Oleh: Ace Somantri*
PILU dan menyayat hati. Itulah ungkapan yang disampaikan Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM), dalam Upacara Hari Kebangkitan Nasional.
Ia mempertanyakan ke mana suara lantang para pejuang perlindungan hak-hak anak, ketika di sudut-sudut kota justru banyak remaja usia sekolah yang terjerumus dalam perilaku menyimpang: minum ciu, balapan liar, bermain game online hingga larut malam, bahkan terlibat tawuran yang merenggut nyawa.
Tak hanya itu, pemandangan memilukan juga tampak di jalanan kota. Anak-anak usia sekolah dengan pakaian lusuh dan tubuh kotor mengamen, meminta-minta uang receh demi bertahan hidup. Potret buram ini menjadi ironi di tengah gencarnya kampanye perlindungan anak.
Tak hanya itu, pemandangan menyedihkan lainnya pun kerap terlihat: para ibu muda menggendong anak-anak balitanya, duduk di trotoar pertigaan jalan, menadahkan tangan berharap belas kasihan dari para pejalan kaki. Hasil yang mereka peroleh hanya cukup untuk sekadar makan, bahkan sebagian justru digunakan untuk membeli rokok atau menghirup lem.
Lalu, di mana pemimpin dan pejabat yang berseragam lengkap dengan lambang pemerintah daerah masing-masing? Mereka tampak sibuk luar biasa, mengejar tenggat laporan kinerja—bahkan sering harus lembur.
Namun, ironisnya, dari mana asal semua data itu? Sementara itu, masalah pelayanan publik nyaris tidak berubah, tetap seperti puluhan tahun silam: terbengkalai dan jauh dari kata tuntas.
Berakhir di meja rapat
Kajian dan diskusi tentang penyelesaian masalah sosial sering kali berakhir di meja rapat semata. Gagasan hanya bergulir dalam ruang wacana, tanpa tindak lanjut yang nyata.
Eksekusi kerap terhambat oleh dalih dan alasan yang tak berujung. Hingga akhirnya semua hasil diskusi tenggelam dalam kesunyian—meja pertemuan pun hanya menjadi saksi bisu.
Hal serupa terjadi dalam dunia akademik. Riset-riset ilmiah yang mengandung potensi besar untuk perubahan sosial hanya berakhir sebagai tumpukan kertas atau tautan di jurnal ilmiah.
Ribuan hasil penelitian tidak dipahami masyarakat luas. Tidak diakses oleh yang membutuhkan. Lebih miris lagi, riset itu hanya menjadi batu loncatan untuk kenaikan pangkat dan golongan, berujung pada angka-angka rupiah yang hampa makna.
Betapa memalukan dan menyedihkan, ketika muncul istilah “mabuk ilmu.” Apakah para akademisi Indonesia sedang mabuk ilmu? Semoga ini menjadi cermin untuk introspeksi bersama demi arah keilmuan yang lebih membumi dan bermanfaat.
Ada ratusan perguruan tinggi, hingga ribuan akademisi berbagai latar belakang disiplin ilmu. Mampukah mereka memberi kontribusi nyata tanpa harus menghitung matematika statistika dalam riset, tetapi karyanya menyelesaikan masalah didepan mata?
Setiap tahun, puluhan hingga ratusan miliar rupiah digelontorkan untuk riset. Namun, di manakah hasil nyata dan jalan keluar yang terukur bagi persoalan yang menjerat masyarakat kecil dan awam?
Sayangnya, banyak penelitian yang berhenti sebagai syarat pemenuhan tugas tridharma, demi tembus ke jurnal-jurnal bereputasi nasional dan internasional. Riset seolah-olah kehilangan ruh pengabdian. Jauh dari denyut nadi persoalan rakyat dan hanya jadi angka di laporan akademik.
Alih-alih membawa perubahan, hasil riset yang terpampang di jurnal-jurnal bereputasi justru dirayakan dengan euforia kebanggaan—meski tak berdampak nyata bagi masyarakat. Padahal, kehadiran para akademisi sangat dinanti di tengah kemelut persoalan sosial yang kian kompleks.
Ironisnya, nyaris tidak terdengar suara lantang dari mereka yang kerap mengklaim diri sebagai agent of change. Peran strategis untuk mengubah masyarakat—dari yang tak paham menjadi paham, dari yang tak mampu menjadi berdaya—justru luput dari perhatian.
Padahal, para akademisi memiliki “pasukan” yang luar biasa: ratusan hingga ribuan mahasiswa, calon ilmuwan muda dari berbagai disiplin ilmu, yang siap digerakkan untuk perubahan jika saja arah perjuangannya benar-benar membumi.
