Oleh: Ace Somantri*
Semangat berkemajuan adalah napas abadi yang tidak boleh berhenti. Tidak ada tempat untuk kata menyerah atau putus asa dalam menggerakkan organisasi. Di mana pun kader dan anggota berada, mereka harus senantiasa mengamalkan dan menjalankan Hittah Perjuangan Muhammadiyah.
Dinamika persyarikatan yang kian hari kian pesat menuntut agar kepemimpinan dan gerakan organisasi mampu menunjukkan perubahan dan relevansi di setiap masa. Oleh karena itu, periodisasi pengabdian pimpinan harus terus berjalan sesuai dengan kaidah dan pedoman organisasi yang berlaku.
Sejalan dengan hal tersebut, Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) sebagai bagian integral dari institusi persyarikatan wajib terus bergerak. Pergerakan AUM harus selalu selaras dengan cita-cita dan tujuan luhur Muhammadiyah sebagai organisasi induk.
Mengapa kedaulatan ekonomi penting bagi Muhammadiyah? Meskipun Muhammadiyah secara fundamental adalah entitas sosial kemasyarakatan dan harus tetap berpegang pada platform gerakan sosial, kedaulatan ekonomi wajib menjadi isu strategis utama di abad ini.
Argumen ini didasarkan pada pemahaman bahwa mindset gerakan sosial tidak boleh dipahami secara sempit atau parsial. Untuk berhasil membangun infrastruktur dan suprastruktur sosial kemasyarakatan—seperti sekolah, rumah sakit, dan amal usaha lainnya—organisasi membutuhkan kekuatan yang substansial.
Sama halnya saat persyarikatan menggerakkan roda organisasi dan menjalankan program kegiatan untuk mencapai cita-cita luhurnya, diperlukan kekuatan dan modal energi yang cukup. Kedaulatan ekonomi adalah fondasi untuk memastikan kemandirian, keberlanjutan, dan efektivitas gerakan sosial Muhammadiyah.
Saat ini, publik cenderung memahami Muhammadiyah hanya dari apa yang terlihat hari ini, mengabaikan pahit getir perjuangan para pendahulu. Mereka tidak pernah merasakan bagaimana para pendiri harus melawan hawa nafsu internal maupun dinamika eksternal yang penuh tantangan.
Para pendiri dan pendahulu Muhammadiyah memiliki dua pilar kekuatan: girah teologis ketauhidan yang kuat dan cara berpikir ekonomi gerakan yang tajam. Tak heran jika motor penggerak utama persyarikatan di berbagai daerah dahulu adalah para pebisnis atau saudagar terkemuka. Dari jerih payah karya mereka, lahirlah Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang kita nikmati kini.
Namun, dalam beberapa dekade belakangan, profil penggerak persyarikatan telah bergeser. Mereka umumnya adalah para pekerja, abdi negara, atau bahkan aktivis tanpa pekerjaan tetap (serabutan). Pergeseran ini menciptakan pedang bermata dua.
Pertama, kebaikan. Mereka yang sudah mapan tidak mengharapkan imbalan material dari organisasi, sehingga pengabdiannya lebih murni.
Kedua, keburukan. Banyak penggerak yang justru berharap persyarikatan dapat menjadi sumber pekerjaan atau tambahan materi.
Kondisi ini menuntut refleksi serius: bagaimana Muhammadiyah dapat mengembalikan jiwa kewirausahaan tanpa mengorbankan ketulusan pengabdiannya.
Model pendanaan Muhammadiyah saat ini sangat berbeda dengan era para pebisnis dan saudagar tempo dulu. Dahulu, mereka mampu menggunakan kelebihan rezeki dari usaha pribadi mereka untuk menggerakkan organisasi, menjalankan program, bahkan mendirikan Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) tanpa perlu pinjaman dari perbankan.
Namun, dalam beberapa dekade terakhir, untuk memajukan atau meningkatkan kelas AUM, rata-rata harus mengandalkan skema pinjaman dana perbankan.
