PMB Uhamka
Islampedia

Pandangan Muhammadiyah Soal Kedudukan Qaul Sahabat Dalam Istinbath Hukum

×

Pandangan Muhammadiyah Soal Kedudukan Qaul Sahabat Dalam Istinbath Hukum

Sebarkan artikel ini
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar.***

BANDUNGMU.COM — Di antara sekian banyak sumber hukum Islam yang sampai saat ini masih menyisakan perdebatan tentang validitas kehujahannya adalah sumber hukum qaul sahabat.

Bagaimana menurut Muhammadiyah? Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Syamsul Anwar pun memberikan pandangannya.

Menurut Syamsul, dalam Manhaj Tarjih ditegaskan bahwa hadis maukuf murni atau semata ucapan sahabat yang tidak memiliki hubungannya dengan ketetapan Rasulullah tidak dapat dijadikan hujah.

Hadis maukuf dapat menjadi hujah apabila termasuk ke dalam kategori marfu. Dengan kata lain, apabila hadis maukuf tersebut terdapat karinah-karinah yang dapat dipahami kemarfuannya kepada Rasulullah SAW.

Baca Juga:  Sektor Farmasi Bisa Ikut Pulihkan Ekonomi

Syamsul mengambil contoh dengan pernyataan Ummu Athiyyah yang mengatakan, “Kita diperintahkan supaya mengajak keluar wanita-wanita yang sedang haid pada Hari Raya.”

Menurut Syamsul, pernyataan Ummu Athiyyah merupakan hadis maukuf atau qaul sahabat. Namun, dapat dijadikan hujah sebab terdapat karinah yang ditunjukkan dari kata pasif “diperintahkan”.

“Meskipun frasa ‘diperintahkan’ tidak langsung menyebut Rasulullah, kita semua paham bahwa maksud Ummu Athiyyah adalah perintah Rasulullah SAW. Karena kalau pernyataan Ummu Athiyyah tidak merujuk Rasulullah, tidak bisa dijadikan hujah. Namun, karena ini dinisbatkan kepada Rasulullah, dapat dijadikan hujah,” terang Syamsul, dikutip dari laman resmi Muhammadiyah pada Selasa (15/08/2023).

Baca Juga:  Menguatkan Dakwah Melalui Sastra

Syamsul mengusulkan agar kaidah “Hadis maukuf murni tidak dapat dijadikan hujah” ditambah dengan keterangan “kecuali apabila hadis maukuf tersebut memberikan keterangan rincian dari suatu ketentuan yang diperintahkan Nabi SAW tetapi masih global”.

Penambahan frasa ini agar tidak terjadi kekeliruan dalam pengamalannya. Misalnya, orang yang dalam perjalanan (musafir) dapat melakukan salat qashar, tetapi dalam kondisi berjamaah sehingga salatnya lebih baik sempurna.

Pendapat ini disandarkan kepada Ibnu Umar yang dapat dijadikan hujah sebab posisinya sebagai penjelas dari hadis Nabi SAW terkait yang masih memiliki makna global.***

Baca Juga:  Penjelasan Muhammadiyah Soal Cara dan Adab Bergaul dengan Non-Muslim

___

Sumber: muhammadiyah.or.id

Editor: FA

PMB Uhamka