Harapan baru
Hari ini, secercah harapan baru muncul dari sosok pemimpin Jawa Barat. Kiprah dan kebijakan yang ia ambil mulai membuka ruang optimisme bagi masyarakat.
Publik sempat terkejut—antara percaya dan ragu—bertanya-tanya: apakah ini sekadar pencitraan demi popularitas, atau benar-benar wujud transparansi dan keberpihakan nyata?
Masalah-masalah klasik di ruang-ruang publik yang selama ini tidak tersentuh, diselesaikannya dalam hitungan hari. Langkah-langkah cepat ini memantik pro dan kontra di kalangan berbagai pihak.
Namun, terlepas dari segala kontroversi, harapan itu terus hidup. Apa yang dilakukannya membuka mata dan telinga publik hingga menggema ke seluruh penjuru negeri.
Kini, perhatian banyak orang tertuju pada kanal digital milik KDM yang tiad henti menyajikan aksi-aksi kebijakan—penuh gebrakan yang tidak jarang menimbulkan perdebatan tetapi tetap dinanti.
Teriakan lantang KDM menggema tanpa beban. Aksi-aksinya mampu menjawab para pengkritik yang hanya pandai bicara tanpa aksi mumpuni di lapangan.
Pada saat banyak pihak hanya sibuk berwacana, KDM justru bergerak nyata di lapangan. Bahkan tidak terhitung berapa banyak dana pribadi yang ia sedekahkan kepada kaum duafa tanpa sorotan berlebihan.
Walau sebagian orang melabelinya sebagai “gubernur konten,” tetapi apa yang dilakukan KDM justru membuktikan sebaliknya—tindakannya nyata, tanpa banyak retorika.
Di tengah gebrakannya, tidak sedikit pejabat lain yang mendadak kehilangan arah. Mereka terdiam di antara perbandingan yang mencolok antara ucapan dan perbuatan.
Bayang-bayang lama tentang pejabat sebagai kaum “menak” kini perlahan memudar. Melalui langkah dan keteladanannya, KDM mencoba membalik paradigma bahwa sejatinya pejabat merupakan pelayan rakyat, bukan penguasa yang berjarak.
Semoga apa yang terlihat hari ini tidk sekadar riak populisme sesaat. Namun, benar-benar menjadi awal lahirnya budaya birokrasi baru—yang lebih dekat dengan rakyat, hadir untuk melayani, dan berpihak sepenuhnya pada kepentingan masyarakat.
Disukai atau tidak, kiprah nyata KDM menuai banyak pujian dan apresiasi dari berbagai kalangan. Terutama bagi masyarakat kecil dan kaum duafa. Harapan mereka kini tertuju pada sosok KDM—pemimpin yang dikenal dekat, peduli, dan penuh kasih terhadap rakyat kecil yang gigih berjuang.
KDM telah menjadi simbol pemimpin yang welas asih dan tanggap terhadap kebutuhan masyarakat bawah. Tanpa polesan pencitraan media atau rekayasa narasi, ia justru memberi teladan melalui aksi nyata.
KDM mendorong bawahannya untuk hadir langsung di tengah persoalan rakyat. Kehadiran mereka tidak boleh ada sekat dan jarak dengan rakyat.
Beginilah cara KDM mengartikulasikan politik kekuasaan di Provinsi Jawa Barat. Ia menampilkan wajah demokrasi yang bukan sekadar prosedural, melainkan sarat dengan tanggung jawab, empati, dan ketulusan.
Bagi KDM, seorang pemimpin sejatinya adalah pembela kedaulatan rakyat. Mereka harus hadir dengan kebijakan yang menyentuh langsung kebutuhan dan suara masyarakat.
Entah dari mana pola pengelolaan negara-negara di dunia ini bermula. Hampir semuanya terinspirasi dari sistem negara-negara yang lebih dahulu dianggap maju.
Ironi demokrasi
Demokrasi pun menjadi istilah paling populer dalam kamus politik global—dipuji sebagai sistem terbaik karena menempatkan kekuasaan di tangan rakyat. Namun, dalam praktik, berbagai dalih kerap kali menutupi makna sejati demokrasi. Kedaulatan rakyat sering hanya menjadi jargon, bukan kenyataan.
Sungguh ironi—demokrasi yang seharusnya menjadi sistem yang adil dan berpihak pada rakyat, justru kerap menyembunyikan tirani di balik nama kebebasan. Semua diklaim kembali kepada rakyat, seolah-olah kekuasaan berada di tangan mereka. Namun faktanya, kekayaan para birokrat dan pejabat justru tumbuh dari keringat rakyat yang mereka wakili.