Pergeseran ini membawa risiko dan konsekuensi yang bervariasi. Ketika AUM berdiri dan berjalan, banyak dinamika muncul di permukaan persyarikatan—baik itu kemajuan yang signifikan, maupun sebaliknya, kesemrawutan dan kemandekan tata kelola.
Kenapa ini terjadi? Sering kali, masalah ini terjadi karena kurangnya kecerdasan manajemen dan kepemimpinan (leadership) yang memadai untuk mengelola aset dan utang yang ada.
Sekedar mengingatkan kita semua bahwa indiaktor kecerdasan manajemen leadership tidak diukur dengan tingginya gelar akademik. Namun, militansi jiwa eko-teologis dan kecepatan membangun gerakan amal usaha yang mampu mendatangkan nilai material dan mengembalikan pinjaman secara cepat tanpa mengabaikan mutu amal usaha.
Di era global saat ini, membangun reputasi institusi yang unggul dan berdaya saing adalah kewajiban kolektif. Reputasi ini harus dibuktikan melalui gerakan persyarikatan yang inovatif dan produktif, bukan sekadar program gerakan konsumtif yang hanya menghabiskan banyak biaya dan anggaran.
Sayangnya, kita sesama aktivis persyarikatan harus mengakui bahwa banyak majelis dan lembaga di berbagai tingkatan menjalankan program sekadarnya. Jangankan menciptakan amal usaha yang produktif, tak sedikit program yang direncanakan bahkan tidak berjalan optimal selama satu periode kepemimpinan.
Kondisi ini menuntut perubahan fundamental dalam cara organisasi merumuskan dan mengeksekusi gerakannya. Oleh karena itu, kedaulatan ekonomi Muhammadiyah tidak dapat ditawar lagi. Seluruh amal usahanya wajib berdaya dan setiap program gerakan harus mampu memberikan dampak nyata bagi umat, bangsa, dan negara.
Untuk mewujudkan transformasi ini, para penggerak persyarikatan—baik di tingkat pimpinan, anggota, maupun pegawai amal usaha—harus berinovasi. Ini berarti membangun gerakan perubahan dengan mengubah pola pikir menjadi berkarakter “Muhammadiyahnomic”.
Dengan pola pikir ini, segala kebijakan dan program tidak boleh lagi sekadar berjalan bersifat partisipatif (sekadar ikut-ikutan). Sebaliknya, organisasi harus mengupayakan program inisiatif untuk menciptakan gerakan amal usaha yang berdaya, berkelanjutan, dan berdampak nyata.
”Muhammadiyahnomic” menjadi isu menarik untuk dikaji dan dicermati sebagai landasan menuju kedaulatan bermuhammadiyah. Pakar dan saudagar Muhammadiyah yang teruji sebagai pembisnis wajib diajak bicara untuk merumuskan konsep taktis dan strategisnya mengenai konsep ini.
Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) wajib berdaya dengan mengadopsi pola pengembangan yang berkarakter “Muhammadiyahnomic”. Inti dari pola ini adalah bersumber pada filosofi rekontekstualisasi Teologi Al-Maun yang mengedepankan pemberdayaan sejati.
Jika AUM gagal berdaya dan malah sekadar menambah beban utang persyarikatan, risiko yang muncul adalah ketidakseimbangan antara beban organisasi dengan kesejahteraan yang dihasilkan. Lebih buruk lagi, jika kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir orang yang berada di lingkaran kekuasaan pucuk pimpinan AUM, hal ini menunjukkan kegagalan fundamental.
Kecenderungan kepemimpinan dan manajemen leadership yang seperti itu jelas masih jauh dari nilai dan karakter teologi ekonomi persyarikatan yang seharusnya murni bersumber dari spirit pemberdayaan dan keadilan Al-Maun.
