergelut di dunia digital.
Lihat saja pemiliki Facebook dan Microsoft dll. Termasuk mereka juga yang memiliki market place seperti Amazon dan Alibaba. Di Indonesia sendiri ada Ruang Guru yang tanpa bangunan mereka memiliki murid jutaan pelajar.
Alhamdulillah kita sudah memiliki Universitas Cyber Muhammadiyah. Tapi itu juga belum memadai. Saya berharap ada lembaga atau majelis yang secara serius membuat grand design Muhammadiyah era digital ini. Semoga kita lekas mengajar dan bisa menjadi tumpuan di masa depan.***
Sumber: “Suara Muhammadiyah” edisi 10 TH ke-107 16-31 Mei 2022
