Oleh: Agung Wilis, Aktivis IMM Cabang Malang medio 80-an
BANDUNGMU.COM — Pada hari Jumat, 27 Mei 2022, pukul 10.00 WIB Buya Syafii Maarif, seorang intelektual muslim yang sangat berpengaruh di negeri ini perpulang ke rahmatullah.
Tentu kita semua berduka sekaligus merasa kehilangan atas wafatnya Pak Syafii Maarif sebagai guru bangsa.
Kendati begitu, masih ada sebagian umat muslim yang menganggap berpulangnya Buya sebagai tokoh pluralis tidak perlu merasa kehilangan.
Bahkan, ada yang menghakimi Buya seorang liberalisme. Itu hak mereka karena dirinya merasa benar dan paling Islam dari Buya.
Pak Syafii Maarif adalah tokoh kelahiran Minangkabau, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, seorang tokoh besar yang merangkak dari bawah.
Kecintaannya terhadap Islamlah yang mendorong beliau belajar ilmu pengetahuan dengan tekun sampai mengenyam kuliah di Universitas bergengsi di Amerika, University of Chicago, sebagaimana Dr Nurcholis Madjid PhD dan Dr Amien Rais MA PhD.
Dr Nurcholis Madjid telah berpulang terlebih dahulu, kini Dr Syafii Maarif MA menyusul berpulang ke rahmatullah dan tinggal Dr Amien Rais yang masih sehat. Semoga Pak Amien Rais selalu barokah dan dalam rahmat-Nya. Amin.
Trio alumni Chicago
Kita tahu bahwa trio alumni Universitas Chicago, yaitu Dr Nurcholis Madjid PhD, Dr Amien Rais MA PhD, dan Dr Syafii Maarif MA PhD mempunyai kiprah yang besar terhadap umat dan masa depan Indonesia.
Ketiganya menjadi bapak sekaligus guru bangsa yang menjadi suluh negeri ini. Ketiganya banyak mewariskan gagasan penting yang banyak ditulis melalui artikel jurnal dan buku untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Mereka bertiga mempunyai cara sendiri-sendiri dalam mendarmabaktikan hidupnya untuk bangsa. Kita menghormati cara-cara yang digunakan yang kadang kala tidak bisa diterima sepenuhnya oleh semua pihak.
Pak Nurcholis Madjid pada era 1980-an, misalnya memiliki pernyataan, sikap politik, dan pemikirannya yang menimbulkan berbagai kontroversial.
Diksi sekularisasi yang dicurigai sebagai hendak menetapkan sekularisme di Indonesia, demikian juga pernyataannya tentang Islam Yes Partai Islam No telah menimbulkan sentinen negatif terhadap beliau.
Hal demikian tidak hanya melanda Pak Nurcholis Madjid saja, hal yang sama pun dialami oleh Pak Syafii Maarif.
Salah paham tentang Buya Syafii
Buya dihakimi sebagai pembela penista agama, seorang yang menganut paham liberalisne dan pluralisme, dan seorang cebonger.
Pak Amien Rais pun tidak luput dari berbagai buli, dituduh sebagai perusak NKRI, banyak bacot, ngerecokin pemerintah, jualan agama, dan sebagainya.
Saya tidak bisa mengikuti acara takziah virtual almarhum Pak Syafii Maarif yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah karena kesibukan yang tidak bisa saya tinggalkan.
Walau begitu, saya tetap mendengar dan melihat rekamannya, tentu dengan tidak mengurangi rasa takzim saya kepada almarhum.
Tidak terasa saya sebagai seorang laki-laki bisa meneteskan air mata begitu mendengarkan sambutan Menteri Agama Pak Yaqut Cholil Qoumas dan Ketua PBNU Pak Yahya Staquf serta pengasuh pondok pesantren Lasem Rembang Pak Mustofa Bisri.
Tidak itu saja, setiap saya membaca artikel tentang Pak Syafii tidak terasa air mata pun jatuh. Ini bukan saya memuja dan mengkultuskan Buya sebagai individu, melainkan rasa kehilangan atas berpulangnya tokoh yang sangat sederhana dan bersahaja.
Kita tahu bahwa Pak Syafii adalah orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan yang ditempuh sampai ke USA adalah dorongan atas agama yang diyakininya.
Agama yang diyakininya telah mendorong untuk membaca, menggunakan pikiran, melakukan observasi, dan menuntut ilmu. Begitulah agama yang agung telah menjadi sinar dalam kehidupan Buya.
Pak Syafii saat belum menempuh studi di Chicago University, di bawah bimbingan Profesor Fazlur Rahman sempat punya keinginan yang kuat untuk mendirikan negara Islam.
Pemikiran Buya Syafii
Argumentasinya adalah karena negeri ini mayoritas berpenduduk muslim. Namun, setelah belajar ilmu pengetahuan dengan guru besar Fazlur Rahman ternyata dapat mengubah keinginan Pak Syafii untuk mendirikan negara Islam.
