OLEH: Bripka Hamzah Mardiansyah, S.E., M.H **
BANDUNGMU.COM–Salah satu momen paling membahagiakan bagi seorang Muslim di bulan Ramadhan adalah saat berbuka puasa.
Kenapa? Karena pada waktu itulah segala lapar dan haus selama berpuasa di siang hari terobati oleh beragam sajian takjil.
Dan takjil, selain dibuat sendiri di rumah juga umumnya diperoleh dari para penjaja makanan dan minuman yang menyediakan menu berbuka puasa.
Di negara kita tercinta ini, fenomena mencari takjil begitu semarak. Hampir di seluruh daerah/kota memiliki tradisi sendiri atau istilah yang familiar, yakni ngabuburit.
Di kota Bengkulu, tempat saya tinggal, misalnya, orang menyebut ngabuburit dengan nyari bukoan. ‘Nyari’ (mencari), ‘bukoan’ (bahan/menu berbuka).
Nyari bukoan
Jadi, nyari bukoan adalah aktivitas mencari dan membeli menu berbuka puasa atau takjil bagi warga Kota Bengkulu jelang kumandang Magrib.
Tak ayal, pedagang dadakan pun bermunculan di pinggiran toko, pinggir jalan, dan di depan perkantoran pemerintan maupun swasta.
Selain itu, tradisi ngabuburit atau nyari bukoan termasuk salah satu cara untuk menghilangkan kesan bahwa orang yang berpuasa itu lemas, lesu, dan tak semangat.
Kegiatan mengisi waktu jelang beduk magrib tersebut nyatanya memang telah lama berlangsung sehingga menjadi tradisi umat Islam di Indonesia.
Ya, setidaknya ini salah satu bukti keberkahan bulan yang suci, sebab para pedagang kecipratan berkahnya. Dengan kata lain, mereka mendapatkan penghasilan tambahan dari jualan tersebut.
Walau sempat terjadi kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng beberapa waktu lalu, banyak pedagang yang menjajakan gorengan: tahu isi, bakwan, risol, dan lain-lain.
Apalagi, menu gorengan masih menjadi makanan favorit para pencari takjil.
Sekarang, bakwan atau bala-bala dalam bahasa Sunda dan ‘kawan-kawannya’, yang dulu harganya 1.000 rupiah/buah menjadi 5.000 mendapat empat.
Kendati harga gorengan mengalami peningkatan harga, anehnya antusias masyarakat untuk membeli makanan ‘sejuta umat’ itu tidak berubah.
Bila diperhatikan, mereka yang nyari bukoan tak hanya dari kalangan dewasa, anak-anak, tapi juga ramai dipadati pemuda atau pemudi.
Milenial Bengkulu ngabuburit
Di Bumi Rafflesia, julukan untuk Bengkulu, kalangan milenial, terutama menyasar objek-objek wisata, seperti Pantai Panjang, Pantai Pasir Putih, Pantai Papak Paderi, Kota Tuo, dan Benteng Malrborough.
Mereka, di lokasi-lokasi favorit itu, selain menunggu waktu berbuka juga menanti senja terbenam di pantai.
Tentu aktivitas yang mereka lakukan sangat positif, daripada menjadi pecandu narkoba atau balapan liar yang dapat mengganggu ketertiban.
Namun, saat mereka menikmati ngabuburit dan senja itu, bagaimana dengan kewajiban sholatnya? Apakah mereka melaksanakannya, di tengah gembiranya menunggu waktu berbuka puasa?
Nah, inilah kiranya yang menarik dikemukakan dalam tulisan ini. Tentu hal ini berdasarkan pengamatan singkat dan masih membutuhkan pembuktian lebih lanjut.
Yang jelas, perilaku pemuda-pemudi ini telah menjadi kebiasaan yang terjadi setiap tahunnya dan menjadi pemandangan umum.
Idealnya, orang yang berpuasa tetap melaksanakan sholat lima waktu. Melihat kejadian itu, agaknya menjadi bergeser.
Mereka rela bangun untuk sahur, sudi mengeluarkan biaya untuk ngabuburit, ikhlas jalan-jalan sore, dan dengan senang hati menunggu matahari terbenam di pantai, tapi para pemuda itu tidak sholat!
Pertanyaannya, bagaimana hukum seseorang yang berpuasa, tapi tidak sembahyang? Penulis tidak memiliki kapasitas untuk menghukumi dan menilai seseorang.
Hanya, melalui tulisan sederhana ini, saya mengajak kepada para generasi muda harapan bangsa dan agama, mari jalankan puasa dan hindari hal-hal yang dapat membatalkan ibadah tersebut.
Dan, satu yang paling penting, jangan pernah meninggalkan kewajiban di atas sebuah kewajiban. Yuk, jaga sholat kita!
**Ba Satsamapta Polres Bengkulu, Alumnus MAN Model Kota Bengkulu