Oleh: Nurbani Yusuf*
Di Muhamadiyah banyak ulama berkelas. Banyak wali. Banyak kiai khos yang menyembunyikan kewaliannya. Menahan karamahnya.
Mereka membangun pesantren, universitas, rumah sakit, boarding, biro haji dan umrah dengan pikiran, tenaga, dan harta sendiri, kemudian di wakafkan ke Muhammadiyah.
Tak ada terbersit ingin memiliki pribadi. Para ulama Muhammadiyah sudah selesai dengan urusannya sendiri. Itu bukti kewalian yang sesungguhnya.
Tidak ada rezeki ajaib yang jatuh dari langit tujuh. Tidak menaruh kotak amal di kuburan. Hidup zuhud dan wara di tengah kemewahan adalah ujian paling berat bagi aulia.
Bedanya kami tak memanggilnya wali. Tidak mencium tangannya. Tidak minum sisa air minumnya.
Sebutan kami tetap: Pak AR, Pak Yunahar, Pak Syamsul, Pak Bedjo, Pak Dullah, Pak Mua’amal, Pak Abdurahim Nur. Mereka ini terdiri dari para ahli nahwu, ahli tafsir, ahli hadis, ahli kalam, ahli falaq, dengan karya karya fenomenal.
Rumah di Jalan Silikat yang dihuni Malik Fadjar kerap menjadi jujugan Pak AR Fachruddin (Ketua PP Muhammadiyah) saat beliau berkunjung ke Malang. Pak AR, biasa akrab dipanggil, lebih memilih menginap di rumah pimpinan daerah atau cabang dari pada menginap di hotel.
Mitsuo Nakamura seorang mahaguru dan peneliti senior berkebangsaan Jepang sempat dibuat kaget saat pertama datang ke Jogja. Bermaksud bertemu dengan para pimpinan Muhammadiyah.
Mitsuo Nakamura dibonceng Pak AR dengan sepeda motor Yamaha butut tahun 1970-an yang mulai terlihat menua.
Dari ulama bersahaja ini, pegawai KUA golongan II tanpa deret gelar, lahir puluhan universitas, rumah sakit, dan layanan umum lainnya.
Bersyukur kita banyak punya ulama-ulama bersahaja yang hadir di saat yang tepat. Banyak uswah khasanah dari para ulama junjungan kami. Dengannya kami membagi dan berbenah untuk kebaikan yang banyak.
Adalah Kiai Bedjo Dermoleksono, penggagas dan pendiri Universitas Muhammadiyah Malang, harus berjalan kaki dari Sidomulya, Kota Batu, ke rumahnya di Oro-oro Dowo, Malang, selepas mengisi pengajian rutin setiap hari Selasa bakda Ashar.
Beliau tidak sengaja berjalan kaki apalagi joging dengan jarak 35 kilometer. Lebih karena para muridnya lupa memberi uang transport.
Saat beliau wafat tak meninggalkan harta untuk diwariskan karena semua telah diwakafkan untuk Persyarikatan Muhammadiyah tanpa sisa.
Bahkan Bu Nyai Bedjo harus menumpang di kompleks perumahan Masjid Al-Khairat Dinoyo tempat saya menjadi penjaga dan tukang sapu masjid selama enam tahun lebih.
Dua ulama yang saya sebut di atas bukanlah dari kalangan para sahabat, tabiin, atau para salaf yang muktabar. Keduanya hanya ulama biasa yang hidup beberapa tahun lebih dulu dari kita.
Mereka adalah orang biasa dengan pikiran biasa dan status sosial biasa. Bukan pula mereka keturunan sayid, syarif, apalagi habib.
Bersyukur saya diberi sempat untuk “ngawula” pada Pak AR meski hanya mengambilkan unjukan teh tubruk kesukaan, mengantar istirahat ke Jalan Silikat, dan menjemputnya esuk pagi.
Bersyukur pula musala depan rumah, rintisan kakek saya, beberapa kali disinggahi Kiai Bedjo Dermoleksono untuk mengaji kitab Bulughul Maram dan Nailul Author, meski hanya beberapa kali pertemuan.
Sungguh kenangan manis tak terperi bersama para ulama kesayangan. Orang-orang alim, zuhud, dan wara.
Malu kiranya mengenang kesahajaan beliau saat ini. Ketika melihat lifestyle para ulama zaman sekarang, tarif mahal, jemputan mobil mewah dan hotel berbintang untuk istirahat.
Jika ulama sekelas Pak AR dan Kiai Bedjo Dermoleksono berpikir seribu kali hanya untuk memakai kemeja baru di depan santrinya, ulama sekarang tak malu menunjukkan berapa deret isteri yang dinikahi.
Atau koleksi kuda tunggangan atau kebun luas yang dimiliki atau jumlah tabungan di rekening hasil honorarium ceramahnya.
Memang, tak ada keharusan ulama harus hidup zuhud dan wara, berpakaian kumal, makan seadanya, atau jalan kaki kemanapun pergi. Namun, tak elok menunjukkan kekayaan, melahab makanan mahal, dan baju mewah di depan publik di kala umat lagi berkekurangan.
Pada akhirnya semua terpulang kepada masing-masing dan hidup memang pilihan.
*Komunitas Padhang Makhsyar