Suara jeritan rakyat semakin nyaring, tetapi diabaikan. Dalam sistem yang katanya demokratis ini, rakyat justru diperas layaknya sapi perah oleh para penguasa yang mereka pilih sendiri.
Tubuh para pejabat menggemuk, perut mereka membuncit—bukan karena kerja keras, tapi karena menghisap peluh dan darah masyarakat yang mempercayakan nasibnya pada mereka.
Tak heran jika harapan besar kini tertuju pada sosok KDM. Ia dikenal jauh dari perilaku koruptif—bahkan justru secara terbuka meminta KPK untuk turut mengawasi penggunaan anggaran di Jawa Barat.
Sebuah langkah berani. Hal tersebut sangat kontras dengan banyak pejabat lain yang justru ketakutan hanya karena mendengar nama KPK.
KDM juga dikenal ringan tangan terhadap kaum duafa dan menunjukkan kepekaan terhadap nasib remaja usia sekolah. Ia kerap menunjukkan apresiasi pada kerja keras anak-anak bangsa. Termasuk mereka yang berjualan atau membantu orang tua meski masih di bawah usia kerja.
Kepedulian dan empati itu menjadi ciri khasnya KDM. Hal itu pula yang menjadikannya sebagai sosok pemimpin yang memberi teladan nyata, bukan hanya janji-janji belaka yang tidak jelas.
Sosoknya hadir bak oase di tengah dahaga panjang rakyat jelata yang merindukan sentuhan empati dari pemimpin publik. Di tengah maraknya sikap apatis dan “mati rasa” di kalangan pejabat, kehadiran KDM menjadi perbincangan luas di jagat maya. Dunia digital pun menjadi saksi bagaimana pendekatannya yang membumi berhasil mengubah wajah relasi antara pemimpin dan rakyat.
Berbeda dari gaya “blusukan” masa lalu yang kerap dicibir sebagai pencitraan, langkah KDM kini tampil apa adanya—berbasis rekam jejak nyata. Ia tak hanya pandai berkata, tetapi mampu menyampaikan narasi yang kuat dengan argumen solutif dan terukur.
Sosok KDM tidak hanya tampil. Namun, hadir secara utuh sebagai pemimpin yang mengerti denyut kehidupan rakyatnya seraya menyelesaikan masalah-masalah mereka dengan tuntas.
Langkah-langkah nyata sang pemimpin terus menjadi sorotan publik. Salah satu kebijakan yang paling menyita perhatian adalah program penempatan remaja bermasalah di barak militer.
Kebijakan ini menuai pro dan kontra, hingga mengundang reaksi dari kalangan akademisi, pengamat, dan politisi yang menyoroti dampak serta relevansinya.
Namun, ia tetap teguh pada pendiriannya. Dengan penuh keyakinan, KDM melanjutkan program tersebut. Ia meyakini bahwa ini merupakan langkah strategis untuk membina generasi muda.
Bagi KDM, ini bukan soal pencitraan sebagai gubernur, melainkan pembuktian bahwa ide dan gagasannya dilandasi niat tulus demi masa depan anak bangsa.
Respons awal dari masyarakat pun menunjukkan dukungan luas, terutama dari kalangan orang tua—baik yang terdampak langsung maupun tidak. Banyak yang menyambut program ini sebagai harapan baru untuk membina karakter generasi muda secara lebih disiplin dan terarah.
Tidak butuh waktu lama, tahap awal program selama 14 hari di barak militer mulai menunjukkan hasil. Perubahan perilaku para remaja peserta pun mulai tampak nyata.
Bahkan, sebuah gebrakan tak terduga dilakukan: anak-anak yang sebelumnya dianggap bermasalah itu tampil sebagai petugas dalam upacara kenegaraan memperingati Hari Kebangkitan Nasional.
Langkah ini mengejutkan banyak pihak. Publik dibuat kagum sekaligus tersentak—ternyata program ini tidak sekadar wacana atau retorika belaka. Namun, benar-benar dijalankan secara nyata dan membawa dampak yang terlihat langsung.
KDM selalu menjadi sumber inspirasi yang membuat banyak orang terpesona. Setiap langkahnya sebagai Gubernur Jawa Barat kerap mengejutkan publik, bahkan publikasinya sering melampaui tokoh-tokoh nasional di Jakarta.
Dalam pidato upacara Hari Kebangkitan Nasional kali ini, ia kembali membuat banyak orang termenung, menyampaikan pesan yang sangat menyentuh sekaligus membangkitkan semangat perubahan di Jawa Barat dan Indonesia.
Dengan tegas ia berkata, “Tidak menjadi antek-antek bangsa lain,” sebuah kalimat yang seolah-olah mengkritik kebijakan negara selama ini yang dianggap telah menjadi antek bangsa lain. Wallahu’alam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat