Oleh: Ace Somantri*
BANDUNGMU.COM – Memasuki era milenium, dunia menyaksikan peralihan besar di antara generasi. Baby boomers telah melewati masa kejayaannya, dan kini dunia bergerak dari era milenial menuju generasi alfa. Di permukaan media sosial, remaja usia belia menjadi penikmat utama yang aktif berselancar di dalamnya.
Pada saat yang sama, perkembangan teknologi digital meluas dengan cepat, memasuki semua aspek kehidupan tanpa permisi. Bahkan, teknologi ini sering kali datang secara tiba-tiba, memaksa perubahan tanpa kompromi dan mendisrupsi tatanan yang ada. Akibatnya, berbagai sektor kewalahan menghadapi gelombang perubahan ini, yang berujung pada kejatuhan bagi mereka yang gagal beradaptasi.
Realitas hari ini menunjukkan fakta pahit: gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menerjang seperti banjir bandang, menghantam industri yang tidak mampu bertransformasi. Banyak perusahaan harus menelan pil pahit berupa kebangkrutan, kerugian, hingga gulung tikar, meninggalkan jejak yang menyakitkan bagi para pekerja dan pelaku industri.
Peralihan menuju abad digital telah membawa disrupsi besar yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk dunia industri. Banyak faktor yang menyebabkan turbulensi tajam, hingga merusak berbagai instrumen penting dalam tubuh industri, yang pada akhirnya sulit untuk dipulihkan. Salah satu tantangan utama adalah transformasi sumber daya manusia, yang merupakan ujung tombak perusahaan.
Untuk menghadapi era digital, banyak perusahaan mengganti tenaga kerja mereka dengan generasi yang lebih akrab dengan teknologi, yaitu generasi milenial. Namun, adaptasi generasi ini terhadap dunia industri yang penuh tantangan ternyata tidaklah mudah. Banyak dari mereka menghadapi masalah kepribadian yang berdampak pada etos kerja. Salah satu masalah umum yang dihadapi adalah terkait mentalitas mereka.
Generasi milenial, yang kini lebih dikenal sebagai Gen-Z, sering kali sulit bertahan lama di satu perusahaan. Ketika memasuki dunia kerja, mereka cenderung berpindah-pindah pekerjaan dengan alasan merasa tidak betah atau menganggap pekerjaan tersebut monoton. Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri dalam menjaga stabilitas tenaga kerja mereka.
Berita dan artikel opini di media online kerap membahas fenomena perusahaan yang ramai-ramai memutuskan hubungan kerja dengan karyawan Gen-Z. Alasan yang sering diungkapkan perusahaan berpusat pada ketidakseimbangan antara kemampuan teknis dan sikap kerja. Analisis lebih mendalam menunjukkan bahwa penyebab utamanya terletak pada sikap mental serta kelemahan dalam kemampuan soft skill yang dinilai masih rapuh.
Tantangan bagi pelaku industri semakin kompleks. Selain harus menghadapi disrupsi teknologi serta tekanan ekonomi makro dan mikro, mereka juga dihadapkan pada sumber daya manusia yang sulit bertransformasi. Generasi baru, seperti Gen-Z, sering kali dianggap belum memiliki mentalitas dan soft skill yang andal serta tangguh. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya penempaan dalam lingkungan keluarga dan institusi pendidikan, yang seharusnya berperan penting dalam memperkuat kemampuan soft skill mereka.
Fakta menunjukkan bahwa secara umum, Gen-Z sering kali tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak membentuk karakter mandiri. Dalam dekade ini, mereka cenderung hidup dalam kondisi yang nyaman dan aman, bahkan kerap dimanjakan oleh orang tua. Pola ini sangat berbeda dengan generasi 40 tahun lalu, di mana kebanyakan anak tumbuh dalam lingkungan yang keras dan penuh disiplin karena tuntutan kondisi orang tua saat itu.
Sebaliknya, Gen-Z cenderung lebih sensitif terhadap tekanan. Sedikit dimarahi atau ditegur, mereka mudah merasa kesal, murung, bahkan putus asa. Mentalitas ini dibentuk oleh pola pengasuhan orang tua yang cenderung permisif, serta pengaruh kuat media sosial yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Android dan smartphone telah menjadi perangkat utama bagi semua generasi, mulai dari anak-anak hingga lansia, dengan berbagai aplikasi media sosial yang terus berkembang dan memengaruhi pola pikir serta perilaku mereka.
Berdasarkan sejumlah analisis dari berbagai media, salah satu alasan utama mengapa industri banyak melakukan PHK terhadap Gen-Z adalah rendahnya motivasi dan inisiatif kerja di kalangan mereka. Data dari detik.com menunjukkan bahwa 35-45 persen dari penyebab PHK ini berkaitan dengan faktor tersebut, bahkan angka ini bisa mencapai 50 persen. Kondisi ini menjadi catatan yang cukup memprihatinkan.
Hal ini sangat mungkin dipengaruhi oleh pola asuh yang terlalu memanjakan sejak usia dini. Banyak dari Gen-Z tumbuh dalam lingkungan yang serba “disuapi.” Sejak kecil, mereka terbiasa dilayani, seperti disuapi saat makan, diarahkan dalam memilih aktivitas, hingga dimanjakan dalam berbagai hal. Contohnya, permainan dipilihkan oleh orang tua, sekolah ditentukan tanpa melibatkan keinginan anak, diantar-jemput setiap hari, hingga diberikan mainan mahal tanpa usaha.