Kedaulatan ekonomi Muhammadiyah wajib diwujudkan melalui pendekatan “Muhammadiyahnomic”. Filosofi dan gagasan rumusan ini sebenarnya sudah lama menjadi platform gerakan. Namun, formula komposisi utamanya sering kali salah dimaknai dan dipahami dalam konteks gerakan sosial kemasyarakatan yang berdaulat.
Kesalahan penafsiran ini terbukti nyata. Persyarikatan saat ini cenderung banyak memaknai gerakan sosial hanya sebagai pemanfaatan ruang kosong untuk mengambil nilai material yang kemudian dikemas sebagai tindakan membantu dan menolong sesama atas nama amal usaha.
Lebih parah lagi, dalam beberapa kasus, amal usah sosial seperti panti asuhan terindikasi mengeksploitasi sumber daya. Konversi material yang dihasilkan dari eksploitasi tersebut justru tidak menyejahterakan warga asuhan dan jauh dari prinsip keadilan. Hal ini menunjukkan penyimpangan serius dari nilai-nilai luhur gerakan.
AUM yang berdaya harus dibangun atas dasar kemauan dan kemampuan yang kuat, serta dirancang dengan studi kelayakan (feasibility study) yang jauh lebih strategis dan berkelanjutan (sustainable).
Keberdayaan AUM tidak boleh sekadar berjalan apa adanya. Ia harus memiliki nilai lebih dari modal dasarnya dan mencapai keseimbangan objektif yang berkeadilan.
Keseimbangan ini mencakup dua aspek penting: nilai material finansial dan nilai imaterial spiritual yang menjadi ruh gerakan persyarikatan.
Keberdayaan setiap AUM adalah pertimbangan krusial. Keberdayaan ini menjadi ruang dan kesempatan utama untuk menguji kemampuan pimpinan dalam menunjukkan kompetensi atau skill leadership saat mengemban amanah.
Oleh karena itu, kinerja dan keberdayaan AUM secara langsung akan menentukan nilai dampak yang diberikan kepada institusi persyarikatan sebagai organisasi induk, baik dalam aspek material (finansial) maupun dampak imaterial (reputasi dan gerakan).
Jika modal dasar yang telah dikeluarkan untuk pendirian AUM belum mampu memberikan pengembalian secara ekonomi, baik dalam skala kuantitatif maupun kualitatif, artinya kompetensi dan skill leadership pimpinan amal usaha tersebut patut dipertanyakan.
Berdaya dan berdampak adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan, menjadi bukti konkret bahwa amal usaha tersebut tidak hanya maju, tetapi juga memajukan organisasi induknya. Dengan kata lain, kedaulatan ekonomi Muhammadiyah secara langsung dipengaruhi dan ditentukan oleh keberdayaan setiap amal usaha yang dimilikinya.
Merupakan kewajiban mutlak bagi pimpinan persyarikatan dan manajer amal usaha untuk menyusun sebuah peta jalan (roadmap) nilai ekonomi yang terukur.
Roadmap ini harus secara aktif didorong untuk memperkuat anggaran persyarikatan. Tujuannya adalah membangun ekosistem organisasi Muhammadiyah yang benar-benar berdaulat dan memiliki marwah (martabat) yang signifikan dalam kancah kehidupan berbangsa, beragama, dan bermasyarakat.
Sejak kelahirannya, persyarikatan telah membuktikan diri kepada negara sebagai komunitas yang berdaya dan memberdayakan. Organisasi ini secara konsisten memberi dampak kemajuan pada masyarakat duafa dan bangsa, tanpa harus mengemis bantuan finansial dari pihak ketiga.
Muhammadiyah tidak pernah menempuh cara yang tidak berketeladanan, seperti meminta-minta, atau meminjam dengan konsekuensi bunga yang menghilangkan keberkahan. Kedaulatan dan marwah (martabat) Muhammadiyah tegak lurus pada kemandirian amal usaha yang mampu menyejahterakan semua pihak.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat