BANDUNGMU.COM, Bandung — Puluhan wajah, momen, dan ritual lama kembali hidup di sebuah ruangan Galeri Taman Budaya Sumatra Barat, Padang. Sejak 24 Oktober hingga 10 November 2025, budayawan Sumatra Barat Edy Utama menghadirkan Pameran Etnografi Islam di Minangkabau sebagai upaya merekam hubungan sakral antara adat dan Islam yang kini semakin memudar.
Pameran ini tidak sekadar menampilkan foto. Edy membawa pengunjung menyusuri perjalanan panjang selama dua dekade. Sejak 2005, ia menjelajahi nagari-nagari, masuk ke pelosok sawah, surau, hingga pematang sungai untuk mendokumentasikan ritual yang perlahan hilang ditelan zaman.
“Ada bahaya besar kalau adat Minangkabau terancam,” ujarnya saat pembukaan pameran, Jumat, 24 Oktober 2025.
80 Bingkai, Jejak Ritual yang Hampir Punah
Sebanyak 80 foto memenuhi ruang pamer. Setiap bingkai merekam suasana yang kini sulit ditemui. Salah satunya menampilkan prosesi makan dan doa di tengah sawah menjelang panen—ritual yang sudah lama tak lagi berlangsung. Foto lain memperlihatkan Naiak Kapalo Banda, upacara memotong kerbau dan membersihkan saluran irigasi secara gotong royong.
“Tradisi ini terakhir saya saksikan pada 1995,” kata Edy.
Ia menegaskan bahwa seluruh foto lahir dari proses dokumentasi panjang. Meski ia menyimpan arsip sejak 1993, Edy hanya memamerkan foto yang lengkap secara naratif. “Foto tertua yang saya pajang berasal dari 2005,” ujarnya.
Ketika Adat dan Islam Menyatu dalam Kehidupan
Edy menilai adat dan Islam di ranah Minangkabau pernah menyatu sangat erat. Ia mencontohkan haul Syekh Ibrahim Maulana di Balinduang, Kumpulan, Surabatu. Dalam tradisi ini, 36 penghulu memasak gulai dalam kancah besar untuk ribuan peziarah.
Ia juga merekam doa para petani sebelum menanam bibit yang mereka bawa ke surau, serta tradisi balimau yang dahulu berfungsi sebagai ritual penyucian diri, bukan sekadar acara mandi massal.
Sakralitas yang Perlahan Berubah Jadi Tontonan
Di balik keindahan visual, Edy menyimpan kegelisahan. Ia melihat banyak ritual adat yang kini berubah menjadi festival.
“Ketika ritual berubah jadi festival, sakralitasnya hilang. Ia menjadi tontonan, bukan lagi sarana memperkuat ketahanan spiritual,” ujarnya.
Ia mengingatkan agar Sumatra Barat tidak mengulangi pengalaman Bali yang kehilangan banyak budaya sakral akibat sekularisasi. Menurut Edy, kebijakan pembinaan masyarakat sering hanya menyentuh permukaan. “Ritus-ritus ini adalah hulunya. Kalau hulunya goyah, spiritualitas ikut hilang,” tegasnya.
Tabuik Pariaman dan Proses Pribumisasi Budaya
Salah satu foto yang paling menyedot perhatian pengunjung adalah potret Tabuik Pariaman. Edy menampilkannya bukan semata karena kemegahannya, melainkan karena paradoks yang menyertainya.
“Di dunia ini, hanya di Pariaman orang Sunni merawat budaya Syiah tanpa menjadi Syiah,” katanya.
Tradisi Tabuik berasal dari komunitas Syiah India. Seiring waktu, ulama dan ninik mamak setempat menegosiasikan tradisi ini dengan nilai Islam Sunni dan adat Minangkabau. Proses pribumisasi tersebut menghapus unsur yang bertentangan dengan keyakinan lokal.
Bagi Edy, Tabuik juga berperan sebagai mekanisme sosial. Dua kelompok yang sebelumnya berhadap-hadapan akan berdamai setelah masyarakat melarung Tabuik ke laut.
“Tabuik itu sistem pengelolaan konflik,” ujarnya. “Perdamaian datang dengan cara yang luar biasa.” ***(IK22/Furqon)

