UMBandung
Opini

Cinta, Buku, dan Literasi: Tradisi Yang Membawa Peradaban

×

Cinta, Buku, dan Literasi: Tradisi Yang Membawa Peradaban

Sebarkan artikel ini

Oleh: Sopaat Rahmat Selamet*

BANDUNGMU.COM — Dalam keseharian kita, kata “buku” mungkin sudah akrab di telinga, diucapkan sesuai lidah orang Indonesia. Asal katanya mungkin berasal dari bahasa Belanda atau Inggris, book.

Sementara itu, dalam tradisi Arab, istilahnya adalah kitabun atau daftarun. Perjalanan sejarah mencatat bahwa budaya cetak bermula dari penemuan kertas oleh bangsa Tiongkok ribuan tahun lalu. Penemuan Gutenberg atas mesin cetak kemudian menjadi tonggak perubahan besar dalam sejarah ilmu pengetahuan.

Dahulu, media untuk mencatat ilmu hanyalah kulit kayu, kulit binatang, atau bahan lain yang terbatas. Namun, seiring kemajuan teknologi, kertas menjadi medium utama yang memudahkan produksi dan penyebaran buku.

Di dunia Islam, abad pertengahan menjadi saksi kemajuan literasi yang luar biasa. Baitul Hikmah di Bagdad, Persia, menjadi simbol zaman keemasan intelektual umat Islam di era Dinasti Abbasiyah.

Buku bukan sekadar benda mati; ia adalah pintu menuju peradaban. Melalui buku, manusia mencatat, membaca, dan belajar. Buku adalah identitas intelektual, teman setia para pemikir besar, dan saksi perjalanan kemajuan dunia.

Baca Juga:  Musda IKAPI Jabar Pilih Kembali Mahpudi

Menulis untuk Kemajuan: Inspirasi dari Para Tokoh

Sejarah mencatat bagaimana para tokoh bangsa seperti Bung Hatta, Bung Karno, dan Buya Hamka hidup dalam dunia literasi. Bung Hatta, misalnya, sangat mencintai buku hingga saat pindah dari Jakarta ke Yogyakarta, ia membawa koleksi bukunya dengan gerobak dan becak. Selain membaca, Hatta juga rajin menulis, menghasilkan karya-karya penting yang menggugah pemikiran bangsa.

Bung Karno pun dikenal gemar membaca sejak muda. Dalam pengasingan di Ende, Flores, ia tetap memesan buku-buku untuk memperkaya wawasannya. Tulisan-tulisannya yang berani, seperti dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi, menunjukkan tekadnya untuk memajukan bangsa.

Buya Hamka adalah contoh lain. Meski otodidak, beliau menghasilkan lebih dari seratus karya tulis, termasuk Tafsir Al-Azhar yang menjadi mahakarya. Kegemaran membaca kitab klasik (turats) mengantarkannya menjadi ulama, sastrawan, dan intelektual yang dihormati.

Dari dunia sastra, Pramoedya Ananta Toer menghadirkan perspektif baru melalui karya-karya yang bernuansa sejarah dan sosial, seperti Bumi Manusia dan Rumah Kaca. Tokoh lain seperti Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menunjukkan bahwa kecintaan pada literasi dapat diwariskan lintas generasi.

Baca Juga:  Doa, Orang Tua, dan Keberkahan Hidup

Bagaimana dengan kita? Apakah buku sudah menjadi bagian dari hidup? Saya merasa beruntung tumbuh bersama orang-orang yang mencintai bacaan. Guru-guru saya adalah sumber inspirasi yang tak tergantikan. Salah satu guru memiliki perpustakaan pribadi yang sering saya acak-acak. Berbagai buku, dari majalah anak-anak hingga karya filsafat dewasa, menjadi teman masa kecil yang membuka wawasan.

Pengalaman ini memotivasi saya untuk terus membaca dan menulis. Dari tulisan-tulisan kecil hingga artikel yang dimuat di Suara Muhammadiyah, perjalanan literasi saya terus berkembang.

Perpustakaan menjadi rumah kedua, dari Museum Asia-Afrika hingga Perpustakaan Ajip Rosidi di Bandung. Di tempat-tempat itu, saya menemukan bacaan yang memperkaya pengetahuan, mulai dari sejarah, sastra, budaya, hingga keislaman.

Buku sebagai Simbol Cinta

Ada hal menarik terkait buku dan cinta. Pernahkah terpikir untuk menjadikan buku sebagai mahar pernikahan? Meski terdengar tidak lazim, buku adalah simbol pengetahuan dan nilai yang tak terukur.

Baca Juga:  Jadilah Suami Berbahagia

Bukan hanya soal harganya, tetapi makna mendalam yang terkandung di dalamnya. Bayangkan, sebuah karya literasi menjadi pengikat kasih antara dua insan yang mencintai ilmu.

Spirit literasi sesungguhnya adalah inti peradaban. Wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah untuk membaca: Iqra! Tradisi literasi inilah yang membawa kejayaan pada era Abbasiyah dan menjadi landasan kemajuan umat Islam.

Kini, di era digital, bentuk media mungkin berubah, tetapi esensinya tetap sama. Generasi milenial harus terus menguatkan tradisi membaca, menulis, dan berkarya. Hanya dengan itu, kita dapat mempersiapkan generasi emas yang siap menyongsong masa depan.

Jadikan buku sahabat sejati dan bagian dari kehidupan kita. Karena dengan literasi, kita tidak hanya membaca dunia, tetapi juga membangun peradaban.

*Pencinta buku, penikmat literasi, penulis buku dan artikel, juga dosen UM Bandung

PMB UM Bandung
Opini

Oleh: Radea Juli A Hambali*  BANDUNGMU.COM – Apa…