PMB Uhamka
News

Tantangan dan Peluang Era Baru Filantropi Islam di Indonesia

×

Tantangan dan Peluang Era Baru Filantropi Islam di Indonesia

Sebarkan artikel ini

Oleh: Muhammad Ramdan Widi Irfan*

Potensi wakaf di Indonesia mencapai Rp 180 triliun per tahun (Muhibbuddin, 2025). Namun, potensi ini belum terpenuhi, padahal wakaf adalah media ekonomi muslim yang sangat baik digunakan untuk pembangunan berkelanjutan.

Masalah tata kelola, termasuk kurangnya transparansi dan akuntabilitas, kemampuan SDM yang tidak memadai, terlalu banyak nazhir tanpa latar belakang manajerial atau keuangan yang tepat, dan penggunaan teknologi yang tidak efisien, serta tidak adanya tata kelola berbasis risiko. Dalam situasi yang statis seperti itu, disrupsi digital menjadi penggerak dasar potensial untuk perancangan ulang tata kelola.

Temuan studi mengungkapkan bahwa ada perbedaan yang cukup signifikan antara potensi dan realisasi wakaf, di mana hanya 35 persen dari nazhir yang telah melaporkan laporan pendapatan mereka kepada publik (BWI, 2024).

Sebagian besar nazhir juga tidak terdaftar, dengan sekitar hanya 1.200 dari 7.200 yang telah bersertifikat secara nasional (BWI, 2024). Wakaf produktif hanya terdiri atas 2 persen dari total aset wakaf secara nasional (KNEKS, 2023).

Baca Juga:  Bandung Perkuat Ketahanan Pangan Lewat ASEAN Summer School

Selain itu, jajak pendapat Republika & DSN-MUI (2023) menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap pengelolaan wakaf hanya 58%, lebih rendah daripada zakat dan infaq.

Teknologi membentuk ulang model (reformulasi) pengelolaan wakaf baru: Kolaborasi menuju wakaf digital seperti GoWakaf, Wakaf Salman ITB, dan Dompet Dhuafa telah mendorong peningkatan pengumpulan hingga 310 persen dalam tiga tahun terakhir (BWI-KNEKS, 2023).

QRIS dan dompet elektronik memperluas jangkauan akses penghimpunan wakaf tunai mikro. Dompet Dhuafa sedang mengembangkan proyek percontohan tentang penggunaan blockchain untuk menjaga catatan transaksi wakaf yang transparan dan tidak dapat diubah.

Optimalisasi AI startup meningkatkan dampak sosial. Meskipun dalam tahap awal pembicaraan tentang wakaf NFT dan aset digital mulai muncul di beberapa forum studi ilmiah dan keagamaan. Namun, fikih dan hukum positif masih terus menjadi kajian.

Analisis kebijakan dan implikasi

Kebijakan dan ekosistem harus fleksibel untuk memastikan bahwa perubahan dalam pengelolaan wakaf dapat dicapai. Beberapa hal strategis berikut bagi nazhir di era digital dalam semua aspeknya perlu disesuaikan agar dapat mencapai kesuksesan bisnis terutama dalam hal.

Baca Juga:  Silaturahmi Lintas Agama, Eco Bhinneka Banyuwangi Berkunjung ke Gereja Katolik

Legalitas dan akreditasi (memiliki legalitas resmi dan terdaftar di BWI). Legalitas aset wakaf yang lengkap, clear and clean dari potensi sengketa, dan penguatan organisasi nazhir yang bisa menjawab dinamika internal organisasi dan menjawab setiap tantangan secara eksternal.

Transparansi dan akuntabilitas meliputi aspek sistem pelaporan keuangan dan program yang terposting secara periodik. Infrastruktur yang memadai (seperti sistem informasi manajemen aset dan dashbord kinerja).

Infrastruktur teknologi berbasis Customer Relationship Management (CRM) dapat menjadi sarana penting dalam menghubungkan wakif dengan nazhir.

Teknologi ini memungkinkan pemantauan terhadap program-program wakaf yang sedang berjalan sekaligus menyajikan laporan yang transparan mengenai dampak program bagi para penerima manfaat (mauquf ‘alaih).

Sumber daya manusia yang kompeten dan adaptif menjadi kunci utama, misalnya melalui pelatihan pengelolaan wakaf, teknologi, keuangan, dan aspek syariah.

Baca Juga:  Meraih Surga Melalui Jihad di Muhammadiyah

Selain itu, perlu dikembangkan program yang aplikatif dan inovatif, seperti wakaf produktif di bidang bisnis, properti, maupun wakaf sosial.

Di era digital, aset penting lainnya adalah pemanfaatan data dan teknologi cerdas. Termasuk big data dan kecerdasan buatan untuk menentukan lokasi proyek wakaf, memprediksi dampak sosial-ekonomi, serta melakukan evaluasi dan pelaporan berbasis hasil.

Wakaf di Indonesia berada pada persimpangan jalan antara yang statis dan konvensional dengan reformulasi teknologi diharapkan adanya akselerasi pemaanfaatan wakaf profuktif.

Untuk menghubungkan kedua dimensi tersebut, pendekatan sistemik diperlukan, lembaga perlu dikelola lebih efektif, transisi digital perlu didorong, dan kerja sama antar-sektor perlu diperkuat.

Dengan strategi yang tepat, wakaf tidak hanya dapat menjadi alat sosial. Namun, titik tumpu untuk inklusi dan pembangunan ekonomi Islam yang berkelanjutan.

*Ketua Majelis Pendayagunaan Wakaf PWM Jabar dan Anggota DPS Lazismu Jabar periode

PMB Uhamka