Selain itu, mereka kerap mendapatkan kemudahan seperti makanan enak, kendaraan pribadi, hingga diajari mengemudi meskipun belum cukup usia. Dalam banyak kasus, cukup dengan menangis atau menunjukkan sikap uring-uringan, Gen-Z bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bahkan, ancaman tidak mau sekolah atau hal lainnya sering kali membuat orang tua khawatir dan akhirnya menuruti keinginan mereka. Pola ini secara tidak langsung membentuk mentalitas yang kurang tangguh dalam menghadapi tantangan di dunia kerja.
Dalam perspektif psikologi, perkembangan manusia dimulai sejak dalam kandungan hingga tumbuh menjadi dewasa. Sifat dan karakter dasar yang terbentuk selama masa kandungan menjadi fondasi penting dalam tumbuh kembang seseorang menuju kedewasaan. Berbagai tahapan pertumbuhan dan perkembangan manusia telah dijelaskan, termasuk masa remaja dan awal dewasa, yang menjadi fase penting ketika seseorang mulai mengenal dunia kerja.
Pada tahap awal bekerja, individu menghadapi berbagai tuntutan untuk memenuhi standar profesionalitas, seperti mematuhi jam kerja yang telah ditentukan, yang memerlukan kedisiplinan waktu. Generasi sebelum era digital, secara umum, memiliki rasa tanggung jawab yang cukup baik, sehingga banyak pekerja yang mampu bertahan belasan hingga puluhan tahun dalam satu perusahaan, membangun karir yang stabil.
Namun, sejak masuknya era digital, yang bertepatan dengan munculnya generasi milenial dan Gen-Z, terjadi pergeseran signifikan dalam sikap dan perilaku. Pergeseran ini membawa dampak besar pada pembentukan karakter, terutama dalam konteks dunia kerja dan kehidupan sosial mereka.
Dari pengamatan subjektif, perilaku Gen-Z saat ini menunjukkan pergeseran signifikan dalam hal kematangan berpikir dan bersikap dibandingkan generasi sebelumnya pada usia yang sama. Salah satu faktor utama yang memengaruhi perbedaan ini adalah lingkungan keluarga, termasuk pola pengasuhan dan pendidikan yang diterapkan di rumah maupun di sekolah.
Faktor dominan yang membentuk karakter Gen-Z adalah sikap orang tua yang cenderung overprotektif. Kekhawatiran berlebihan membuat orang tua sering memenuhi segala kebutuhan anak tanpa melibatkan mereka dalam usaha untuk mencapainya, bahkan memantau aktivitas sehari-hari secara berlebihan.
Akibatnya, anak-anak tumbuh dalam zona nyaman, sering dimanjakan, dan terbiasa hidup di bawah tekanan halus. Hal ini menyebabkan mereka kurang mandiri dan tidak kritis dalam menghadapi tantangan, sehingga sikap dan pola pikir mereka menjadi kurang matang seiring bertambahnya usia.
Fenomena PHK massal terhadap karyawan Gen-Z akibat rendahnya kemampuan soft skill seharusnya menjadi perhatian serius bagi orang tua dan penyelenggara pendidikan. Hal ini mengharuskan adanya evaluasi mendalam terhadap pola asuh, metode pendidikan, dan cara menumbuhkembangkan anak agar sesuai dengan kebutuhan zaman. Tujuannya adalah menciptakan generasi Gen-Z yang tangguh, memiliki mentalitas kuat, dan mampu beradaptasi dengan berbagai tantangan kehidupan nyata.
Kenyataan bahwa banyak Gen-Z kesulitan mempertahankan diri terhadap tantangan, rintangan, dan tekanan hidup menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih sistematis. Penelitian psikologis yang detail dan terstruktur sangat dibutuhkan untuk mengidentifikasi penyebab utama permasalahan ini sekaligus memberikan rekomendasi penanganan yang tepat.
Selain itu, penting untuk meningkatkan kurikulum di sekolah dan perguruan tinggi dengan menambahkan materi soft skill yang relevan. Hal itu berdasarkan saran dan rekomendasi dari para psikolog guna membekali Gen-Z menghadapi dunia kerja dan kehidupan dengan lebih baik.
Mentalitas dan kemampuan soft skill setiap individu sangat bervariasi, tergantung pada latar belakang kehidupan masing-masing. Sayangnya, sistem pendidikan formal selama ini cenderung kurang memberikan perhatian pada metode dan model pembelajaran yang secara sistematis memperkuat soft skill. Fokus utama masih terarah pada pendekatan yang cognitive-oriented, yang sering kali bersifat kaku dan kurang relevan dengan kebutuhan perkembangan anak.
Praktik pendidikan dan pengajaran yang tidak tepat sasaran, strategi pengembangan minat dan bakat yang kurang efektif, serta minimnya pendekatan spiritual menjadi faktor yang memengaruhi kualitas mental anak. Ditambah lagi, kurangnya pemetaan yang akurat terkait tumbuh kembang anak dan data minat bakat menjadikan potensi anak sering kali tidak terkelola dengan baik. Orang tua dan penyelenggara pendidikan, pada umumnya, cenderung mengabaikan pentingnya aspek ini.
Dampaknya, kekurangan ini baru terasa ketika anak tumbuh dewasa dan harus menghadapi tantangan kehidupan yang keras dan penuh tekanan. Ketidakmampuan mengatasi situasi tersebut dapat sangat merugikan mereka di kemudian hari. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar