Oleh: Kelik Nursetiyo Widiyanto, Penulis Lepas
BANDUNGMU.COM — Sudah menjadi tradisi. Setiap Agustus Karang Taruna (Karta) beraksi. Merayakan hari proklamasi. Bergembira sebagai bangsa mandiri. Perjuangan para pahlawan diteladani. Mengisi kemerdekaan dengan optimis.
Karang Taruna bekerja sepenuh hati. Mulai dari bermusyawarah menentukan program kerja sendiri. Lalu, mencari dana keliling kampung dengan percaya diri. Hingga hari H pelaksanaan sebuah unjuk diri. Unjuk kemampuan, anak muda nasionalis dan tahu diri.
Nasionalisme mereka jangan diragukan lagi. Memang kerja mereka setahun sekali. Tapi, tanpa karang taruna, agustusan, terasa sepi. Nasionalisme mereka tidak mengangkat bambu runcing. Tapi, sederhana saja, membuat lomba panjat pinang hingga lomba lari. Mengajak rakyat tersenyum berseri. Sejenak melupakan problema diri.
Tidak sedikit orang mencibir. Sejatinya Karang taruna sedang berjudi. Bila gagal dicaci tapi bila sukses menjadi buah bibir.
Satu yang karang taruna teladani dari para pejuang kemerdekaan, semangat, optimis dan percaya diri. Omongan minor, penolakan hingga hujatan mereka tak peduli. Sebagai anak muda, mereka menunjukkan, ini bukan zaman anda, ini zaman kami. Silahkan para sepuh bernostalgia, tapi karang taruna memilih beraksi. Walau dinilai tak berarti, tapi itu usaha perjuangan kami.
Setidaknya ada lima nilai dalam kiprah karang taruna di bulan proklamasi. Pertama, nilai religi. Kok bisa? Ya, sejatinya mereka sedang mengamalkan keyakinan dalam kalimat pertama proklamasi. Dengan berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa. Ya, karena Rahmat Tuhan lah, bangsa ini terbebas dari penjajahan bangsa asing. Tuhan sudah menakdirkan Indonesia merdeka di bulan suci. Menjelang hari Fitri. Hari kemenangan.
Beragam kegiatan selama agustusan, sebuah bentuk kepasrahan diri kepada Ilahi. Meyakini dan berterimakasih kepada Yang Maha Suci, atas Rahmat kemerdekaan ini. Dengan keyakinan ini, tak ada perayaan yang tidak diridoi. Semuanya berdasar pada niat suci.
Kedua, nilai kemanusiaan. Setelah berterimakasih kepada ilahi, saatnya memanusiakan manusia. Kembali ke rakyat, berjuang untuk kesejahteraan, keadilan dan keadaban.
Ketiga, nilai persatuan. Para anggota karang taruna berjibaku menyukseskan perayaan kemerdekaan berasal dari berbagai latar belakang. Terutama di perkotaan, sebagai daerah heterogen, anggota karang taruna di tingkat RW berasal dari kultur yang berbeda. Tetapi dengan semangat satu tujuan, mereka mengabaikan perbedaan itu, hanya untuk sebuah kata, persatuan.
Karang taruna menyadari, hanya dengan bersatu bangsa ini merdeka. Dan mereka percaya, perpecahan hanya melemahkan. Tak ada kata lain untuk menyatukan, hanya tinggalkan perbedaan. Karena perbedaan itu keniscayaan, tetapi membeda-bedakan itu kriminal.
Keempat, nilai musyawarah. Ini yang mulai hilang dalam keseharian bangsa ini. Bermusyawarah untuk mencapai kata mufakat. Musyawarah mengedepankan dialog. Dialog penuh ketulusan dan keterbukaan. Sementara ini, bangsa ini telah dikotak-kotakan. Akhirnya, mayoritas-minoritas menjadi tolok ukur.
Kebenaran dinilai dari suara terbanyak. Kekuasaan dinilai dari suara mayoritas. Keputusan hukum bergantung pada kondusifitas di luar pengadilan. Musyawarah, sebagai indigenous legacy mulai diabaikan. Karang taruna mengembalikan nilai musyawarah ini di tingkat lokal. Mereka ambil pilihan dengan ngopi untuk menyelesaikan masalah.
Kelima, nilai keadilan. Sebab, inti kemerdekaan adalah bebas menentukan masa depan sendiri. Maka keadilan menjadi kunci. Keadilan yang memakmurkan. Keadilan berlandas demokrasi.***