UMBandung
News

Memahami Istilah Bidah Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah

×

Memahami Istilah Bidah Menurut Majelis Tarjih Muhammadiyah

Sebarkan artikel ini
Foto: muhammadiyah.or.id.

BANDUNGMU.COM, Bandung – Istilah bidah sering kali menjadi topik hangat, terutama ketika memasuki bulan Rajab. Secara umum, bidah merujuk pada sebuah cara atau praktik baru dalam agama yang dibuat-buat, menyerupai syariat, dan bertujuan untuk berlebihan dalam beribadah kepada Allah.

Menurut Ruslan Fariadi, anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, seperti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah, bidah didefinisikan sebagai inovasi dalam ibadah yang tidak memiliki dasar dalil syara atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah SAW.

Ruslan menjelaskan bahwa para ulama memaknai bid’ah secara lebih teknis sebagai cara beragama yang tidak diajarkan oleh Rasulullah tetapi diperlakukan seolah-olah menjadi bagian dari syariat. Dalam definisi ini, terdapat dua elemen utama dalam bid’ah. Pertama, adanya praktik yang diada-adakan dan menyerupai ajaran agama. Kedua, praktik tersebut diyakini sebagai ritual ibadah kepada Allah. Dengan demikian, bidah meliputi tindakan baru dalam ibadah atau keyakinan yang bertentangan dengan prinsip Islam.

Ruslan juga menyoroti konsep bidah tarkiyah, yakni meninggalkan sesuatu yang diperintahkan oleh agama—baik yang sifatnya sunnah maupun wajib—dengan anggapan bahwa meninggalkan itu adalah bentuk ibadah.

Baca Juga:  Kementan Gandeng Nasyiatul Aisyiyah Kabupaten Tasikmalaya Dalam Tindak Lanjut Program YESS

Misalnya, keyakinan bahwa seorang wali yang telah mencapai tingkat hakikat tidak perlu lagi menjalankan syariat karena dianggap hanya sebagai kulit agama, sementara hakikat adalah inti agama. Pandangan ini, menurut Ruslan, bertentangan dengan ajaran Islam yang menekankan keselarasan antara syariat dan hakikat.

Ada beberapa poin penting dalam memahami bidah. Pertama, bidah merupakan cara beragama yang tidak didasarkan pada tuntunan Rasulullah. Kedua, bidah hanya berkaitan dengan perkara agama, seperti akidah dan ibadah, dan tidak mencakup urusan duniawi yang bersifat logis atau ma’qul al-ma’na. Ketiga, bidah dianggap sebagai lawan dari sunnah, sehingga segala bentuk bid’ah harus dihindari.

Baca Juga:  Peringati Hari Tani Nasional, MPM PWM Yogyakarta Ajak Jihad Kedaulatan Pangan

Ruslan menegaskan pentingnya menjauhi bid’ah dalam urusan agama, sementara inovasi dalam hal duniawi tetap diterima selama tidak bertentangan dengan prinsip syariat. Pendekatan ini menjadi kunci untuk menjaga kemurnian ajaran Islam sekaligus menghadapi tantangan zaman dengan bijaksana.***

PMB Uhamka