PMB Uhamka
News

Dari Jiwa Hidup ke Teks Mati: Sastra dalam Cengkeraman Kurikulum

×

Dari Jiwa Hidup ke Teks Mati: Sastra dalam Cengkeraman Kurikulum

Sebarkan artikel ini

Oleh: Nashrul Mu’minin*

Kurikulum pendidikan di Indonesia sering kali terjebak dalam pola yang seragam, baku, dan berorientasi pada ujian. Sastra—yang sejatinya hidup, cair, dan dekat dengan denyut nadi manusia—sering kali justru diposisikan sebagai teks mati.

Pelajar diajak menghafal judul karya, nama pengarang, dan tahun terbit, tetapi jarang diberi ruang untuk menghayati nilai estetik dan humanistik di balik teks tersebut.

Inilah masalah utama: sastra yang semestinya menyuburkan kepekaan justru dibekukan oleh sistem kurikulum yang kaku. Akibatnya, anak didik lebih memandang sastra sebagai beban akademik ketimbang sumber inspirasi hidup.

Kondisi ini diperparah oleh fakta bahwa minat baca sastra di kalangan pelajar menurun. Data Badan Pusat Statistik (2023) menunjukkan hanya sekitar 17,6 persen pelajar Indonesia yang memilih membaca buku sastra secara sukarela. Sementara itu, 62 persen lebih suka mengonsumsi konten digital hiburan.

Fenomena ini bukan sekadar cerminan pergeseran budaya, melainkan hasil dari cara kurikulum memperlakukan sastra. Alih-alih menghadirkan sastra sebagai ruang apresiasi kreatif, kurikulum menjadikannya bahan hafalan yang kering.

Padahal, jika dikelola dengan tepat, sastra bisa menjadi media refleksi sosial sekaligus sarana pembentukan karakter yang jauh lebih kuat daripada sekadar rumus angka.

Baca Juga:  Fakultas Saintek UM Bandung Jalin Kerja Sama dengan Fakultas Farmasi Unpad

Lemahnya daya tarik sastra

Paradoks muncul ketika tujuan pendidikan nasional menekankan pengembangan potensi manusia seutuhnya, termasuk kepekaan rasa, empati, dan imajinasi. Namun, implementasi di lapangan sering kali berbanding terbalik.

Siswa dicekoki standar soal pilihan ganda tentang makna puisi Chairil Anwar, alih-alih diajak menulis puisi dari pengalaman pribadi. Akibatnya, jiwa hidup sastra tidak sampai kepada mereka.

Hal ini sejalan dengan temuan penelitian Bodnet (2020) yang menunjukkan bahwa 62 persen anak usia 10–18 tahun lebih memilih game daripada pertunjukan budaya tradisional, termasuk sastra lisan. Ini membuktikan lemahnya daya tarik sastra di dunia pendidikan formal.

Kurikulum yang membekukan sastra juga mempersempit ruang guru. Guru sering terjebak dalam tekanan target pencapaian materi ketimbang mengembangkan metode kreatif.

Padahal, penelitian Wulandari (2021) menemukan bahwa siswa yang diberi metode pembelajaran apresiasi interaktif—misalnya melalui drama, musikalisasi puisi, atau pementasan—menunjukkan peningkatan apresiasi sastra hingga 48 persen lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran konvensional.

Dengan kata lain, kurikulum tidak hanya mematikan sastra. Namun, membatasi daya inovasi pengajar yang semestinya menjadi jembatan antara teks dan kehidupan siswa.

Baca Juga:  Jalani Praktikum Peradilan Agama, Ini Cerita dan Pengalaman Mahasiswa Prodi HKI UM Bandung

Selain itu, kemajuan teknologi digital juga seharusnya dapat dijadikan peluang. Bukan musuh. Saat ini, rata-rata anak Indonesia menghabiskan 5–6 jam per hari di depan layar gadget (We Are Social, 2024).

Jika kurikulum mampu memadukan sastra dengan dunia digital, misalnya melalui proyek membuat konten sastra kreatif, podcast, atau film pendek berbasis cerpen, sastra dapat kembali bernyawa dalam keseharian siswa.

Sayangnya, hingga kini kurikulum masih lebih banyak mengandalkan metode konvensional. Kebekuan itu membuat siswa gagal melihat relevansi sastra dengan realitas mereka.

Menurut saya, masalah utama bukan hanya pada siswa yang enggan membaca. Namun, pada paradigma kebijakan pendidikan yang masih menempatkan sastra sebagai pelengkap, bukan inti.

Padahal, dalam konteks bangsa yang plural, sastra bisa menjadi ruang dialog identitas dan empati sosial. Sastra memberikan kesempatan bagi anak untuk masuk ke dalam perspektif orang lain, mengasah rasa kemanusiaan yang tak bisa dipelajari dari angka statistik.

Jika kurikulum terus mematikan aspek ini, kita akan melahirkan generasi yang cerdas secara kognitif tetapi miskin imajinasi dan kepekaan.

Baca Juga:  Wakil Rektor UM Bandung Tekankan Tiga Nilai Dasar Kepemimpinan Kepada Pengurus BEM Baru

Oleh karena itu, penting ada reposisi kurikulum sastra. Pemerintah dan penyusun kurikulum seharusnya tidak hanya menekankan hafalan pengetahuan, tetapi keterampilan mengapresiasi dan mencipta.

Misalnya, menilai siswa bukan dari seberapa banyak karya sastra yang mereka hafal, melainkan dari sejauh mana mereka mampu mengekspresikan diri lewat karya baru.

Kurikulum seharusnya menjadi alat yang menghidupkan sastra, bukan membekukannya. Jika tidak, peran sastra sebagai jiwa pendidikan akan terus terpinggirkan, bahkan hilang.

Simpulannya, sastra dalam kurikulum Indonesia saat ini terjebak dalam kebekuan, kehilangan roh, dan menjadi teks mati. Padahal, sastra adalah bagian penting dari pendidikan yang menumbuhkan empati, imajinasi, dan humanisme.

Data tentang rendahnya minat baca, pola pembelajaran yang kaku, serta dominasi budaya digital menunjukkan adanya kesenjangan besar antara potensi sastra dan realitas kurikulum.

Menurut saya, perlu ada reformasi serius dalam kurikulum sastra agar lebih kontekstual, kreatif, dan sesuai dengan dunia siswa hari ini.

Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan generasi yang semakin jauh dari sastra, padahal justru di sanalah tersimpan kekuatan besar untuk membentuk manusia seutuhnya.***

*Content Writer Yogyakarta

PMB Uhamka