Oleh: Nashrul Mu’minin*
Pada era digital tahun 2025 ini, pendidikan bukan lagi terbatas oleh ruang kelas dan jam pelajaran. Belajar bisa dilakukan di mana saja—dari layar ponsel, laptop, hingga ruang virtual yang menghubungkan jutaan pelajar di seluruh dunia.
Namun, di balik kemudahan itu, muncul tantangan baru yang justru datang dari dalam diri: rasa malas, badmood, dan mager yang sering kali menjadi penghalang utama semangat belajar.
Tantangan ini tidak kalah berat dibandingkan ujian akademik karena bersumber dari benturan antara kenyamanan digital dan kedisiplinan pribadi.
Kemajuan teknologi memang memudahkan akses ilmu, tetapi di saat yang sama membuat fokus semakin rapuh. Notifikasi media sosial, hiburan tanpa henti, dan kebiasaan scrolling membuat otak terbiasa pada hal-hal instan.
Akibatnya, belajar terasa membosankan dan berat untuk dimulai. Banyak siswa dan mahasiswa yang bukan tidak ingin belajar, tetapi sulit melawan dorongan untuk menunda.
Inilah bentuk baru dari tantangan pendidikan modern—bukan kekurangan fasilitas, tetapi kekurangan kendali diri.
Rasa badmood juga sering muncul tanpa alasan jelas. Kadang-kadang hanya karena lelah. Kadang-kadang karena ekspektasi yang tidak tercapai.
Dalam kondisi seperti itu, belajar terasa sia-sia. Namun, sesungguhnya di situlah pentingnya kesadaran bahwa belajar bukan soal mood, melainkan komitmen.
Tidak setiap hari akan terasa produktif, tetapi setiap langkah kecil tetap berarti. Menerima bahwa tidak semua waktu harus sempurna, justru membantu kita bergerak lagi, meski perlahan.
Mager atau malas gerak menjadi kata yang akrab di telinga generasi muda. Ia sering diucapkan dengan santai, tetapi di baliknya ada tantangan serius: kehilangan semangat berproses.
Mager bukan hanya soal malas bergerak, melainkan tanda kejenuhan yang perlu dipahami. Kadang-kadang tubuh butuh istirahat. Kadang-kadang pikiran butuh suasana baru.
Mengubah mager bukan berarti memaksa diri tanpa henti, melainkan menata ulang cara belajar agar lebih manusiawi—lebih sesuai dengan ritme hidup yang realistis.
Belajar di tahun 2025 menuntut kecerdasan emosional, bukan hanya kecerdasan intelektual. Dulu yang penting adalah nilai dan hafalan. Sekarang yang dibutuhkan adalah kemampuan mengatur diri sendiri.
Mereka yang mampu mengelola waktu, emosi, dan motivasi akan lebih siap menghadapi dunia yang terus berubah. Sejatinya belajar tidak lagi sekadar tentang buku dan ujian. Namun, tentang melatih konsistensi di tengah gangguan yang tak pernah berhenti.
Teknologi dapat menjadi teman sekaligus musuh. Ia membantu ketika digunakan dengan bijak, tetapi bisa menjebak jika dipakai tanpa arah.
Oleh karena itu, kuncinya bukan menjauh dari teknologi, melainkan menggunakannya untuk memperkuat semangat belajar.
Menonton video edukatif, mendengarkan podcast inspiratif, atau mengikuti kelas daring bisa menjadi cara untuk mengganti “scrolling tanpa arah” menjadi “scrolling yang bermakna”.
Di balik segala kemudahan, setiap pelajar di era ini sedang belajar hal paling penting: bertanggung jawab pada dirinya sendiri. Tidak ada guru yang bisa terus memantau. Tidak ada orang tua yang selalu mengingatkan.
Disiplin dan motivasi harus tumbuh dari dalam. Inilah ujian sebenarnya dari “belajar tanpa batas”—bukan tentang seberapa luas aksesnya, melainkan seberapa kuat tekad untuk tetap berjalan meski suasana hati tak menentu.
Akhirnya, belajar di tahun 2025 bukan sekadar tentang mengejar prestasi, melainkan tentang menaklukkan diri sendiri. Melawan rasa malas, badmood, dan mager adalah bentuk perjuangan yang mungkin tidak terlihat, tetapi justru paling penting.
Sebab ketika seseorang mampu menguasai dirinya, ia sudah menempuh setengah jalan menuju kesuksesan. Di tengah dunia yang terus berubah, semangat belajar yang tahan uji adalah cahaya yang akan terus menuntun langkah menuju masa depan.
*Content Writer Yogyakarta