OLEH: ACE SOMANTRI — Dosen Universitas Muhammadiyah Bandung
BANDUNGMU.COM — Tidak ada habisnya membicarakan berbagai kondisi bangsa dan negara. Sejak berdiri, tidak pernah dan tidak akan pernah bangsa dan negara Indonesia ini terbebas dari berbagai masalah.
Silih berganti pemimpin selalu ada isu yang membelit kepemimpinan dan terjebak ambiguitas kekuasaan bangsa dan negara.
Awal kepemimpinan era kemerdekaan karena isu ideologi nasionalis, agama, dan komunis menjadi pemicu gelombang ketidakpercayaan kepada kepemimpinan Soekarno-Hatta.
Masa orde baru kepemimpinan abadi dan isu KKN menjerat kepemimpinan Soeharto menjadi pemicu gerakan reformasi 1998.
Ketika kepemimpinan BJ Habibi diterpa isu lepasnya Timor Timur menjadi penyebab Sidang Istimewa MPR.
Selanjutnya kepemimpinan Abdurahman Wahid atau terkenal Gusdur tersandung kasus Bulogate yang menyebabkan kudeta di parlemen.
Kepemimpinan Megawati terjebak isu penjualan aset negara menjadi kontroversi dan menghilangkan trust publik sehingga tidak terpilih kembali.
Susilo Bambang Yudhoyono seolah hadir sebagai sosok produk pemilu jurdil. Namun dalam perjalanan tidak terlalu signifikan meningkatkan daya saing bangsa, persoalan ekonomi tidak kunjung membaik, hanya jalan di tempat.
Terorisme dalam organisasi
Persoalan bangsa memang bukan hanya tanggung jawab pemimpin bangsa, melainkan semua elemen tidak ada pengecualian.
Namun perlu ditegaskan secara nalar intelektual bahwa pemimpin bangsa sebagai mandatory dari rakyat.
Konsekuensinya dia mendapat amanah tambahan especially dan extraordinary yang memiliki prestige sangat tinggi.
Amanah mulia bukan semata-mata seperti hadiah yang digunakan hak kekuasaannya semena-mena.
Hasrat hawa nafsu untuk menduduki jabatan berkali-kali dalam kepemimpinan itu watak dan karakter serakah. Dia tidak mau berbagi.
Mematikan generasi dalam kaderisasi kepemimpinan merupakan perbuatan dan tindakan buruk. Apa pasal? Karena hal itu melanggar kesepakatan atau konsesus moral dan sistem sosial kemanusiaan.
Selain mematikan kaderisasi, ketika tidak terjadi regenerasi dalam kepemimpinan, maka itu bisa dikatakan bentuk terorisme organisasi dalam sebuah institusi negara ataupun institusi lainnya.
Gelombang kritik tentang ketidakmampuan pemimpin negara dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, ada pola yang dikembangkan dalam pengelolaan isu.
Mereka mengulur waktu dan membiaskan berbagai persoalan bangsa dengan tujuan masyarakat disuguhi informasi dengan bersilih ganti isu sehingga masyarakat semua terkecoh.
Padahal, substansinya ada di pengelolaan negara yang karut-marut. Keumuman masyarakat ketika disuguhi lontaran dan pernyataan kontroversial sudah dipastikan reaktif. Mereka lupa masalah sebelumnya.
Itu semua diulang-ulang. Hal tersebut sudah menjadi bumbu penyedap interaksi pemerintahan yang membuat sikap masyarakat seolah-olah menjadi bumbu utama dalam pengelolaan komunikasi pemerintah dengan rakyatnya.
Disadari atau tidak, silih berganti isu terindikasi by design atau kejadian sengaja dibuat. Begitupun dengan pernyataan-penyataan elite negara ataupun pemerintah.
Tidak diduga tidak disangka, tiba-tiba minyak goreng hilang di pasaran. Sekalipun ada. harganya sangat mahal. Tidak lama, polisi menemukan gudang penimbunan minyak goreng.
Peristiwa tersebut seperti drama dalam film. Dagelan demi dagelan terus dipertunjukan dalam konser sosial politik di negeri ini.
Semua orang berkomentar melalui berbagi media, mulai artikel dalam opini hingga di platform media sosial.
Bahan baku ataupun bahan mentah tersedia dan pabrik berjalan lancar, sangat aneh tiba-tiba langka di pasaran. Selidik demi selidiki itu semua permainan konglomerasi yang tirani. Mereka bersekongkol dengan elite-elite negara.
Kondisi dan situasi tersebut membuat masyarakat panik. Lagi-lagi konsentrasi masyarakat teralihkan dari substansi yang sebenarnya.
Isu pemilu ditunda telah menggelinding seperti bola yang sendang merumput di lapangan hijau. Permainan kekuasaan sudah dimulai. Pola dan skema permainan sudah dijalankan sesuai dengan rencana.
Dribling bola sebagai analogi dribling isu, mana yang tersangkut dan terjebak dalam permainan ini. Siapa yang memiliki kemampuan men-dribling isu sehingga mampu menjebol ke gawang yang dijaga dengan ketat.
Oper sana dan sini dengan tendangan dekat ataupun jauh. Sundulan pun tidak ketinggalan menjadi keterampilan pemain untuk menjebol gawang.
Permainan politik tak ubahnya seperti permainan sepak bola dan catur. Siapa pun yang mampu membuat strategi, isu yang diada-adakan itu bagian dari bualan dan kebohongan. Dengan polosnya, seolah-olah negara aman dan tenteram.
IKN muncul sebagai produk politik kenegaraan dengan ritual mistis yang sangat kental dengan klenik. Reaksi masyarakat pun bertebaran di media sosial dan berbagai media masa lainnya. Opini terbelokan pada isu IKN.
Begitulah dagelan kepemimpinan bangsa saat ini.***