Dan yang dahsyat Pak Syafii berpikir bahwa Pancasila sudah final sebagai dasar negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang kita pertanyakan, mengapa ilmu pengetahuan yang dikuasai seseorang bisa menggeser pikiran usang yang pernah diyakini? Siapa yang salah atas pergeseran pemikiran yang demikian itu?
Sebenarnya bukan Pak Syafii saja yang mengalami pergeseran pemikiran, melainkan hampir semua orang yang menempuh pendidikan dalam ruang dan waktu akan mengalami hal yang sama dengan cara yang berbeda-beda.
Begitu pentingnya menguasai ilmu pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang mampu melihat persoalan dengan lebih objektif.
Objektivitas dalam mengambil keputusan kadang kala berhadapan dengan realitas masyarakat pada umumnya.
Nah, begitulah Pak Syafii dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada objektivitas atas realitas harus berhadapan dan siap dicaci maki, difitnah, dibenci termasuk yang dilakukan oleh sebagian anak-anak Muhammadiyah sendiri.
Namun, Buya Syafii tidak peduli dengan gonggongan yang dianggap tidak penting itu. Terus terang, pada waktu itu penulis termasuk yang ikut menggonggong.
Setelah saya renungkan gonggongan yang pernah saya lakukan, seperti gonggongan orang yang tidak berilmu pengetahuan dan tidak berakhlak. Jadi sangat lucu Pak Syafii yang berakhlak mulia digonggongin oleh orang-orang seperti saya.
Pak Syafii bukanlah orang dari keluarga bangsawan, melainkan berasal dari keluarga biasa. Oleh karena itu, beliau mudah tersentuh kalau ada orang lain menderita dan hidup susah.
Mantan guru SD Muhammadiyah di Mataram, Lombok, itu adalah orang yang tidak begitu tertarik akan harta dan popularitas.
Semua urusan yang dianggap tidak penting itu ditinggalkan dan beliau memilih merawat kehidupan bangsa melalui gagasan-gagasannya untuk menyelamatkan negeri dari perpecahan dan kepunahan.
Menurut saya, cara pandang Buya setelah menempuh pendidikan di Chicago lebih keren. Bergesernya cara pandang Buya karena penguasaan ilmu pengetahuan yang semakin luas disertai metodologi seorang lulusan PhD tentu kajiannya lebih kritis, rasional, objektif, tajam, serta terpercaya.
Realitas umat
Rasionalitas dan objektivitas yang digunakan Buya dalam melihat realitas umat Islam dan negara Indonesia.
Beliau mencoba untuk mengayomi seluruh anak bangsa dengan berbagai latar belakang tanpa terkecuali.
Di negeri ini ada sebagian entitas umat Islam yang suka bikin bom bunuh diri yang merusak kemanusiaan. Pun kekerasan, radikalisme, dan intoleransi marak terjadi.
Ada pula yang merasa mayoritas ingin diperlakukan istimewa sehingga banyak komunitas lain yang merasa hidup was-was dan ketakutan hidup di negeri ini, bahkan di antara umat Islam saling mempersekusi.
Di sisi lain lemahnya kepemimpinan nasional dan cengkeraman kaum komprador dan oligarki serta praktek korupsi yang marak di mana-mana, baik di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Dari persoalan sulit yang melilit bangsa ini membuat Pak Syafii Maarif berpikir keras dari mana proyek penyelamatan bangsa ini harus dimulai untuk menyongsong masa depan Indonesia yang sebagaimana dicita-citakan The Founding Father kita.
Bagi Pak Syafii negara ini adalah amanah yang diwariskan oleh pendiri bangsa yang merupakan hasil kesepakatan bersama.
Negara harus diselamatkan apabila terdapat persoalan di sana sini. Inilah pemikiran sang intelektual dalam bidang sejarah yang bekerja setelah melihat masa lalu dan masa kini mengenai bangsa dan negara.
Tidak mudah untuk melakukan itu semua. Diperlukan kesabaran, ketulusan, keberanian, dan kecerdasan menyusun konsep atas persoalan yang telah dirumuskan itu.
Tidak banyak orang punya kemampuan itu. Adapun mereka yang mampu melakukan hal yang demikian di antaranya Nurcholish Madjid, Amien Rais, dan Buya Syafii, serta tentu yang lainya.
Pertama Pak Syafii untuk memperbaiki hubungan interaksi antar masyarakat dari berbagai golongan suku dan ras.
Pak Syafii tidak menginginkan adanya kendala psikologi komunikasi sesama anak bangsa. Tidak boleh sesama anak bangsa saling membenci dan mencela karena Buya menggalakkan toleransi di tengah pluralitas bangsa.
Antara sekularisasi dan pluralisme
Sebagaimana yang pernah dilakukan Nurcholis Madjid atas konsep sekularisasi yang banyak disalahpahami oleh kaum muslimin.
Mereka yang salah paham karena menganggap bahwa sekularisasi hendak menetapkan paham sekularisme.
Tentu berbeda sekularisme sebagai faham filsafat sebagai pemisahan agama dan politik kekuasaan dengan sekularisasi sebagai proses sosial dalam masyarakat.
Bahkan lebih jauh Nurcholis Madjid mengatakan bahwa sekularisasi itu merupakan desakralisasi dan seterusnya.
Pluralitas itu suatu keniscayaan karena kitab suci juga membenarkan. Keberadaan dari mahluk itu sesungguhnya jamak, yang tunggal itu hanya Tuhan.
Sedangkan pluralisme adalah pemahaman yang berisi kajian-kajian filosofis atas pluralitas. Namun sayang, pluralisme hanya dipahami dengan makna yang sempit, hanya terbatas pada agama semata.
Pluralisme itu kajian filosofis realitas atas pluralitas. Pluralisme mengajarkan tentang persamaan atas sesama manusia, mengakui akan keberadaan orang lain, agama lain, suku lain, dan budaya.
Intinya, pluralisme adalah mengajarkan manusia bisa menghormati harkat kemanusiaan manusia tanpa dibatasi oleh berbagai sekat-sekat.
Dan pluralisme itu saya pikir turunan dari ajaran kitab suci, lebih tepatnya pluralisme itu tafsir atas realitas plural.
Kemudian bagaimana dengan Ahok? Menurut saya, sikap Pak Syafii terhadap Ahok jelas. Bagi Buya, Ahok telah berbuat keliru, di antaranya, pertama bukan kapasitas Ahok berbicara yang tidak dikuasainya.
Kedua, Ahok sering bicara di luar kapasitasnya. Barangkali Ahok dikelilingi oleh orang-orang yang kurang kompeten sehingga tidak menenteramkan, tapi justru membuka permusuhan yang tidak berkesudahan.
Namun demikian, Pak Syafii juga meminta masalah Ahok bisa diselesaikan melalui proses hukum yang adil.
Jangan sampai Ahok, apabila benar tidak diterima dengan lapang, tapi sebaliknya diterima dengan lapang dada, apabila Ahok berbuat salah hendaknnya hukumannya sesuai dengan kesalahannya.
Jadi, sebenarnya Buya hanya meminta agar kedua belah pihak untuk legowo terhadap hasil yang diputuskan pengadilan.
Namun, yang terjadi Pak Syafii malah dituduh sebagai pembela penista agama, liberal, dan banyak lagi tuduhan keji yang diarahkan kepada beliau.
Tidak sekedar dituduh pembela penista agama melalui berbagai kampanye hitam, beliau dituduh sebagai cebong.
Waktu itu, Pak Syafii dekat, bahkan ada di dalam kekuasaan, tapi beliau tidak kehilangan daya kritisnya.
Berani mengkritik pemerintah
Bahkan beliau adalah orang yang berada di dalam yang turut serta memberi masukan kepada presiden bahkan berani mengkritik presiden.
Saya pikir, di luar Pak Amien Rais mengkritik pemerintah sebagai oposan, sementara Pak Syafii berada di dalam meredam kekuasaan agar mendengar kritik yang bermanfaat.
Dengan kata lain, di dalam, Pak Syafii menjaga, di luar Pak Amien meminta agar Pak Jokowi tidak diturunkan di tengah jalan. Keduanya penjaga Pancasila dan konstitusi.
Konsern beliau tidak saja mengenai persoalan kemanusiaan dan keadilan, tapi Pak Syafii berpikir carut merut negeri ini karena para pemimpin tidak kunjung mampu meredam korupsi.
Bagi beliau, korupsi adalah musuh besar yang sangat menakutkan bangsa ini karenanya beliau turut serta mendorong KPK untuk kerja keras dan melawan atas upaya pengkerdilan KPK.
Bagi beliau mendorong pemerintah untuk menunaikan sila ke-5 yaitu keadilan dan kesejahteraan sosial bagi rakyat Indonesia adalah sebuah keharusan.
Sebab, bila gagal mewujudkan sila ke-5 dari Pancasila dianggap akar persoalan bangsa ini dalam menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi rakyat Indonesia.
Yang menarik, bagi beliau, Pancasila sudah final buat negeri ini. Persoalannya tinggal merawat dan menerapkan saja.
Saran buat Nadiem Makarim
Buya bahkan memberikan saran kepada Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk membumikan Pancasila kepada generasi muda.
Tak lama setelah itu, akhirnya bekas bos Gojek itu menghadirkan Kurikulum Merdeka Belajar.
Pada kurikulum tersebut, salah satunya memuat mata pelajaran Pendidikan Pancasila yang bisa dipelajari melalui praktik dan pembelajaran berbasis projek. Sehingga generasi muda dapat langsung mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila.
Buya juga selalu menjelaskan bahwa Pancasila harus menjadi living ideology dan walking ideology. Bahkan, Buya sangat berjasa dalam mengembalikan pendidikan Pancasila.
Saya pikir teman-teman Muhammadiyah terlalu prematur menghakimi Buya, persis seperti saya saat itu yang salah paham terhadap pikiran-pikiran beliau dalam merawat kemajemukan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.***