BANDUNGMU.COM – Sebagian masyarakat Indonesia menganggap kalau makan tidak dengan sambal, rasanya tidak pas. Apapun jenisnya, kalau makan dengan sambal, dipastikan makan terasa lebih nikmat walaupun keringat bercucuran menahan pedas.
Namun saat ini harga cabai bahan utama membuat sambal sedang mahal. Banyak pedagang dan masyarakat umum mengeluh dengan pedasnya harga cabai ini. Berbagai siasat pun dilakukan.
Dilansir bandungmu.com dari sindonews.com, masyarakat diminta dapat melakukan pengawetan sendiri pada saat harga cabai sedang murah serta menggerakkan masyarakat rumah tangga untuk dapat bertanam aneka cabai di pekarangan. Hal ini agar tidak terpengaruh saat terjadi lonjakan harga cabai seperti saat ini, yakni harga cabai rawit merah menyentuh angka Rp120.000 per kilogram (Kg).
”Sehingga tidak terlalu terpengaruh apabila terjadi lonjakan harga cabai di pasaran,” ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian (Kementan), Tommy Nugraha, di Jakarta, Minggu (14/3).
Ia juga menerangkan, terus memberikan edukasi agar masyarakat mengkonsumsi cabai olahan.
”Kita terus mengedukasi masyarakat untuk mengkonsumsi cabai olahan (kering, bubuk, pasta, sambal botol, saus) sehingga tidak bergantung kepada cabai segar,” katanya.
Ditekankan juga oleh Tommy bahwa pada bulan April depan diprediksi pasokan sudah aman sehingga tidak perlu impor cabai.
”Data Early Warning System (EWS) kita menunjukkan neraca produksi cabai rawit surplus sebesar 42 ribu ton di bulan April dan 48 ribu ton di bulan Mei,” ungkapnya.
Ditegaskan juga olehnya saat ini Kementerian Pertanian dan BUMN sebagai off taker akan mendorong petani menerapkan inovasi rainshelter untuk melakukan tanam pada bulan off season (Juli-Agustus). Untuk menjaga pasokan cabai di DKI Jakarta sebagai barometer harga komoditas nasional, perlu ada buffer stock berupa standing crop di wilayah-wilayah daerah penyangga yang dapat dikendalikan Pemerintah.
Sebelumnya harga cabai rawit mengalami kenaikan dipacun pasokan yang berkurang akibat berbagai faktor. Mulai dari berkurangnya pertanaman karena rendahnya harga sepanjang 2020 akibat pandemi Covid-19. Ditambah dengan faktor cuaca ekstrim (La Nina) yang mengganggu produksi hingga bencana alam yang merusak pertanaman di beberapa wilayah sentra produksi.